Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Selasa, 12 Juli 2011

DR. Rizal Ramli Pontensial dan Layak Untuk Presiden RI 2014


2
Kisah Kehancuran dan “Momen” Kebangkitan
PT Dirgantara Indonesia


Ada dua pembantu paling dekat Soeharto ketika berada di puncak kejayaannya pada masa pemerintah Orde Baru. Pertama, Widjojo Nitisastro, ekonom kepercayaan Soeharto yang meracik kebijakan ekonomi Orde Baru. Kedua, B.J. Habibie, yang punya kedekatan emosional dengan Soeharto, dan mampu membuai Jenderal Besar itu dengan mimpimimpinya untuk mensejajarkan Indonesia dengan negara-negara maju lewat PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang menghasilkan pesawat terbang buatan putera-puteri terbaik Nusantara.

Dalam perkembangannya, meski mampu menghasilkan pesawat terbang seperti CN-212 dan CN-235, Habibie dengan IPTN-nya selalu menjadi sasaran kritik para ekonom. Maklum, dalam mengembangkan industri dirgantara itu, Habibie dinilai kelewat bersemangat membelanjakan duit dalam jumlah gigantik untuk ditumpahkan ke IPTN. Kalau pun tidak mendapat alokasi dana dari APBN, berkat kedekatannya dengan Soeharto, Habibie selalu bisa mendapatkan dana besar untuk menopang IPTN, termasuk menggunakan Dana Reboisasi, dana off budget yang amat besar di masa itu.

Seiring dengan jatuhnya Soeharto, sumber dana untuk IPTN pun mulai tersendat. Pamor IPTN sebagai produsen pesawat terbang mulai redup. Apalagi rapor keuangan industri dirgantara itu selalu merah menyala dari tahun ke tahun. Ketika Gus Dur menjabat Presiden RI, kondisi keuangan IPTN kian amburadul. Padahal, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki IPTN layak mendapat acungan jempol: mendapat pendidikan luar negeri dan pelatihan di perusahaan pesawat terbang kelas dunia.

Gus Dur ingin menyelamatkan IPTN. Maka, presdien RI ke-4 itu pun menelepon Rizal Ramli, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Bulog. “Rizal, coba kamu benahi IPTN karena bleeding terus,” kata Gus Dur diujung telepon. Rizal Ramli terperanjat. Memang, ia termasuk salah satu ekonom yang paling lantang mengkritik strategi pengembangan teknologi dirgantara yang ditempuh Habibie. Kritik Rizal Ramli tentang model pengembangan teknologi ala Habibie yang serba mahal dan “wah” sering dimuat media cetak pada pertengahan 1990-an. Bagi Rizal, paradigma pengembangan teknologi yang dilakukan Habibie tidak tepat karena lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat “wah”. Dan, yang lebih celaka lagi, juga sangat boros (high cost).

Padahal, meski teknologi yag diterapkan canggih, selalu ada cara untuk mengoperasikannya dengan biaya yang kompetitif. “Hukum besi teknologi kan seharusnya semakin lama produk yang dihasilkan semakin murah,” ujarnya. Ingat, harga telepon selular (ponsel) pada akhir tahun 1980-an, ketika mulai masuk ke Indonesia harganya sangat mahal. Hanya para pengusaha besar dan para kapten industri raksasa yang bisa menenteng hp. Sekarang, sopir angkot bahkan tukang ojek pun bisa berponsel ria.

Bagi Rizal Ramli, dalam mengelola IPTN, Habibie lebih mementingkan teknologinya yang wah. Semua infrastruktur, mesin-mesin dan peralatan kerja – beserta sarana penunjangnya selalu menggunakan kualitas paling bagus. “Habibie lebih mementingkan wahnya tanpa mempedulikan pasar maupun biayanya,” kata Rizal Ramli. Wajar jika kemudian meski mampu menghasilkan produk-produk pesawat terbang dan helikopter, neraca keuangan IPTN selalu compang-camping: menderita kerugian yang tak kecil. Hanya karena terus-menerus ditopang dana berlimpah, IPTN bisa tetap eksis.

