Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Kamis, 06 Mei 2010

Bank Dunia & Korupsi

KREDIBILITAS lembaga-lembaga internasional termasuk Bank Dunia (BD) dan IMF semakin dipertanyakan. Dalam acara The World Debate membahas peran BD dalam memerangi kemiskinan yang diselenggarakan TV BBC pada 7 Oktober 2007 yang diikuti Sanjay Pradhan (Bank Dunia), Tajudeen Abdul Rahim (UN Millinneum Campaign-Africa), Paul Skinner (Chairman Rio Tinto), Ashraf Ghani (mantan Menteri Keuangan Afganistan) dan Prof. Jagdish Bhagwati, Ekonom dari Columbia University USA, banyak butir-butir menarik dan kritis yang dibahas.

Misalnya, sebagai lembaga dunia yang mengurus kemiskinan di dunia ketiga (negara-negara berkembang) mengapa BD harus selalu dipimpin orang Amerika tunjukan Gedung Putih? Penunjukan itu semakin menguatkan kenyataan selama ini bahwa BD adalah kepanjangan tangan tak langsung Pemerintah Amerika Serikat (biasanya melalui tangan Departemen Keuangannya) untuk mengarahkan BD atau memutuskan Go atau tidaknya policy & program BD.

Dominasi Pemerintah Amerika Serikat ini semakin terasa menjadi-jadi dalam masa pemerintahan George W Bush ketika Presiden Bank Dunia yang katanya lembaga ekonomi itu dipimpin oleh politisi pecandu perang bukan oleh seorang ekonom. Pertama, Presiden George W Bush berhasil menunjuk kroninya Paul Wolfowitz sebagai Presiden Bank Dunia. Namun karena terlibat skandal KKN, Paul Wolfowitz dipaksa mengundurkan diri. Kedua, sebagai penggantinya, Presiden George W Bush menunjuk Robert Zoellick yang juga arsitek perang Irak yang brutal dan gagal itu. Dilihat dari proses penggantian/penunjukan dan siapa yang ditunjuk ini saja sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa lembaga Bank Dunia akan tetap dan terus menjadi kepentingan politik Gedung Putih.

Kembali ke The World Debate di atas, para panelis pada umumnya memberikan saran dan kritik pada BD seperti, good governance, transparency, peningkatan kelancaran investasi, dan pemberantasan KKN di negara-negara yang mendapatkan pinjaman dari BD, dengan menyetop bantuan atau pinjamannya itu. Alasannya karena pinjaman itu justru semakin memarakkan korupsi di negara debitor tetapi rakyatnya yang harus membayar kembali pinjaman tersebut. Meski proyek atau programnya gagal, dalam kenyataannya BD tak mau tahu, yang penting debitor harus membayar kembali pokok pinjaman beserta bunganya sesuai jadwal. Menanggapi tuntutan tersebut Sanjay Pradhan (Bank Dunia) menegaskan bahwa tujuan utama BD adalah memerangi kemiskinan dan karena itu tetap memberikan pinjaman ke negara yang diketahuinya korup.

Mengapa BD ngotot tetap menyalurkan pinjamannya pada negara-negara yang dikenal korup termasuk Indonesia? Bukankah itu tidak sejalan dengan tujuan keseluruhan (bukan sepotong-sepotong) pendirian Bank Dunia? Bagaimana dengan program good governance, transparency, efisiensi, clean government, dan institutional capacity building bila dananya dikorupsi? Bukankah penyaluran dana pinjaman kepada rezim yang korup itu menyakitkan rakyat setempat? Bukankah sebuah negeri tidak akan bisa adil makmur bila birokrasi pemerintahannya sarat dengan korupsi? Atau seperti kata Prof. J Bhagwati bahwa demokrasi tidak akan tumbuh dan berkembang sebelum diperoleh sukses dalam bidang ekonomi.

Dan kita tahu bahwa sukses ini tidak akan terwujud bila pemerintahnya korup. Singkat kata, kita seharusnya tidak berkompromi dengan korupsi apalagi lembaga internasional seperti Bank Dunia. Dengan perkataan lain sungguh sulit bagi kita memahami semangat menggebu-gebu Bank Dunia untuk tetap menyalurkan uangnya ke negara-negara korup bila tidak ada sesuatu yang terselubung alias udang dibalik batu.

