Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Rabu, 23 November 2011

DR. Rizal Ramli
KEDAULATAN NEWS - Praktik demokrasi di Indonesia gagal melahirkan pemimpin yang memiliki visi dan berkarakter kuat sehingga dapat menyejahterakan rakyat kebanyakan.

Itu salah satu sebab mengapa hingga hari ini kebanyakan rakyat Indonesia masih berkutat pada persoalan basic needs, sementara kalangan elite dan pejabat negara menikmati rente ekonomi dan politik serta hidup berfoya-foya.

Bila praktik demokrasi seperti ini terus dipertahankan, maka sulit membayangkan Indonesia bisa tampil sebagai negara yang terpandang karena rakyatnya sejahtera.

Demikian antara lain disampaikan tokoh nasional DR. Rizal Ramli dalam dialog bertema Pemimpin Berkarakter Kuat untuk Indonesia Kuat, di Pluit, Jakarta Utara, Sabtu malam (10/9). Selain Rizal Ramli, yang juga hadir sebagai pembicara adalah Alma Shepard Supit dari Tim Partisipasi Penanggulangan Kemiskinan, dan Basuki Tjahaja Purnama, anggota DPR RI yang juga mantan Bupati Belitung Timur.

Menurut Rizal Ramli, Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahi Indonesia dengan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah. Sayangnya, potensi luar biasa itu belum dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran  rakyat. Hal ini disebabkan Indonesia kini tidak memiliki pemimpin yang berkarakter dan bervisi jauh ke depan.

"Sistem demokrasi kita saat ini tidak memungkinkan munculnya pemimpin berkarakter dan punya visi. Demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi kriminal. Hanya mereka yang punya uang yang bisa muncul dan mendapat dukungan partai," demikian Rizal Ramli. [guh]

Sumber: RMOL - http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/09/11/38861/Rizal-Ramli:-Demokrasi-ala-Indonesia-Tak-Lahirkan-Pemimpin-Berkarakter-#.Tsyfycy1yzB.facebook

Rabu, 02 November 2011

Mengevaluasi Sistem Pemilu

By: Ramlan Surbakti

DIPERLUKAN parameter atau kriteria untuk mengevaluasi suatu sistem pemilihan umum. Berikut 10 parameter untuk mengevaluasi sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD yang diberlakukan pada Pemilu 2009. 

Pertama, menjamin kedaulatan rakyat, baik dalam penentuan calon dalam setiap partai politik peserta pemilu (P4) maupun dalam proses penyelenggaraan pemilu. Kedaulatan pemilih pada Pemilu 2009 menurun secara signifikan jika dibandingkan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.

Data Pemilu 2009 berikut menunjukkan hal itu: (a) anggota partai tak ikut dalam menentukan calon anggota DPR dan DPRD; (b) jumlah WNI berhak memilih tak terdaftar dalam DPT sekitar 15 persen (26 juta lebih); (c) jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilih 30 persen (lebih dari 51 juta); (d) jumlah suara tidak sah 14,41 persen (16 juta lebih); dan (e) akses pemilih memengaruhi penjabat terpilih sangat terbatas.

Kedua, peran parpol dalam pemilu harus lebih besar daripada sekadar mengajukan daftar calon. Hal ini dapat disimpulkan dari membandingkan peran partai sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD dengan peran partai bukan sebagai peserta, melainkan hanya mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Pada Pemilu 2009, bukan persaingan di antara parpol peserta pemilu, melainkan persaingan antarcalon dari partai yang sama di daerah pemilihan yang sama.

Janji program calon lebih mengedepan daripada visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye. Calon juga lebih aktif dan lebih banyak mengeluarkan dana daripada partai. Calon mengambil alih peran partai sebagai peserta pemilu.

Parameter ketiga, sistem kepartaian yang hendak diwujudkan, yaitu sistem kepartaian pluralisme moderat (sistem multi-partai sederhana). Sistem kepartaian pluralisme moderat masih jauh dari harapan. Jumlah P4 yang terlalu banyak merugikan pemilih karena suara pemilih terpencar ke banyak partai. Selain itu, parpol tak hanya belum dikelola sebagai badan publik, tetapi malah dikelola secara sentralistik, oligarkik, bahkan personalistik. Kegiatan parpol lebih fokus pada power seeking, baik di dalam partai maupun dalam pemerintahan daripada policy seeking sesuai aspirasi konstituen dan ideologi partai. Kepercayaan pemilih kepada partai juga menurun dari pemilu ke pemilu karena pemilih beralih ke partai lain.

Prinsip kesetaraan

Parameter keempat, menjamin keseimbangan sistem representasi penduduk berdasarkan prinsip "kesetaraan perwakilan" (Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945) dengan sistem representasi daerah berdasarkan kesetaraan daerah (Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945). Kenyataan menunjukkan, pembagian kursi DPR kepada provinsi belum menjamin keseimbangan sistem representasi penduduk berdasarkan kesetaraan kedudukan warga negara dengan sistem representasi daerah berdasarkan kesetaraan daerah. Ketakadilan itu terjadi tidak saja karena "harga" satu kursi di provinsi luar Jawa lebih tinggi daripada harga satu kursi di Jawa, juga harga satu kursi antarprovinsi di luar Jawa berbeda secara sangat signifikan.

Kelima, menjamin keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas lain di DPR dan DPRD. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 secara faktual juga merupakan pembatalan Pasal 55 Ayat (1) dan (2) yang berisi mekanisme menjamin keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dari 12 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009 terjadi karena mayoritas pemilih cenderung memberikan suara kepada calon yang menempati nomor urut kecil (1, 2, atau 3).

Parameter keenam berisi tiga hal. Pertama, menggunakan metode pembagian kursi yang adil dalam arti setiap parpol mendapatkan kursi proporsional dengan jumlah suara sah yang diperolehnya. Kedua, tata cara penetapan calon terpilih harus konsisten dengan siapa yang jadi peserta pemilu dan dengan pola pencalonan. Kalau partai sebagai peserta pemilu, pola pencalonan sewajarnya berdasarkan nomor urut. Kalau pola pencalonan berdasarkan sistem daftar (nomor urut), penetapan calon terpilih sudah semestinya berdasarkan nomor urut. Ketiga, menggunakan sistem pemilu yang: (a) tidak beri insentif bagi calon, pemilih, dan pelaksana/penyelenggara pemilu untuk melakukan tindakan yang menyimpang; (b) tidak beri insentif bagi calon untuk melakukan tindakan menyimpang terhadap UUD yang menempatkan partai sebagai peserta pemilu; dan (c) tidak menimbulkan biaya kampanye pemilu yang berlebihan.

Apa yang terjadi pada Pemilu 2009 belum sesuai dengan parameter ini. Metode pembagian kursi setiap daerah pemilihan (dapil) tidak hanya kurang adil (belum menjamin proporsionalitas), khususnya dalam pembagian sisa kursi, juga sangat kompleks, khususnya pembagian sisa kursi DPR di provinsi yang terdiri lebih dari satu dapil. Tata cara penetapan calon terpilih yang diterapkan bukan berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan urutan suara terbanyak.

Penerapan tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak telah menimbulkan sejumlah dampak negatif, di antaranya ketaksesuaian antara cara anggota DPR/DPRD terpilih dan model pengambilan keputusan yang diadopsi DPR/DPRD. Kalau model pengambilan keputusan yang diadopsi di DPR/DPRD lebih menempatkan fraksi (atas nama partai) sebagai pembuat kata akhir, hal itu masuk akal karena UUD memang menugaskan partai sebagai peserta pemilu dan pengajuan calon anggota yang digunakan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 memang mengikuti sistem daftar. Kalau cara anggota DPR/DPRD terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak, model pembuatan keputusan di DPR/DPRD seharusnya juga berdasarkan suara terbanyak.

Akan tetapi, kalau cara anggota DPR dan DPRD terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak, dan model pengambilan keputusan di DPR dan DPRD berdasarkan suara terbanyak, yang menjadi peserta pemilu anggota DPR dan DPRD bukan partai politik, melainkan calon anggota DPR dan DPRD. Kalau kecenderungan ini dilanjutkan, tak saja akan bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945, tetapi juga segala upaya menyederhanakan jumlah partai politik akan gagal karena dalam satu partai akan muncul banyak "partai" (berupa anggota DPR atau kelompok anggota DPR).

Parameter ketujuh, sistem perwakilan rakyat (DPR dan DPRD) terdiri atas dua koalisi partai yang bersaing secara sehat dan adil demi kepentingan bangsa, yaitu koalisi dua-tiga partai yang memenangi pemilu jadi koalisi yang memerintah, dan koalisi dua atau tiga partai yang kalah dalam pemilu menjadi koalisi oposisi. Akan tetapi, dua koalisi seperti ini hanya akan solid dan efektif apabila anggota DPR dan DPRD patuh kepada kebijakan partai masing-masing setelah partai mendengarkan masukan dari anggota fraksinya.

DPR dan DPRD hasil Pemilu 2009 terdiri atas banyak partai dengan komposisi perolehan kursi relatif seimbang. Akibatnya, interaksi antarpartai lebih bersifat kolutif (kartel, bancakan) demi kepentingan elite partai daripada bersifat kompetitif demi konstituen dan bangsa. Pemilu belum berhasil menghasilkan DPR dan DPRD yang terdiri atas dua koalisi partai politik.