“Gus Dur, mohon maaf, apa tidak salah meminta saya membenahi IPTN. Saya kan sering mengkritik Habibie. Lagi pula, posisi saya kan Kabulog, sehingga tidak punya kewenangan untuk membenahi IPTN,” kata Rizal Ramli berusaha “berkelit” dari penugasan Gus Dur.

Dengan enteng Gus Dur menukas: “Salah sendiri, kenapa dulu selalu mengkritik Habibie. Sekarang kamu kualat. Jadi, harus membehaninya. Nah, soal kewenangan, kamu memang Kabulog, tapi yang memerintahkan kamu ‘kan Presiden,” ujarnya. Rizal Ramli hanya bisa tersenyum. Untuk urusan yang pelik seperti apa pun, Gus Dur selalu punya jawaban yang “inovatif”.

DR. Rizal Ramli & Gus Dur (Alm.)

Maka, Rizal Ramli pun kini punya tugas ganda: mengurus beras dan industri pesawat terbang. Ia pun segera mengumpulkan berbagai informasi mengenai kondisi IPTN. Juga menghimpun data mengenai industri penerbangan di mancanegara. Setelah membedah isi perut IPTN, akhirnya Rizal Ramli pun sampai pada kesimpulan: mesti ada titik balik (turn arround) dalam paradigma pengembangan IPTN, mengubahnya dari industri yang high cost menjadi industri pesawat terbang yang kompetitif – seperti yang terjadi di industri sejenis di Cina, Brazil, dan India. Sehingga, produk IPTN bisa bersaing di pasar internasional.

Peralatan dan mesin produksi di Cina, Brazil, dan India tidak secanggih dan mutakhir seperti milik IPTN, toh mereka bisa menghasilkan pesawat terbang yang kompetitif. Maka, Rizal Ramli pun mulai menyingsingkan lengan baju, melakukan overhaul terhadap IPTN. Untuk menandai perubahan paradigma dari industri yang high cost ke industri penerbangan yang kompetitif, nama IPTN diganti menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI).

Tim manajemen puncak juga dirombak dengan menempatkan kader-kader yang unggul di posisi direksi PT DI. Mereka adalah kader terbaik pilihan Habibie, yang kerap mendampingi Habibie ketika bertemu dengan para raksasa bisnis dirgantara kelas dunia, seperti Boeing, British Aeorospace, dsb. Mereka adalah para insinyur yang sangat tahu seluk-beluk aspek teknis dan aspek bisnis industri penerbangan. Mereka juga memiliki networking yang luas dengan industri pesawat terbang internasional. Joesman SD ditunjuk sebagai Direktur Utama PT DI.

Rizal Ramli dan tim manajemen baru PT DI terus mendiskusikan berbagai stretegi untuk mengubah PT DI dari perusahaan yang merugi menjadi perusahaan pesawat terbang yang mampu mencetak laba. Contoh-contoh industri pesawat terbang dengan mesin-mesin produksinya yang tidak secanggih PT DI, seperti di Cina, dan mampu menghasilkan pesawat terbang sipil maupun militer yang harganya sangat kompetitif, dibahas tuntas. “Rapat-rapatnya, ya dilakukan di Kantor Bulog,” kata Rizal Ramli sambil tersenyum.

Setelah berdiskusi cukup panjang, manajemen DI pun diminta membuat blue print dan business plan yang mampu memperbaiki kinerjanya. PT DI tidak lagi semata-mata berkonsentrasi memproduksi pesawat terbang atau helikopter, melainkan juga memproduksi spare parts dan components untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka seperti Boeing, Airbus, British Aerospace, dsb. Sebaliknya, PT DI diminta menyingkir dari aktivitas bisnis yang tak berkaitan dengan bisnis intinya.