Parameter kedelapan, menghasilkan pemerintahan presidensial yang efektif karena presiden mendapatkan dukungan yang solid dari DPR, yaitu dari anggota DPR yang berasal dari mitra koalisi partai yang mencalonkan presiden dan wakil presiden. Begitu pun di tingkat pemerintahan daerah. Efektivitas pemerintahan seperti ini diperlukan agar demokrasi tidak hanya berarti pemerintahan milik rakyat dan oleh rakyat, tetapi juga demi kesejahteraan rakyat.

Belum efektif

Namun, yang terjadi belum seperti yang diharapkan. Baik pemerintahan presidensial maupun pemerintahan daerah belum efektif untuk membuat dan mewujudkan kehendak rakyat. Pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang kurang efektif tidak hanya karena faktor kepemimpinan, tetapi terutama karena kepala pemerintahan tak mendapatkan dukungan solid dari DPR/DPRD. Dukungan solid tidak diperoleh tidak hanya karena terlalu banyak partai di DPR dan DPRD, juga karena terjadi "pemerintahan terbelah", yaitu kepala pemerintahan dipegang Partai A, tetapi DPR/D dipegang Partai A, B, C, D, dan sebagainya.

Kesembilan, sistem pemilu yang cukup sederhana untuk dipahami dan diterapkan oleh pemilih "awam" pada umumnya sehingga para pemilih mengontrol apa yang dilakukannya. Sistem pemilu anggota DPR dan DPRD masih menjadi sistem pemilihan umum yang paling kompleks (jumlah P4 sebanyak 38, jumlah calon antara 152 calon untuk dapil terkecil dan 532 calon untuk dapil terbesar, serta metode pembagian sisa kursi DPR yang rumit) sehingga sukar dipahami dan dikontrol oleh pemilih. Sistem pemilu yang sangat kompleks seperti ini tidak menguntungkan pemilih, sebaliknya lebih menjamin kepentingan partai/calon memperoleh kursi.

Parameter kesepuluh, pengaturan sistem pemilu mengandung kepastian hukum. Kalau dirumuskan dalam bahasa negatif, ia tak mengandung: kekosongan hukum, ketidakkonsistenan antarketentuan, ketentuan multitafsir, dan ketentuan yang tak dapat dilaksanakan. Dengan begitu, peserta pemilu bersaing menurut ketentuan yang sama sekaligus proses penyelenggaraan pemilu bersifat dapat diprediksi oleh dan bagi semua pemangku kepentingan.

Penyelenggaraan Pemilu 2009 lemah dari segi kepastian hukum, baik karena UU Nomor 10 Tahun 2008 (lebih buruk daripada UU No 3/1999 untuk Pemilu 1999 dan UU No 12/2003 untuk Pemilu 2004) sehingga termasuk UU yang paling banyak digugat di MK ataupun karena kelemahan dalam peraturan pelaksanaan yang dibuat dan dilaksanakan oleh KPU. (*)

Ramlan Surbakti Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Sumber: Kompas

Rabu, 19 Oktober 2011

Pergantian Rezim harus Dibarengi Ganti Sistem

KEDAULATAN NEWS - Mengganti rezim pemerintahan SBY secepatnya memang harus dilakukan. Pasalnya, Indonesia telah berkembang menjadi republik korupsi yang dilakukan secara massif elit eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Untuk itu diperlukan tekad dan stamina sekelas Sungai Nil dari seluruh rakyat, bukan sekadar tekad Sungai Ciliwung atau Bengawan Solo.

Demikian yang mengemuka dari diskui bertema “Mengapa Perlu Pergantian Rezim Secepatnya” yang digelar Rumah Perubahan 2.0, Kamis (29/9). Diskusi menghadirkan aktivis Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan Ardi Nuswantoro, pengamat politik Universitas Paramadina Herdi Sahrasad, dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Luky Jani.

Menurut Herdi, output dikembangkannya demokrasi kriminal telah melahirkan anggota DPR dan para pejabat negara yang tercela. Karena itu, lanjut dia, demokrasi kriminal harus dihentikan secepatnya. Ke depan, harus ada kriteria yang jelas bagi calon anggota DPR dan para pejabat publik. Misalnya, kriteria tentang pendidikan minimal dan aspek moralitas.

“Kalau kita sudah sepakat segera mengganti rezim SBY, harus ada tekanan terus-menerus dari seluruh elemen masyarakat. Yang namanya aksi demonstrasi, harus terus dilakukan, kalau perlu bermalam. Untuk itu dibutuhkan tekad dan stamina sekelas Sungai Nil dari seluruh rakyat, bukan sekadar tekad Sungai Ciliwung atau Bengawan Solo,” ujar Herdi merujuk aksi berbulan-bulan rakyat Mesir di Tahrir Square.

Ardi mengatakan pergantian rezim memang harus secepatnya dilakukan. Isu reshuffle yang ditiupkan sama sekali bukanlah jawaban atas masalah yang dialami Indonesia.

Isu rushuffle hanyalah strategi SBY untuk menaikkan citra, terlebih setelah survei menunjukkan tingkat kepuasan publik kepadanya terus merosot. Isu ini juga menjadi pengalih konsentrasi publik, seolah-olah para menterinya gagal sehingga perlu diganti.

Hamil tua
Di sisi lain, Luki menyatakan hingga kini belum melihat adanya sejumlah persyaratan yang dibutuhkan untuk mengganti rezim secepatnya. Dia menyebut rezim yang berkuasa sekarang sebagai rezim hibrida, rezim campuran. SBY mengambil para pembantunya dari sejumlah Parpol dengan maksudnya agar mereka menjadi pendukung. Namun karena ramai-ramai korupsi, mereka jadi saling tersandera dan saling melindungi.

“Secara politik, rezim sekarang bisa disebut solid. Mereka tidak terpecah-pecah. Korupsi telah menjadi pemersatu mereka. Bahkan juga terjadi kolaborasi antara pengusaha dan penguasa. Bagi mereka, hukum hanya menjadi instrumen. Itulah sebabnya Indonesia kini bisa disebut Republik Korupsi,” tukas Lucky.

Ketika PKI akan memberontak, dia melanjutkan, saat itu dikenal adanya istilah Ibu Perttiwi tengah hamil tua. Artinya, persyaratan untuk melakukan revolusi sudah terpenuhi semuanya. Dia mengaku, saat ini belum melihat adanya fenomena ibu pertiwi hamil tua. Jangankan hamil tua, tanda-tanda kehamilan saja tidak ada.
“Memang kini ada keresahan sosial. Tapi itu tidak cukup. Perlu ada identas, solidaritas, dan tuntutan politik yang sama dari seluruh rakyat untuk melakukan revolusi. Sebetulnya kita bisa merekayasa kehamilan. Misalnya, dengan menggunakan bayi tabung. Intinya, bagaimana caranya fenomena Ibu Pertiwi hamil tua itu muncul. Kalau semua itu tidak ada, pilihannya adalah bersabar dan menunggu Pemilu 2014,” papar Lucky.


Siapkan Sistem
Ketiga pembicara sepakat, selain pergantian rezim secepatnya, yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan sistem hukum dan ekonomi. ini menjadi penting, agar kesalahan yang terjadi pada reformasi 1998 tidak terulang kembali. Waktu 1998,  rakyat sibuk menurunkan Soeharto.

“Namun karena kita lupa menyiapkan sistem pemerintan yang baik, maka reformasi itu akhirnya dibajak kelompok predator. Kaum predator adalah mereka yang merampok negara dengan korupsi. Kalau kita tidak menghentikan korupsi, sama artinya bunuh diri pelan-pelan., saya pelajari disintegrasi Yugoslavia dan Rusia. Mereka hancur karena korupsi yang kronis,” kata Herdi.

Menurut Lucky, penyiapan sistem menjadi pekerjaan rumah (PR) ke-2 yang tidak kalah pentingnya. Tidak cukup hanya mengganti rezim, kalau fundamental sistem dan perilaku parfa elit yang korup tidak berubah. “Di awal reformasi, ada istilah birokrasi Spanyol, separuh nyolong. Saya kira sekarang para birokrat itu sudah berubah menjadi predator. Mereka menduplikasi perilaku korup elit yang sebelumnya mereka gulingkan. Inilah bahayanya jika kita hanya sibuk mengganti rezim, tanpa menyiapkan sistem,” pungkas Lucky.(*)


Sumber: http://www.rizalramli.org/index.php?option=com_content&view=article&id=227:pergantian-rezim-harus-dibarengi-ganti-sistem-&catid=37:catredaksi&Itemid=60

INDONESIA ADALAH RAKSASA YANG BELUM BANGUN: Saatnya Mahasiswa Mengukir Sejarah!

SEMARANG,RIMANEWS-Dalam sebuah acara seminar bertemakan "Berdiri di Atas Kaki Sendiri: Menggagas Format Ekonomi yang Pro Rakyat" yang bertempat di Aula Gedung Profesor Sudharto Universitas Diponegoro, Semarang (17/10), ekonom senior yang sekaligus juga Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan, DR. Rizal Ramli, menyerukan bahwa sudah saatnya mahasiswa Indonesia berani membuat sejarah. Setelah sebelumnya pria yang biasa disebut RR ini menceritakan tentang sejarah kebangkitan ekonomi negara-negara di Asia seperti China, Jepang, dan Malaysia ataupun Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina, ia pun menyatakan,

"Indonesia adalah raksasa yang belum bangun. Adalah tugas kaum muda, terutama mahasiswa, untuk membangunkannya. Tidak hanya mempelajari sejarah, sudah saatnya mahasiswa yang membuat sejarah!"
Yang kontan langsung disambut oleh tepukan membahana dari sekitar 300-an mahasiswa peserta yang memenuhi aula. Selain itu RR pun menekankan pentingnya Indonesia meninggalkan sistem neoliberalisme.