“Saya minta dalam dua tahun PT DI harus meraih keuntungan. Kalau tidak, silakan saudara-saudara mencari pekerjaan lain saja,” kata Rizal Ramli, kepada direksi baru PT DI.

Ketika Membenahi PT Dirgantara
Indonesia, Rizal Ramli melakukan perombakan
besar-besaran. Hasilnya, angka penjualan PT DI
pada 2001 melonjak hampir tiga kali lipat hingga mencapai
Rp 1,4 triliun.


Pembenahan yang menyeluruh itu membuahkan hasil yang manis. PT DI mulai menunjukkan tanda tanda awal kebangkitan. Jika pada tahun 1999 angka penjualan PT DI baru mencapai Rp 508 miliar, pada tahun 2001 melonjak hampir tiga kali lipat hingga mencapai Rp 1,4 triliun. Pada tahun 2001 itu, neraca keuangan PT DI juga mencatat keuntungan Rp 11 miliar. Bandingkan dengan kerugian Rp 75 miliar yang diderita pada tahun 1999. Upaya perubahan paradigma dan restrukturisasi PT DI mulai menunjukkan hasil-hasil yang positif.

Berantakan Lagi
Sayangnya, setelah terjadi pergantian pemerintahan dari Gus Dur ke Megawati, kinerja PT DI yang mulai positif itu kembali terpuruk pada tahun 2002. Penyebabnya tak lain, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi mengganti tim manajemen yang solid dengan personel yang tidak memiliki networking dengan komunitas bisnis dirgantara internasional. Padahal, networking itu sangat penting mengingat bisnis penerbangan bersifat oligopolistik.

Tahun 2002-2003, praktis PT DI tidak mendapat order baru, karena direksi PT DI tidak memiliki jaringan lobi kepada raksasa bisnis pesawat terbang. Suasana internal mulai terasa tidak nyaman. Direksi menyalahkan para karyawan. Padahal, sebagian besar karyawan PT DI punya kemampuan teknis yang lumayan bagus karena pernah magang di berbagai perusahaan dirgantara multinasional.

Konfrontasi antara karyawan dan top manajemen kerap terjadi. Kinerja PT DI kian merosot. Timbunan utangnya mencapai Rp 1,5 triliun. Proyek pembuatan pesawat terbang bermesin jet N-250 yang sangat prestisius pun akhirnya dipangkas habis.

Ketika Kementrian Negara BUMN dipegang Laksamana Sukardi, kondisi PT DI semakin limbung. Maka, direksi PT DI pun kemudian melakukan PHK terhadap 6.600 karyawan. Ribuan karyawan kehilangan pekerjaan. Perseteruan kian memuncak dan berubah menjadi rangkaian aksi demo besar-besaran. Perseteruan berlanjut ke pengadilan, yang akhirnya dimenangkan oleh para karyawan. Direksi PT DI dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Bandung. “Saya sedih menyaksikan nasib PT DI. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana para karyawan yang memiliki keahlian dan pengalaman di industri pesawat terbang harus menjadi pengangguran,” kata Rizal Ramli. Untuk menunjukkan keberpihakan kepada para karyawan PT DI, jika mereka berdemo ke Jakarta, Rizal Ramli pun menyambangi base camp mereka di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Bahkan ia pun menyatakan kesiapannya membela karyawan dengan menjadi saksi ahli di pengadilan, demi membela nasib mereka yang hingga kini masih terkatung-katung.



Dan ketika Rizal Ramli dipanggil sebagai saksi ahli pada tanggal 19 Januari 2004 di Pengadilan Negeri Bandung, belasan ribu karyawan PT DI bersama anak dan isterinya menghadiri sidang itu. Jalanan di depan Pengadilan Negeri Bandung macet total. Dalam sidang itu, Rizal Ramli menyatakan, PHK bukan solusi terbaik dalam penyelamatan PT DI. Kinerja PT DI yang buruk pada tahun 2002, gara-gara tidak mendapatkan order sama sekali, bukan kesalahan para karyawan, melainkan kesalahan direksi yang tidak mampu bekerja. “Tapi, kenapa justru karyawan yang mesti dikorbankan,” kata Rizal Ramli.