"Neoliberalisme adalah suatu fundamentalisme dalam pemikiran ekonomi yang tidak kalah berbahaya dari fundamentalisme agama. Kita tidak boleh menyerahkan semuanya ke pasar bebas. Jangan hanya mengikuti logika kapitalisme yang senantiasa menekankan optimalisasi daripada profit, melainkan kita harus mulai berpikir untuk melakukan optimalisasi dalam nilai tambah. Harus ada strategi industrialisasi untuk menaikkan nilai tambah atas kekayaan bahan mentah kita sehingga mampu menciptaan lapangan kerja massal untuk puluhan juta orang.

Kalau kita melulu mengikuti sistem neoliberal ini, maka Indonesia akan terus saja bernasib seperti Philipina yang hanya mampu mengeskpor bahan mentah dan pembantu rumah tangga, selamanya tidak akan sanggup menyusul Malaysia, China, Jepang, maupun Brasil."

Adapun seminar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro dengan didukung oleh Redaksi Semarang Metro harian Suara Merdeka, komunitas Salunding, dan Radio Idola ini menghadirkan pula pembicara lainnya dari kalangan akademisi Universitas Diponegoro seperti Profesor Singgih Tri Sulistiyono dari Jurusan Sejarah dan Profesor Purbayu Budi Sentosa dari Fakultas ekonomi. Sementara, Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih yang seharusnya juga hadir sebagai salah satu pembicara dikabarkan batal datang dengan alasan yang kurang jelas
 

Rabu, 10 Agustus 2011

DR. Rizal Ramli
KEDAULATAN NEWS (RMOL) -  Ekonom Rizal Ramli memperingatkan para pemimpin bangsa untuk belajar dari kasus presiden Mesir, Hosni Mubarak. Betapa pun kuatnya penguasa, jika tidak amanah, maka dia akan digulingkan rakyat. Rakyat yang muak menghendaki perubahan.

Peringatan Rizal Ramli itu disampaikannya dalam diskusi perubahan bertema Pengadilan Hosni Mubarak; Pelajaran bagi Indonesia yang diselenggarakan Rumah Perubahan, Selasa (9/8). Turut hadir dalam diskusi ahli timur tengah Zuhaeri Misrawi, pengamat politik dari Paramadina Suherdi Sahrasad, dan ahli Indonesia dari Notrhtwestern University AS, Prof. Jeffry Winters.

Dikatakan Rizal, perubahan tidak mungkin diharapkan datang dari dalam sistem. Pasalnya, banyak dari mereka yang sudah menjadi bagian dari masalah. Perubahan juga tidak bisa diharapkan dari pemerintah, karena mereka juga terbelit dengan banyak sekali masalah. Perubahan harus dimotori para mahasiswa, pemuda, buruh dan kalangan intelektual. Satu-satunya jalan keluar dari kemandekan ini, adalah gerakan rakyat. Jadi, people power adalah suatu keniscayaan.

"Saya keliling ke banyak daerah. Saya menemukan rakyat sudah muak. Seorang sopir taksi curhat kepada saya, selama 16 tahun membawa taksi, dia tidak pernah merasa hidup sesulit sekarang. Harga barang makanan mahal, biaya pendidikan dan kesehatan mahal. Dia betul-betul berharap segera terjadi  perubahan secepatnya," ungkap Rizal.[dem] 

Sumber: 
http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=35807

Rabu, 20 Juli 2011

Dominasi Politik Kaum Demagog

By: Mahfud MD

Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi)
Mungkin banyak orang yang tak percaya bahwa dua penumbuh filsafat Barat yang sering dianggap sebagai "konseptor demokrasi", Plato dan Aristoteles, justru menolak sistem politik demokrasi. Dua filosof besar dari Yunani itu, 2.500 tahun lalu, mengatakan bahwa demokrasi merupakan  sistem politikyang"berbahaya" dan tidak praktis.

Plato mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan (pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya tetap."seolah-olah demokrasi.

Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Di Indonesia, belakangan ini, banyak demagog seperti yang ditakutkan oleh Aristoteles itu. Hampir tiap hari rakyat melihat demagog, politisi perseorangan ataupun institusi, yang membohongi rakyat Ada tokoh politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.

Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol keuangan negara.

Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen maka negara akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi.

Di Indonesia, agenda reformasi terseok-seok. Bahkan, jika ukurannya adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan   nepotisme,  cenderung  dapat  dikatakan  gagal.

Mengapa? Karena arena politik Id calebih banyak dikuasai oleh para demagog. Lembaga-lembaga politik kita sekarang ini tampaknya lebih didominasi oleh para demagog yang biasanya tampil sebagai elite politik bukan karena kapabilitasnya melainkan karena kolusi politik yang dibangunnya.

Bukan rahasia lagi, banyak pimpinan politik di parpol di eksekutif, dan di pusat ataupun di daerah, yang meraih kedudukannya melalui premanisme dan kolusi politik Segepok uang sebagai hadiah mentah, biaya tiket, dan uang saku biasa diberikan bagi mereka yang mau mendukung sang "demagog".  Sebaliknya ancaman alienasi, pencopotan, dan teror diberondongkan terhadap mereka yang tak mau mendukung sang demagog.

Untuk memimpin parpol, para demagog yang biasanya pandai berpura-pura itu tak jarang mendapatkan uang untuk membeli kemenangannya melalui sponsor dari kekuatan di luar partainya. Ada yang dari pengusaha hitam yang mengharapkan dukungan untuk satu proyek atau memutihkan catatan hitamnya. Ada yang dari kekuatan politik lain, termasuk dari penguasa, yang meminta komitmen dukungan dengan kompensasi politik tertentu; dan ada yang dari kekuatan lain yang ingin memanfaatkanya sebagai kendaraan politik.

Politik demagogi ini menyebabkan parpol dan lembaga politik lainnya menjadi sesat. Sebab dari sana, jabatan-jabatan politik dan kebijakan publik ditentukan melalui transaksi politik oligarkis yang tidak lagi memikirkan nasib rakyat.

Apakah dominasi demagog sebagai keniscayaan di dalam demokrasi? Tentu tidak Bahwa di dalam demokrasi selalu ada demagog, sudah pasti ya. Tapi dalam kenyataanya demagog bisa tidak dominan. Setidaknya ini bisa dilihat dari dunia perpolitikan kita sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an. Para elite politik kita pada masa itu lebih didominasi oleh orang-rorang yang penuh integritas memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kita telah mencatat dengan tinta emas nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, I J. Kasimo, Mohammad Roem dan Wilopo yang tampu ke tampukkepemimpinan bukan karena premanisme, suap, atau kolusi, melainkan karena diminta dan didorong dari bawah; karena integritas dan keikhlasannya. Masa itu memang ada demagog, tapi tak bisa mendominasi bahkan teralienasi dari percaturan politik, Sebaliknya sekarang ini demagoglahyang dominan.

Yang diperlukan kini adalah bagaimana membuat ranjau agar dunia politik kita tidak didominasi oleh para demagog seperti sekarang ini. Berdasar fakta sejarah sampai tahun 1950-an, dulu kita bisa menampilkan elite-elite yang berintegritas dan ikhlas dalam berjuang untuk rakyat: Kalau para demagog masih mengangkangi kita seperti sekarang, jangan harap negara akan beres dan jangan bermimpi reformasi ada gunanya.



Sabtu, 16 Juli 2011

Borok Itu Kian Mengapung

Oleh: Ahmad Syafii Maarif*)

Jika tak salah ingat, di sebuah harian Ibu Kota saya pernah mengutip peribahasa Arab yang berbunyi ”Mahma tubaththin tudzhirhu al-aiyam” (Apa pun yang kau sembunyikan, sejarah pasti membongkarnya). Peribahasa ini berlaku universal pada semua unit peradaban. Yang busuk cepat atau lambat pasti akan terbau.
Borok-borok kelakuan seseorang atau kelompok orang, betapa pun dibungkus rapi, pasti pada suatu saat akan diketahui. Ada borok yang segera mengapung, ada pula yang harus menanti tahunan, mungkin puluhan tahun, baru ketahuan.

Di suatu negara dengan sistem peradilan baik yang dibangun di atas komitmen moral yang kuat, membongkar sebuah borok, apakah itu menyangkut politik atau ekonomi, tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun, di sebuah negara yang sistem penegakan hukumnya kucar-kacir di mana hukum biasa diperdagangkan, orang memang harus sabar sampai gelombang kesadaran ke arah perbaikan menyeluruh muncul dengan kekuatan dahsyat. Ini bisa dalam bentuk revolusi dan bisa juga melalui gerakan reformasi yang efektif.

Sejarah modern Indonesia pernah mengenal kedua bentuk itu. Revolusi Kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1949 dengan efektif membongkar segala borok penjajahan yang kemudian membuahkan kemerdekaan bangsa. Para pendiri bangsa melalui pena mereka yang tajam telah menguliti borok-borok sistem penjajahan itu dalam tenggang waktu yang lama, diawali sejak abad ke-20.

Namun, gerakan reformasi sejak tahun 1998 dengan tujuan menegakkan sistem demokrasi yang kuat dan sehat ternyata dihadapkan pada jalan buntu kultural yang sampai hari ini belum jelas ujungnya. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatisme elite politik yang memboncengi gerakan ini.

Rezim pepesan kosong
Era reformasi tak berhasil melahirkan negarawan. Akibatnya, keadilan dan kesejahteraan yang sering dijanjikan tak kunjung terwujud. Buntutnya, apatisme masyarakat luas terhadap sistem kekuasaan kian dirasakan di kawasan perkotaan dan pedesaan. Orang begitu mudah tersinggung dan terbakar, lalu diakhiri dengan tawuran massal.

Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi berakhir dengan kegagalan gara-gara para elitenya terus saja bertikai-pangkai berebut kuasa dengan berpedoman pada diktum Machiavelli: tujuan menghalalkan segala cara.

Sejak beberapa bulan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh perilaku tak senonoh yang dilakukan oleh sebagian elite partai politik. Yang baru mulai terkuak adalah borok Partai Demokrat, partai penguasa, yang sejak lama menggantungkan keberadaannya atas citra ketua dewan pembinanya yang kebetulan Presiden Republik Indonesia. Partai-partai lain bisa saja sedang menunggu giliran untuk dibongkar belangnya.

Di kedai kopi-kedai kopi sekarang di seluruh Tanah Air, Anda jangan terkejut jika mendengar ucapan ini, ”Indonesia punya presiden, punya gubernur, punya bupati/wali kota, tetapi tidak punya pemimpin.” Seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang berani dan tegar untuk mengambil keputusan tepat, jika perlu dengan mengorbankan dirinya, demi kepentingan lebih besar. Sosok semacam itu sedang absen di republik ini.
Perintah-perintah presiden memang berhamburan, tetapi hampir kosong dalam pelaksanaan. Para pembantunya berbakat pula untuk mengikuti gaya bosnya yang membosankan itu.

Sebuah rezim yang keberadaannya lebih bertumpu pada citra, bukan pada perbuatan, lama-lama pasti menjadi pepes kosong yang tak ada harganya.

Borok demi borok
Rezim ini sudah sejak awal sarat dililit oleh berbagai borok: skandal Bank Century dan kriminalisasi Antasari, Bibit- Chandra, serta Susno Duadji. Satu borok dicoba ditutup, borok yang lain mencuat. Panorama ini belum akan berakhir sampai terciptanya sebuah perubahan yang mendasar. Kini muncul pula kasus Muhammad Nazaruddin yang sangat memalukan kita semua. Perkara ada pihak yang ingin menyalip di tikungan jalan untuk kepentingan politik pragmatisme partai tertentu mungkin saja berlaku.

Secara de facto, ikatan koalisi kepartaian yang sering dibanggakan itu kini tinggal nama. Elite politik kini dalam situasi saling mengintai. Bukankah bumi Nusantara kini lebih banyak dihuni oleh petualang politik ketimbang sosok negarawan? Kemudian tengok pula peta buram ini: para elite Partai Demokrat kini sedang saling menelanjangi di depan publik dalam membongkar borok teman masing-masing. Dalam pada itu, buron Nazaruddin terus saja berkicau dari tempat persembunyian, entah di mana, untuk memperkeruh situasi yang memang sudah keruh.

Oleh sebab itu, kesimpulan saya adalah akan jadi sebuah kesia-siaan jika orang masih saja berharap untuk membangun bangsa sebesar Indonesia ini dari seseorang yang gagal membereskan rumah tangga partainya sendiri. Ini adalah hukum besi sejarah yang tak dapat ditawar. Titik!

Bagi saya, jika perubahan memang harus terjadi dan tak terelakkan, semuanya harus dilakukan melalui cara-cara damai dan konstitusional. Akal sehat dan hati nurani harus memandu perubahan itu. Jangan bertindak di luar koridor itu. Bangsa yang sudah terlalu lama menderita ini jangan dikorbankan lagi.

Dalam perbincangan saya dengan berbagai kalangan elite atau rakyat jelata sejak dua tahun lalu, ungkapan kegelisahan masif itu tak dapat ditutupi lagi. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan itu tetap saja berputar untuk kepentingan sekitar 20 persen rakyat Indonesia yang bertengger di puncak piramida kekuasaan dan ekonomi. Sisanya, yang 80 persen, tetap saja dihantui oleh beban kesulitan hidup yang belum banyak berubah.

Banyak kalangan bertanya kepada tokoh lintas agama, mengapa kondisi bangsa dan negara ini belum juga memberi harapan untuk masa depan kita semua. Saya menjawab, ”Apalah yang dapat dilakukan oleh tokoh lintas agama selain imbauan moral?” Itu pun tidak jarang dikategorikan sebagai gerakan politik kekuasaan oleh oknum penguasa. Jadi, serba dilematis. Jika bersuara agak lantang, dituduh macam-macam. Jika tidak bersuara, publik terus saja bertanya. Dengan kata lain, masyarakat luas telah kehabisan kosakata untuk mengalamatkan pertanyaan kepada pemerintah yang dinilai tidak mampu memberi jawaban.

Akhirnya, jika segala borok politik, hukum, dan ekonomi yang sedang mendera sekujur batang tubuh bangsa ini tidak juga cepat menemukan jalan keluar, maka yang akan terjadi adalah proses pembusukan dalam cara kita berbangsa dan bernegara. Saya hanya ingin bertanya, apakah para elite bangsa ini tidak mau membaca arus bawah masyarakat luas yang semakin gelisah ini.

Semakin borok-borok itu mengapung, volume kegelisahan itu semakin sulit dibendung. Kepada siapa lagi kita harus bertanya? Semuanya membisu atau menjawab dengan nada yang tak meyakinkan. Namun, Indonesia kita tidak boleh tiarap dalam upaya mencari solusi terhadap beragam masalah yang sedang melintas di depan mata, bukan?

*)AHMAD SYAFII MAARIF Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/07/09/03422466/Borok-Itu-Kian-Mengapung



Mereka Menguasai Indonesia Tanpa Menembakkan Sebutir Peluru Pun

RMOL - KEDAULATANNEWS -  Malaysia, Singapura dan Republik Rakyat China menerapkan model pembangunan khas mereka yang kemudian dikenal sebagai model pembangunan Asia Timur.

Model pembangunan ini terbukti membawa ketiga negara itu menjadi negara maju dan terpandang di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur dalam beberapa dekade terakhir.

Ciri utama model pembangunan ketiga negara itu adalah pemerintah proaktif dan mengambil peran signifikan untu memperkuat industri dalam negeri dan di saat bersamaan memberikan kesempatan pada pasar. Di negara-negara itu, hasil dari pertemuan dua cara pandang ini adalah percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Berbeda dengan ketiga negara itu, seperti telah sering disampaikan oleh kalangan ekonom kerakyatan dan independen pada banyak kesempatan, sejak pemerintahan Orde Baru, Indonesia secara sadar menganut paham neoliberalisme yang tetap digunakan oleh pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Di Asia Tenggara ada dua negara yang menjadi pengikut setia neoliberalisme, yakni Indonesia dan Filipina. Keduanya menjadi negara yang terbelakang dibandingkan dengan neagra-negara lain di Asia Tenggara yang pada 1950an memiliki kondisi kurang lebih sama dengan Indonesia dan Filipina.

Penjelasan di atas disampaikan ekonom senior DR. Rizal Ramli yang diundang secara khusus ke Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Persatuan Pelajar Indonesia se-Malaysia (PPIM). Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan ini menjadi keynote speaker dalam diskusi nasionalisme di KBRI Kuala Lumpur, Kamis siang (14/7).

Negara-negara di Amerika Latin, sebut Rizal, juga pernah menjadi korban neoliberalisme pada kurun 1970an hingga 2000an. Di masa itu, paham ekonomi pasar dipraktikkan secara ugal-ugalan. Sementara di sisi lain ketergantungan pada utang begitu luar biasa.

“Mereka menjadikan utang sebagai alat untuk menstabilkan ekonomi. Setelah itu krisis lagi, lalu utang lagi, krisis lagi dan utang lagi. Begitu terus menerus,” ujar Rizal.

Di bandingkan dengan pengalaman Amerika Latin ketika itu, kondisi Indonesia relatif lebih beruntung. Kini sekitar 30 persen dari APBN digunakan untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga utang luar negeri. Sementara di Amerika Latin pada masa itu, besar anggaran nasional yang digunakan untuk membayar utang sampai 60 persen. Namun bila tak segera diambil langah untuk menghentikannya maka dalam waktu dekat Indonesia akan terpuruk seperti yang pernah dialami negara-negara Amerika Latin itu.

Di tahun 200an beberapa dari negara Amerika Latin mulai berani meninggalkan ekonomi neoliberal. Dari negara yang kerap dianggap ekstrem seperti Venezuela dan Kolumbia, sampai negara moderat seperti Brazil. Dalam waktu yang relatif cepat mereka dapat memperbaiki ekonomi negara.

“Di kawasan Asia, kita masih manut pada neoliberalisme. Walau tentu saja setiap kali Anda mengatakan ini pemerintah membantah,” kata Rizal lagi.

Rizal mencontohkan sektor keuangan dan perbankan nasional yang dikuasai pihak asing.
“Tadi saya dengar Bank Mandiri harus menyetor 350 juta ringgit Malaysia agar bisa membuka cabang di sini. Di negara kita, siapa yang mau buka, silakan saja. Inilah neoliberalisme. Selama ini terus dibiarkan gap antara yang miskin dan gaya terus terjadi,” sambungnya.