Selama sidang berlangsung, suasana sidang yang biasanya hening menjadi riuh rendah karena Rizal Ramli kerap mengeluarkan pernyataan yang membela karyawan PT DI. Bahkan, Rizal Ramli tak kuasa menahan rasa haru pada nasib ribuan karyawan yang di-PHK karena salah urus direksi. Air matanya pun menetes.

Pada akhirnya, sidang itu memenangkan gugatan para karyawan. Direksi PT DI divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Bandung.

Menyoroti PT DI yang kian carut-marut, Rizal Ramli hanya bisa mengurut dada. Upaya revitalisasi dan perbaikan PT DI yang dijalankan pada periode 2000-2002, yang merupakan periode konsolidasi dan survival, sama sekali tidak berlanjut. Bahkan sebaliknya, kondisi PT DI kian menyedihkan: pemecatan karyawan yang menimbulkan aksi yang berlarut-larut, hingga kian mengganggu kinerja PT DI.

“Tanpa order pekerjaan, jelas terlihat PT DI kelebihan tenaga kerja, sehingga satu-satunya solusi yang diambil oleh manajemen adalah mem-PHK ribuan karyawan,” kata Rizal Ramli. Anehnya, ketika jumlah karyawan dipangkas, Kementrian Negara BUMN justru menambah jumlah komisaris, dari lima orang menjadi sembilan orang. “Itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip efisiensi dan keadilan,” ujarnya.

Karena kondisi PT DI kian berantakan, tenaga kerja terbaik dari perusahaan itu, meski tidak terkena PHK, akhirnya berhamburan keluar negeri. Mereka kini bertebaran di industri pesawat terbang terkemuka di dunia, seperti Boeing (Amerika Serikat), British Aerospace (Inggris), CASA (Spanyol), Malaysia, dan Autralia. Tak sulit bagi mereka untuk mencari pekerjaan karena memang memiliki pengalaman dan keahlian yang memadai.

Yang rugi, jelas bukan hanya PT DI melainkan juga negara kita, karena aset sumber daya manusia (SDM)-nya yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan dengan biaya mahal, kini memperkuat industri di negara lain. “Akan sangat sulit mendapatkannya lagi ketika Indonesia memerlukan industri penerbangan yang murah dan kompetitif,” kata Rizal Ramli.

Padahal, sebagai negara kepulauan yang amat luas, Indonesia memerlukan kehadiran industri pesawat terbang yang andal dan kompetitif, bisa menghasilkan pesawat terbang dengan harga yang miring. “Seharusnya PT DI bisa diselamatkan,” kata Rizal Ramli.

Untunglah, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono lewat Menneg BUMN Sugiharto akhirnya mencopot direksi yang diangkat pada masa pemerintahan Megawati. Penggantinya, dengan Dirut M. Nuril Fuad, adalah orang-orang yang kompeten dan mengerti seluk-beluk bisnis pesawat terbang, sehingga order pun mulai kembali masuk, sehingga kinerja PT DI secara pelan-pelan mulai membaik.* (Bersambung...3: Operasi Penyelamatan PLN)

Ngebut dengan 10 Program

Menggaet Rp 5 TriliunTanpa Menjual Saham

Solusi Jitu Mengatasi Problem BII

Ke Tokyo Tanpa Widjojo

Mandiri dengan Lol Buatan Sendiri (Bagian 1 , Bagian 2)

Revisi APBN 2001 yang Supercepat

Angin Perubahan di Semen Gresik

Milestones Rizal Ramli di Pemerintahan, 2000-2001

Calon Presiden dengan Agenda dan Program Perubahan

Epilog


Tidak ada komentar:

Posting Komentar