Padahal, neoliberalisme adalah pintu masuk neokolonialisme atau penjajahan dengan wajah baru yang tak menggunakan kekuatan fisik seperti di masa lalu. Itulah sebabnya banyak negara besar yang mendorong Indonesia agar bersahabat baik dan mengikuti resep International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Itu karena mereka ingin menguasai Indonesia tanpa menembakkan sebutir peluru pun.

“Dari pengalaman di banyak negara kita bisa menyimpulkan bahwa di Asia negara yang maju adalah negara yang tidak ikut IMF dan Bank Dunia. Sementara di negara kita, agen lembaga-lembaga keuangan asing itu malah diundang dan diberi kesempatan duduk dalam pemerintahan. [zul]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33054

Baca Juga: 

Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli

DR. RIZAL RAMLI POTENSIAL DAN LAYAK UNTUK PRESIDEN RI 2014

Sepakat, Tokoh Agama dan Mahasiswa Upayakan Perubahan

RMOL - KEDAULATANNEWS -  Tokoh agama dan mahasiswa, Jumat malam (15/7), menggelar konsolidasi. Bertempat di Maarif Institute, Jalan Tebet Dalam Barat, Tebet, Jakarta Selatan, mereka sepakat, kondisi bangsa dibawah pemerintahan SBY-Boediono amat buruk dan sangat memprihatinkan.

Tokoh agama yang hadir antara lain Gus Sholah, Abdul Mukti, Romo Benny Sosatyo, Romo Magnis, Pdt Gomar Gultom, Johan Effendy dan yang lainnya.

"Mahasiswa dan tokoh agama merasa perlu untuk segera ada perubahan," turut  Ketua Presidium pengurus pusat PMKRI, Stefanus Gusma kepada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu.

Sekalipun tampilannya berbeda-beda, sambung Stafanus, semuanya sepakat untuk melakukan seruan dan membangun gerakan moral dalam frame yang sama, membebaskan rakyat dari penderitaan. Dikatakan Stefanus, konsolidasi dan gerakan moral untuk mengkritisi pemerintahan juga akan ditularkan dan dibangun di daerah-daerah.

"Kedepan konsolidasi di daerah akan terus berjalan. Seperti di Mataram hari ini mahasiswa sudah bergerak dengan isu stop politisasi Rakyat. [dem]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33166

Baca Juga: 
Gerakan Mahasiswa: Gagal, SBY-Boediono Turun atau Percepat Pemilu!
Kekuasaan politik baru untuk brantas korupsi
Mereka Menguasai Indonesia Tanpa Menembakkan Sebutir Peluru Pun
Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli
DR. Rizal Ramli Pontensial dan Layak Untuk Presiden RI 2014

Gerakan Mahasiswa: Gagal, SBY-Boediono Turun atau Percepat Pemilu!

RMOL - KEDAULATANNEWS - Kemiskinan rakyat kecil yang telanjang di depan mata berlawanan sama sekali dengan pertumbuhan ekonomi yang sering dibanggakan pemerintah. Kelompok mahasiswa menyebut gembar-gembor keberhasilan pembangunan hanya ilusi bikinan pemerintah sendiri. Dan itu hanya salah satu dari sekian banyak kegagalan mendasar pemerintahan SBY-Boediono.

Kegagalan pemerintah memicu kritik tajam. Bahkan, salah satu organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sampai pada satu tuntutan puncak yaitu menuntut Presiden SBY yang mereka anggap telah gagal memimpin Indonesia untuk segera mengundurkan diri.

Salah satu pandangan utama KAMMI adalah fakta bahwa hanya segelintir orang atau kelompok yang menikmati pertumbuhan ekonomi dan bercokol di puncak menara kemiskinan yang kian meresahkan.

"Standar kemiskinan Badan Pusat Statistik yang selama digunakan pemerintah untuk melakukan propaganda dan penyesatan, ternyata sangat bias. Hingga kini pemerintah masih mengunakan standar kemiskinan di bawah 1 dolar AS, padahal negara tetangga seperti Malaysia telah menerapkan standar 2 dolar AS atau sesuai standar Bank Dunia," ujar Ketua Umum PP KAMMI, Muhammad Ilyas, kepada Rakyat Merdeka Online, Jumat (15/7).

Dengan standar penghasilan 1 dolar AS atau kurang lebih Rp 9.000 per hari dengan kurs Rp 9000 per dolar, KAMMI menegaskan, rakyat kecil tidak akan mampu bertahan di tengah lonjakan harga yang tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah. KAMMI juga menilai, tragedi TKI Ruyati yang dihukum pancung di Arab Saudi adalah contoh kecil salah satu potret buram kemiskinan Indonesia dan kelalaian pemerintah.

Sementara itu, dari sisi supremasi hukum, janji-janji pemerintahan bersih yang sering dikampanyekan SBY dari podium ke podium, hanya isapan jempol belaka. Berbagai kasus tidak pernah usai hingga kini. Mulai dari Skandal Century, Rekening Gendut Polri, Mafia Pajak, Mafia Hukum dan kini Mafia Pemilu. Tragisnya, partai yang didirikan SBY dan menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina, partai Demokrat menjadi bungker bagi sejumlah pelanggar hukum. Setidaknya tidak kurang dari 10 elit Demokrat dari tingkat DPP hingga DPD yang terlibat korupsi. Mulai dari As’ad Syam, Yusran Aspar, Sarjan Tahir, Moch Salim, Yusak Yaluwo, Amrun Daulay, Agusrin Maryono Najamudin, Nazaruddin, dan Murman Effendi.

"Jika partai yang getol mengkampanyekan korupsi saja sudah menjadi rumah nyaman bagi koruptor, maka matilah harapan pemerintahan bersih yang selalu didengung-dengungkan itu," tegas Ilyas.

Sementara, kinerja kabinet pragmatis yang dibentuk atas konsesi power sharing oleh SBY dinilai tidak menunjukkan kinerja positif. Pengakuan SBY bahwa 50 persen instruksinya tidak dipatuhi oleh para menteri menegaskan penilaian itu. KAMMI yakin, tindakan reshuffle yang sering didengung-dengungkan pun tidak akan mampu lagi memperbaiki kinerja kabinet karena adanya tarik menarik kepentingan.

Selain eksekutif yang carut marut, KAMMI memandang legislatif juga bermasalah. Terungkapnya skandal “surat palsu” Mahkamah Konstitusi menyangkut hasil pemilu pada 2009, membuat DPR hasil 2009 diragukan legitimasinya. Sangat mungkin bahwa selama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi tempat bercokolnya mafia pemilu. Sebuah keniscayaan jika banyak kursi haram di DPR saat ini.

"Berdasarkan data, diduga tidak kurang dari 16 kursi haram yang ada di Senayan berdasarkan pengaduan mereka yang dicurangi. Ini hanyalah gunung es, ada banyak kasus lain yang belum terungkap. Jika pemilu, satu-satunya instrumen politik dalam proses sirkulasi kepemimpinan politik sudah dipenuhi kecurangan, maka dengan temuan-temuan kecurangan tersebut, kepemimpinan hasil pemilu 2009 secara otomastis tidak lagi legitimate," tegasnya.

Rangkaian kebohongan dan janji palsu Pemerintahan SBY dan permasalahan di legislatif diangap KAMMI sudah cukup menjadi alasan untuk meminta SBY-Boediono mengundurkan diri. "Dan membubarkan kabinet untuk kemudian dibentuk dewan rakyat sebagai bentuk peralihan pemerintahan," tambah Ilyas menegaskan.

Di poin kedua, KAMMI mendesak Presiden SBY dan DPR segera mempercepat Pemilu, baik Pemilihan Presiden maupun Pemilihan Anggota Legislatif.  "Kami menginginkan reformasi jilid dua. Dan untuk menyikapi kerisauan ini maka seluruh pengurus KAMMI se-Indonesia akan berkordinasi pada tanggal 18-22 Juli di Bandung," pungkasnya.[ald]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33115

Baca Juga:
Kekuasaan politik baru untuk brantas korupsi
Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli 
Benarkah Kemenangan Demokrat dan SBY-Boediono Tidak Sah?

Kekuasaan politik baru untuk brantas korupsi

Oleh: A. Umar Said

 Mohon parhatian para pembaca terhadap berita yang dimuat dalam Kompas tanggal 21 Juli 2008 mengenai masalah korupsi di negeri kita, yang secara ringkas telah menyoroti masalah ini dengan mengutip berbagai pendapat, termasuk antara lain dari pimpinan Muhammmadiyah, NU, dan kalangan intelektual. Untuk menanggapi berita ini maka disajikan satu tulisan singkat, yang mencoba mengajak para pembaca untuk melihat masalah korupsi ini dari berbagai sudut pandang. (A. Umar Said)


============
Kompas 21 Juli 2008

Pemerintah dari Aceh sampai Papua Terjerat Korupsi


Korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Kasus korupsi yang muncul tak hanya menjerat sejumlah penyelenggara negara, tetapi juga menghambat penyejahteraan rakyat. Korupsi pun menimbulkan gejolak di daerah.

Maraknya korupsi di sejumlah daerah terungkap dari penelusuran data dan pemberitaan yang dilakukan Kompas. Sepanjang tahun 2008 saja, sejumlah kepala daerah dan pejabat di daerah berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana, bahkan dipenjara, terbelit korupsi dengan beragam kasus. Mereka pasti tidak bisa optimal melayani rakyat.

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Jusuf secara khusus melaporkan terjadinya dugaan korupsi pada tujuh pemerintahan kabupaten di wilayahnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Kompas, 19/3). Hal itu dilakukan karena korupsi ”mengganggu” upayanya mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pun memprihatinkan korupsi di negeri ini. Padahal, ibarat gunung es, kasus yang muncul hanyalah puncaknya. Masih banyak kasus yang belum terungkap. Ia terutama memprihatinkan korupsi yang melibatkan kalangan eksekutif dan legislatif. Jelas ini akan memengaruhi kebijakan untuk menyejahterakan rakyat dan memerhatikan hajat hidup orang banyak.

Kian merajalela
Guru besar hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Adi Sulistyono, Minggu (20/7), menilai korupsi memang kian merajalela, merambah ke berbagai sektor, dari tingkat pusat hingga daerah. Itu terjadi karena selama ini proses hukum pada pelaku korupsi sama sekali tak menjerakan. ”Koruptor yang menimbulkan kerugian negara miliaran sampai triliunan rupiah paling hanya divonis tiga sampai empat tahun. Jadi, bagaimana ada efek jera,” ujarnya di Jakarta.

Menurut Adi, sanksi pidana yang rendah membuat koruptor tidak kapok. Apalagi, penegakan hukum di negeri ini penuh toleransi, memberi koruptor peluang menikmati berbagai fasilitas. ”Kalaupun masuk penjara, beberapa tahun saja. Dengan uang, di penjara dia bisa mendapat fasilitas,” ujarnya. Sanksi sosial pun tidak ada.

”Lihat saja di Solo. Ada anggota DPRD yang pernah dihukum karena korupsi bisa kembali menjalani tugas sebagai wakil rakyat lagi,” kata Adi.
Menghadapi korupsi yang kian parah, menurut Adi, seharusnya pelaku dihukum mati agar ada efek jera. ”Jika tidak dihukum mati, terpidana korupsi harus dimasukkan ke penjara khusus terisolasi sehingga tidak bisa melakukan kontak dengan siapa pun. Mungkin dengan cara seperti ini mereka bisa jera dan tak berani korupsi lagi,” ujarnya.

Banyak peluang
Pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Purwo Santoso, mengakui, praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah dan pejabat di daerah disebabkan terbuka lebarnya peluang korupsi, antara lain karena kekacauan administrasi keuangan pemerintahan. ”Kesempatan untuk korupsi terbuka lebar. Ada begitu banyak kesempatan bagi pejabat di daerah dan pusat untuk korupsi,” katanya.

Purwo mencontohkan, keberadaan dana taktis atau dana nonbudgeter yang hampir dimiliki setiap kantor pemerintahan di Indonesia sangat membuka peluang untuk korupsi. Hampir tidak ada lembaga pemerintahan yang bisa hidup tanpa dana nonbudgeter. ”Anggaran biasanya baru turun bulan Juni, padahal kantor sudah melakukan kegiatan sejak Januari. Dari mana dana kegiatan itu bisa diambil kalau bukan dari nonbudgeter,” ujarnya.

Selain itu, kata Purwo, tingginya biaya politik yang dikeluarkan kepala daerah selama pencalonan juga memicu tindakan korupsi. Korupsi bukan semata-mata dipicu keserakahan oknum. ”Saat kepala daerah diisi orang-orang politik dan orang politik itu masuk dunia politik dengan membayar, termasuk membayar pemilih, ia sedang memperlakukan jabatannya sebagai komoditas. Dan, saat menjabat, ia harus mencari dana untuk mengembalikan modal yang digunakannya,” katanya lagi.

Kondisi itu sulit dihentikan karena masyarakat pun sebenarnya juga menikmati ”penyuapan” yang dilakukan calon kepala daerah saat pemilihan kepala daerah. ”Kalau kondisi ini tak segera diatasi terus-menerus, kita akan dihadapkan pada situasi politik yang mahal,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi pun mengakui, banyaknya pejabat publik melakukan korupsi karena besarnya biaya politik dan sosial yang harus mereka keluarkan, dan budaya hedonistik yang mereka anut. Kondisi itu diperparah oleh sikap sebagian rakyat yang selalu meminta kepada pejabat publik.

Ongkos politik untuk menjadi bupati/wali kota dalam pilkada langsung mencapai puluhan miliar rupiah. Jumlah yang lebih besar dikeluarkan jika mereka ingin menjadi gubernur. Selama menjabat, kepala daerah itu bergaya hidup hedonis, glamour, serta memiliki gengsi yang harus lebih tinggi daripada masyarakat. Kondisi itu berkebalikan dengan sikap pejabat publik negara lain yang mampu hidup sederhana.

Di sisi lain, lanjut Hasyim, dalam masyarakat juga berkembang budaya selalu meminta kepada pejabat, baik permintaan yang wajar maupun tidak wajar, permintaan yang terkait kebutuhan publik, individu, atau kelompok.

Menurut Hasyim, pejabat publik sebenarnya juga merasa ngeri melihat banyaknya pejabat lain yang ditangkap karena korupsi. Namun, mereka sulit keluar dari ”kubangan” yang membuat mereka tetap korupsi.
Sosiolog hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, Satjipto Rahardjo, menegaskan, penanganan korupsi di negeri ini cenderung masih konvensional sehingga korupsi tetap marak. Karena itu, perlu dibuat strategi total yang progresif untuk berperang melawan korupsi. Landasan perang total itu adalah keadilan yang diamanatkan dalam UUD 1945.
* * *
Berikut adalah sejumlah bahan renungan mengenai masalah korupsi untuk kita telaah bersama-sama dan kita coba melihatnya dari berbagai segi :

Korupsi yang sudah puluhan tahun merajalela dengan ganas di negeri kita adalah terutama produk dari sistem politik, sikap mental atau moral para penyelenggara negara dan tokoh-tokoh politik (termasuk parpol-parpol) sejak rejim Orde Baru, yang diteruskan oleh berbagai pemerinatahan sampai sekarang. Adalah jelas sekali bahwa kebanyakan sikap mental atau moral kalangan elite di negeri kita dewasa ini jauh berbeda sekali dengan yang terdapat selama pemerintahan Presiden Sukarno.

Sebab, walaupun dalam pemerintahan Presiden Sukarno ada juga kasus-kasus korupsi, namun tidak sampai seganas dan sebesar seperti yang terjadi sejak Orde Baru sampai sekarang. Presiden Sukarno beserta para menteri-menterinya atau para pembantunya tidak menumpuk kekayaan haram dari curian melalui korupsi. Dan, seluruh pemerintahan di bawahnya tidak dihinggapi penyakit korupsi separah seperti yang terjadi sekarang ini.

Kerusakan moral dan kebejatan iman yang melanda masyarakat luas di negeri kita sekarang ini dipacu oleh contoh negatif yang dipertontonkan oleh kalangan elit (termasuk keluarga Suharto dan pejabat-pejabat tinggi negara baik sipil maupun militer). Dan, karenanya, kerusakan moral atau kebejatan iman ini sudah menjadi kejahatan besar dan merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia. Sekali lagi, perlu ditekankan, KEJAHATAN dan PENGKHIANATAN; yang besar terhadap rakyat.

Seperti yang kita saksikan bersama selama ini, agama pun sudah tidak mampu memperbaiki atau menyembuhkan kerusakan moral dan memperbaiki kebejatan iman yang parah ini. Buktinya, kebanyakan korupsi telah dilakukan oleh mereka yang katanya saja pemeluk agama; yang melakukan sumpah di depan Tuhan, yang rajin sembahyang dan puasa, yang sering mengucapkan ayat-ayat suci, dan yang juga pergi ke Mekah atau Roma.

Karena sebagian terbesar rakyat Indonesia adalah penganut agama Islam, maka perlu diprihatinkan bahwa Muhammadiyah dan NU (dan organisasi-organisasi Islam lainnya) tidak - atau belum - berhasil menjadi pembendung banjir korupsi, yang melanda masyarakat, terutama kalangan elite. Banyaknya kasus korupsi yang parah mencerminkan kegagalan missi yang mereka pikul dan juga menunjukkan kemandulan seruan-seruan yang mereka keluarkan dengan sia-sia saja..


Korupsi yang merajalela di kalangan elit di bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif adalah bukti yang jelas bahwa negara kita sudah dirusak secara parah sekali oleh maling-maling yang bekedok macam-macam. Karena kemiskinan rakyat yang sudah sangat parah dan luas sekali, maka kejahatan yang berupa korupsi ini seharusnya mendapat hukuman yang seberat-beratnya.

Bahwa korupsi merusak negara dan bangsa kita dapat dilihat juga dari penyelenggaraan Pilkada di seluruh tanahair kita. Dalam sebagian besar Pilkada ini terdapat berbagai masalah yang berkaitan dengan pengumpulan dana untuk kampanye, untuk “beli suara”, atau untuk operasi-operasi lainnya. Dalam banyak kasus, dana untuk kepentingan Pilkada ini datang dari sumber-sumber atau saluran-saluran yang “tidak halal”. Karenanya, bisalah dikatakan bahwa hasil Pilkada itu kebanyakan bukanlah “pilihan rakyat yang murni”, melainkan kebanyakan adalah hasil rekayasa, dimana faktor dana “tidak halal” memainkan peran yang utama.

Hal yang serupa berlaku bagi Pemilu yang akan datang, bahkan dalam skala yang lebih besar dan cara-cara yang lebih hebat. Partai-partai yang ikut dalam Pemilu memerlukan dana yang besar sekali, dan untuk itu perlu diadakan pendekatan, atau perundingan, atau persetujuan, atau persekutuan, dengan pemilik-pemilik dana yang besar-besar. Sudah dapat diterka, bahwa sebagian besar dari pemberian dana ini tidak gratis saja atau karena kemurahan hati atau berkat “goodwill” saja. Sebenarnya, juga inilah korupsi dalam bentuknya yang lain.

Jadi, kalau ditinjau secara dalam-dalam, hasil Pemilu yang akan datang pun bukanlah sepenuhnya hasil yang lahir 100% dari fikiran, perasaan atau kemauan rakyat, melainkan hasil yang dibuat oleh uang, atau pengaruh, atau berbagai manipulasi lainnya. Hal semacam ini tidak terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di negara-negara lain, dalam kadar dan bentuk yang berbeda-beda. Namun, karena situasi yang khusus di Indonesia, maka apa yang terjadi di negeri kita bisa lebih parah dari pada negeri-negeri lainnya.

Mengingat itu semua, nyatalah bahwa Pemilu yang diikuti oleh partai-partai yang mengumpulkan dana dengan cara-cara “tidak halal” itu akan menghasilkan parlemen yang -- kasarnya -- “tidak halal” pula. Artinya, sebenarnya, parlemen tidak akan sepenuhnya merupakan hasil pilihan rakyat yang sesungguhnya. Karena itu, sebagai akibatnya, pemerintahan yang akan dibentuk dengan persetujuan parlemen pun jadinya “tidak halal” juga, kasarnya. Namun, sampai itu sajalah pengertian “demokrasi” yang sekarang ini berlaku di negeri kita dewasa ini.

Dengan komposisi politik yang seperti sekarang, yang didominasi oleh unsur-unsur lama dan sisa-sisa Orde Baru, maka korupsi tetap merajalela. Sebab, seperti yang kita saksikan dari kasus-kasus korupsi yang dibongkar KPK baru-baru ini banyak dari pelaku-pelakunya yang ditangkap terdiri dari orang-orang pendukung Orde Baru .Berdasarkan pengalaman selama ini dapatlah kiranya dikatakan bahwa korupsi adalah ciri utama Orde Baru,.

Jadi, pemerintahan dan DPR yang baru sebagai hasil Pemilu 2009 (atau, bahkan, Pemilu 2014 pun ) nantinya, namun selama sistem politik dan ekonomi pada pokoknya masih seperti yang sekarang juga, maka kecillah harapan bahwa korupsi bisa akan dibrantas besar-besaran. KPK bisa saja menggalakkan tindakan-tindakannya , namun akan tetap tidak akan bisa menangani masalah yang sudah begitu besar dan begitu parah, dan begitu luas pula.

Korupsi hanya dibrantas besar-besaran dan habis-habisan oleh satu kekuasaan politik yang baru, yang menjalankan sistem yang baru pula di bidang politik, sosial, ekonomi dan juga kebudayaan. Kekuasaan politik yang baru ini, harus berbeda sama sekali dengan kekuasaan politik lama yang justru sudah terbukti gagal dalam menyelenggarakan negara secara baik demi kesejahteraan rakyat.

Dengan pandangan yang demikian, nyatalah bagi seluruh kekuatan demokratis – dari golongan dan aliran politik yang mana pun -- untuk terus-menerus membangun kekuatan, dengan berbagai cara, sehingga memungkinkan adanya perubahan yang besar dan fundamental dalam kekuasaan politik.

Negeri kita, Indonesia, sudah memerlukan adanya penggantian kekuasaan politik, dengan yang baru, yang dipegang oleh kalangan muda.


Paris, 26 Juli 2008

Sumber: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Kekuasaan%20politik%20baru%20utk%20brantas%20korupsi.htm







Selasa, 12 Juli 2011

DR. Rizal Ramli Pontensial dan Layak Untuk Presiden RI 2014


2
Kisah Kehancuran dan “Momen” Kebangkitan
PT Dirgantara Indonesia


Ada dua pembantu paling dekat Soeharto ketika berada di puncak kejayaannya pada masa pemerintah Orde Baru. Pertama, Widjojo Nitisastro, ekonom kepercayaan Soeharto yang meracik kebijakan ekonomi Orde Baru. Kedua, B.J. Habibie, yang punya kedekatan emosional dengan Soeharto, dan mampu membuai Jenderal Besar itu dengan mimpimimpinya untuk mensejajarkan Indonesia dengan negara-negara maju lewat PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang menghasilkan pesawat terbang buatan putera-puteri terbaik Nusantara.

Dalam perkembangannya, meski mampu menghasilkan pesawat terbang seperti CN-212 dan CN-235, Habibie dengan IPTN-nya selalu menjadi sasaran kritik para ekonom. Maklum, dalam mengembangkan industri dirgantara itu, Habibie dinilai kelewat bersemangat membelanjakan duit dalam jumlah gigantik untuk ditumpahkan ke IPTN. Kalau pun tidak mendapat alokasi dana dari APBN, berkat kedekatannya dengan Soeharto, Habibie selalu bisa mendapatkan dana besar untuk menopang IPTN, termasuk menggunakan Dana Reboisasi, dana off budget yang amat besar di masa itu.

Seiring dengan jatuhnya Soeharto, sumber dana untuk IPTN pun mulai tersendat. Pamor IPTN sebagai produsen pesawat terbang mulai redup. Apalagi rapor keuangan industri dirgantara itu selalu merah menyala dari tahun ke tahun. Ketika Gus Dur menjabat Presiden RI, kondisi keuangan IPTN kian amburadul. Padahal, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki IPTN layak mendapat acungan jempol: mendapat pendidikan luar negeri dan pelatihan di perusahaan pesawat terbang kelas dunia.

Gus Dur ingin menyelamatkan IPTN. Maka, presdien RI ke-4 itu pun menelepon Rizal Ramli, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Bulog. “Rizal, coba kamu benahi IPTN karena bleeding terus,” kata Gus Dur diujung telepon. Rizal Ramli terperanjat. Memang, ia termasuk salah satu ekonom yang paling lantang mengkritik strategi pengembangan teknologi dirgantara yang ditempuh Habibie. Kritik Rizal Ramli tentang model pengembangan teknologi ala Habibie yang serba mahal dan “wah” sering dimuat media cetak pada pertengahan 1990-an. Bagi Rizal, paradigma pengembangan teknologi yang dilakukan Habibie tidak tepat karena lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat “wah”. Dan, yang lebih celaka lagi, juga sangat boros (high cost).

Padahal, meski teknologi yag diterapkan canggih, selalu ada cara untuk mengoperasikannya dengan biaya yang kompetitif. “Hukum besi teknologi kan seharusnya semakin lama produk yang dihasilkan semakin murah,” ujarnya. Ingat, harga telepon selular (ponsel) pada akhir tahun 1980-an, ketika mulai masuk ke Indonesia harganya sangat mahal. Hanya para pengusaha besar dan para kapten industri raksasa yang bisa menenteng hp. Sekarang, sopir angkot bahkan tukang ojek pun bisa berponsel ria.

Bagi Rizal Ramli, dalam mengelola IPTN, Habibie lebih mementingkan teknologinya yang wah. Semua infrastruktur, mesin-mesin dan peralatan kerja – beserta sarana penunjangnya selalu menggunakan kualitas paling bagus. “Habibie lebih mementingkan wahnya tanpa mempedulikan pasar maupun biayanya,” kata Rizal Ramli. Wajar jika kemudian meski mampu menghasilkan produk-produk pesawat terbang dan helikopter, neraca keuangan IPTN selalu compang-camping: menderita kerugian yang tak kecil. Hanya karena terus-menerus ditopang dana berlimpah, IPTN bisa tetap eksis.

“Gus Dur, mohon maaf, apa tidak salah meminta saya membenahi IPTN. Saya kan sering mengkritik Habibie. Lagi pula, posisi saya kan Kabulog, sehingga tidak punya kewenangan untuk membenahi IPTN,” kata Rizal Ramli berusaha “berkelit” dari penugasan Gus Dur.

Dengan enteng Gus Dur menukas: “Salah sendiri, kenapa dulu selalu mengkritik Habibie. Sekarang kamu kualat. Jadi, harus membehaninya. Nah, soal kewenangan, kamu memang Kabulog, tapi yang memerintahkan kamu ‘kan Presiden,” ujarnya. Rizal Ramli hanya bisa tersenyum. Untuk urusan yang pelik seperti apa pun, Gus Dur selalu punya jawaban yang “inovatif”.

DR. Rizal Ramli & Gus Dur (Alm.)

Maka, Rizal Ramli pun kini punya tugas ganda: mengurus beras dan industri pesawat terbang. Ia pun segera mengumpulkan berbagai informasi mengenai kondisi IPTN. Juga menghimpun data mengenai industri penerbangan di mancanegara. Setelah membedah isi perut IPTN, akhirnya Rizal Ramli pun sampai pada kesimpulan: mesti ada titik balik (turn arround) dalam paradigma pengembangan IPTN, mengubahnya dari industri yang high cost menjadi industri pesawat terbang yang kompetitif – seperti yang terjadi di industri sejenis di Cina, Brazil, dan India. Sehingga, produk IPTN bisa bersaing di pasar internasional.

Peralatan dan mesin produksi di Cina, Brazil, dan India tidak secanggih dan mutakhir seperti milik IPTN, toh mereka bisa menghasilkan pesawat terbang yang kompetitif. Maka, Rizal Ramli pun mulai menyingsingkan lengan baju, melakukan overhaul terhadap IPTN. Untuk menandai perubahan paradigma dari industri yang high cost ke industri penerbangan yang kompetitif, nama IPTN diganti menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI).

Tim manajemen puncak juga dirombak dengan menempatkan kader-kader yang unggul di posisi direksi PT DI. Mereka adalah kader terbaik pilihan Habibie, yang kerap mendampingi Habibie ketika bertemu dengan para raksasa bisnis dirgantara kelas dunia, seperti Boeing, British Aeorospace, dsb. Mereka adalah para insinyur yang sangat tahu seluk-beluk aspek teknis dan aspek bisnis industri penerbangan. Mereka juga memiliki networking yang luas dengan industri pesawat terbang internasional. Joesman SD ditunjuk sebagai Direktur Utama PT DI.

Rizal Ramli dan tim manajemen baru PT DI terus mendiskusikan berbagai stretegi untuk mengubah PT DI dari perusahaan yang merugi menjadi perusahaan pesawat terbang yang mampu mencetak laba. Contoh-contoh industri pesawat terbang dengan mesin-mesin produksinya yang tidak secanggih PT DI, seperti di Cina, dan mampu menghasilkan pesawat terbang sipil maupun militer yang harganya sangat kompetitif, dibahas tuntas. “Rapat-rapatnya, ya dilakukan di Kantor Bulog,” kata Rizal Ramli sambil tersenyum.

Setelah berdiskusi cukup panjang, manajemen DI pun diminta membuat blue print dan business plan yang mampu memperbaiki kinerjanya. PT DI tidak lagi semata-mata berkonsentrasi memproduksi pesawat terbang atau helikopter, melainkan juga memproduksi spare parts dan components untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka seperti Boeing, Airbus, British Aerospace, dsb. Sebaliknya, PT DI diminta menyingkir dari aktivitas bisnis yang tak berkaitan dengan bisnis intinya.

“Saya minta dalam dua tahun PT DI harus meraih keuntungan. Kalau tidak, silakan saudara-saudara mencari pekerjaan lain saja,” kata Rizal Ramli, kepada direksi baru PT DI.

Ketika Membenahi PT Dirgantara
Indonesia, Rizal Ramli melakukan perombakan
besar-besaran. Hasilnya, angka penjualan PT DI
pada 2001 melonjak hampir tiga kali lipat hingga mencapai
Rp 1,4 triliun.


Pembenahan yang menyeluruh itu membuahkan hasil yang manis. PT DI mulai menunjukkan tanda tanda awal kebangkitan. Jika pada tahun 1999 angka penjualan PT DI baru mencapai Rp 508 miliar, pada tahun 2001 melonjak hampir tiga kali lipat hingga mencapai Rp 1,4 triliun. Pada tahun 2001 itu, neraca keuangan PT DI juga mencatat keuntungan Rp 11 miliar. Bandingkan dengan kerugian Rp 75 miliar yang diderita pada tahun 1999. Upaya perubahan paradigma dan restrukturisasi PT DI mulai menunjukkan hasil-hasil yang positif.

Berantakan Lagi
Sayangnya, setelah terjadi pergantian pemerintahan dari Gus Dur ke Megawati, kinerja PT DI yang mulai positif itu kembali terpuruk pada tahun 2002. Penyebabnya tak lain, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi mengganti tim manajemen yang solid dengan personel yang tidak memiliki networking dengan komunitas bisnis dirgantara internasional. Padahal, networking itu sangat penting mengingat bisnis penerbangan bersifat oligopolistik.

Tahun 2002-2003, praktis PT DI tidak mendapat order baru, karena direksi PT DI tidak memiliki jaringan lobi kepada raksasa bisnis pesawat terbang. Suasana internal mulai terasa tidak nyaman. Direksi menyalahkan para karyawan. Padahal, sebagian besar karyawan PT DI punya kemampuan teknis yang lumayan bagus karena pernah magang di berbagai perusahaan dirgantara multinasional.

Konfrontasi antara karyawan dan top manajemen kerap terjadi. Kinerja PT DI kian merosot. Timbunan utangnya mencapai Rp 1,5 triliun. Proyek pembuatan pesawat terbang bermesin jet N-250 yang sangat prestisius pun akhirnya dipangkas habis.

Ketika Kementrian Negara BUMN dipegang Laksamana Sukardi, kondisi PT DI semakin limbung. Maka, direksi PT DI pun kemudian melakukan PHK terhadap 6.600 karyawan. Ribuan karyawan kehilangan pekerjaan. Perseteruan kian memuncak dan berubah menjadi rangkaian aksi demo besar-besaran. Perseteruan berlanjut ke pengadilan, yang akhirnya dimenangkan oleh para karyawan. Direksi PT DI dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Bandung. “Saya sedih menyaksikan nasib PT DI. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana para karyawan yang memiliki keahlian dan pengalaman di industri pesawat terbang harus menjadi pengangguran,” kata Rizal Ramli. Untuk menunjukkan keberpihakan kepada para karyawan PT DI, jika mereka berdemo ke Jakarta, Rizal Ramli pun menyambangi base camp mereka di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Bahkan ia pun menyatakan kesiapannya membela karyawan dengan menjadi saksi ahli di pengadilan, demi membela nasib mereka yang hingga kini masih terkatung-katung.



Dan ketika Rizal Ramli dipanggil sebagai saksi ahli pada tanggal 19 Januari 2004 di Pengadilan Negeri Bandung, belasan ribu karyawan PT DI bersama anak dan isterinya menghadiri sidang itu. Jalanan di depan Pengadilan Negeri Bandung macet total. Dalam sidang itu, Rizal Ramli menyatakan, PHK bukan solusi terbaik dalam penyelamatan PT DI. Kinerja PT DI yang buruk pada tahun 2002, gara-gara tidak mendapatkan order sama sekali, bukan kesalahan para karyawan, melainkan kesalahan direksi yang tidak mampu bekerja. “Tapi, kenapa justru karyawan yang mesti dikorbankan,” kata Rizal Ramli.

Selama sidang berlangsung, suasana sidang yang biasanya hening menjadi riuh rendah karena Rizal Ramli kerap mengeluarkan pernyataan yang membela karyawan PT DI. Bahkan, Rizal Ramli tak kuasa menahan rasa haru pada nasib ribuan karyawan yang di-PHK karena salah urus direksi. Air matanya pun menetes.

Pada akhirnya, sidang itu memenangkan gugatan para karyawan. Direksi PT DI divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Bandung.

Menyoroti PT DI yang kian carut-marut, Rizal Ramli hanya bisa mengurut dada. Upaya revitalisasi dan perbaikan PT DI yang dijalankan pada periode 2000-2002, yang merupakan periode konsolidasi dan survival, sama sekali tidak berlanjut. Bahkan sebaliknya, kondisi PT DI kian menyedihkan: pemecatan karyawan yang menimbulkan aksi yang berlarut-larut, hingga kian mengganggu kinerja PT DI.

“Tanpa order pekerjaan, jelas terlihat PT DI kelebihan tenaga kerja, sehingga satu-satunya solusi yang diambil oleh manajemen adalah mem-PHK ribuan karyawan,” kata Rizal Ramli. Anehnya, ketika jumlah karyawan dipangkas, Kementrian Negara BUMN justru menambah jumlah komisaris, dari lima orang menjadi sembilan orang. “Itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip efisiensi dan keadilan,” ujarnya.

Karena kondisi PT DI kian berantakan, tenaga kerja terbaik dari perusahaan itu, meski tidak terkena PHK, akhirnya berhamburan keluar negeri. Mereka kini bertebaran di industri pesawat terbang terkemuka di dunia, seperti Boeing (Amerika Serikat), British Aerospace (Inggris), CASA (Spanyol), Malaysia, dan Autralia. Tak sulit bagi mereka untuk mencari pekerjaan karena memang memiliki pengalaman dan keahlian yang memadai.

Yang rugi, jelas bukan hanya PT DI melainkan juga negara kita, karena aset sumber daya manusia (SDM)-nya yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan dengan biaya mahal, kini memperkuat industri di negara lain. “Akan sangat sulit mendapatkannya lagi ketika Indonesia memerlukan industri penerbangan yang murah dan kompetitif,” kata Rizal Ramli.

Padahal, sebagai negara kepulauan yang amat luas, Indonesia memerlukan kehadiran industri pesawat terbang yang andal dan kompetitif, bisa menghasilkan pesawat terbang dengan harga yang miring. “Seharusnya PT DI bisa diselamatkan,” kata Rizal Ramli.

Untunglah, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono lewat Menneg BUMN Sugiharto akhirnya mencopot direksi yang diangkat pada masa pemerintahan Megawati. Penggantinya, dengan Dirut M. Nuril Fuad, adalah orang-orang yang kompeten dan mengerti seluk-beluk bisnis pesawat terbang, sehingga order pun mulai kembali masuk, sehingga kinerja PT DI secara pelan-pelan mulai membaik.* (Bersambung...3: Operasi Penyelamatan PLN)

Ngebut dengan 10 Program

Menggaet Rp 5 TriliunTanpa Menjual Saham

Solusi Jitu Mengatasi Problem BII

Ke Tokyo Tanpa Widjojo

Mandiri dengan Lol Buatan Sendiri (Bagian 1 , Bagian 2)

Revisi APBN 2001 yang Supercepat

Angin Perubahan di Semen Gresik

Milestones Rizal Ramli di Pemerintahan, 2000-2001

Calon Presiden dengan Agenda dan Program Perubahan

Epilog