DARI pengalaman dan pengamatan selama ini sebenarnya tidak susah memahami kenapa Bank Dunia (BD) tetap aktif memberikan loan pada negara-negara korup? Pertama, demi eksistensi BD itu sendiri, yaitu harus tetap memberikan pinjaman sehingga memperoleh pengakuan atas kehadirannya. Kedua, demi memperoleh penghasilan bunga untuk membiayai operasionalnya. Ketiga, untuk mengemban misi atau kepentingan Pemerintah Amerika Serikat dan Multi National Corporation tertentu. Keempat, untuk kepentingan kontraktor/ konsultan langsung maupun tidak langsung projek-projek BD yang dalam banyak hal sering orang dalam BD sendiri atau kroninya. Kelima, untuk mengembangkan karir dan ambisi pejabat-pejabat BD sendiri.

Tidak selalu kepentingan asing yang dititipkan kepada BD itu buruk bagi negara debitor. Meski begitu negara debitor harus selalu waspada, kritis, dan berani bersikap atau menentukan pilihannya sendiri. Contoh kepentingan asing (bukan kepentingan nasional negara debitor) sebagai berikut. Dua puluh lima tahun yang lalu ketika saya kuliah di Amerika Serikat, dosen saya menceritakan sebuah projek BD untuk pengadaan air bersih yang sangat dibutuhkan di India terpaksa dibatalkan karena pemerintah AS tidak setuju dengan alasan yang tidak dijelaskan. Tetapi publik tahu karena Pemerintah India saat itu sedang berhubungan mesra dengan Uni Soviet, musuh perang dingin AS.

Contoh lain Indonesia pernah ditekan membuka kembali ekspor kayu gelondongan yang jelas merugikan kita. Atau pinjaman BD yang digunakan untuk meningkatkan penerimaan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sektor pedesaan yang besarnya 500 persen dari penerimaan PBB pedesaan (yang logis biaya untuk peningkatan penerimaan PBB tidak lebih dari 10 persennya). Begitu pula dengan proyek-proyek non fisik (konsultasi dan institutional devolopment, technical assistance dan lain-lain) yang umumnya gagal atau sekurang-kurangnya tidak membawa perubahan/perbaikan yang berarti sementara kita tetap harus membayar pinjaman dan bunganya.

Program dan projek yang dibiayai dari dana pinjaman BD banyak yang berasal dari inisiatif kreditor atau kroninya, dan mereka pula yang menikmatinya. Seperti dikatakan Tajudeen Abdul Rahim, local initiatives sangat minim. Banyak negara debitor difungsikan sebagai arena uji coba dengan biaya (utang) yang ditanggung debitor. Karena itu tidak mengherankan bila banyak sekali negeri yang telah lama menjadi pasien BD tetapi tetap saja miskin, korup, dan tidak mengalami perubahan yang berarti kecuali bertambah hutangnya. Logis, karena mana mungkin bisa menghapuskan kemiskinan dinegara yang korup.

Bank Dunia tidak akan menghentikan pinjamannya pada negeri-negeri yang dikenal tinggi tingkat korupsinya. Sebagian besar pinjaman BD justru disalurkan ke negeri-negeri korup. Dengan demikian menghentikan pinjaman kepada mereka sama saja mematikan bisnis BD itu sendiri. BD justru akrab dengan KKN. Artinya, pada negeri-negeri yang tinggi tingkat korupsinya itu lebih mudah bagi BD untuk mengatur segala sesuatunya sepanjang BD tidak terlalu usil dengan praktek korupsi yang berlangsung di negeri itu.
Dengan perkataan lain, rupanya negeri-negeri yang bersih dari korupsi justru menghindari berhubungan dengan BD. Tentu hipotesa-hipotesa ini perlu diuji keakuratannya secara statistik, meski secara kasat mata, fakta dan angka yang ada nampaknya hipotesa tidak meleset.

Total cumulative lending BD per 30 Juni 2007 $614,4 miliar meliputi lebih dari 176 negara dimana Indonesia masuk dalam 5 besar debitor dengan cumulative lending $32,5 miliar atau 5,3 persennya. 20 debitor terbesar meliputi 63 persen ($388 miliar). Besarnya lending commitments BD untuk 2007 $24,7 miliar dimana untuk Indonesia $1159 juta atau 4,7 persennya dan menduduki urutan ke-4 terbesar. Dengan mengacu pada Transparency International Corruption Index 2007 yang meliputi 180 negara dengan score 10 (paling bersih) sampai 0 (paling korup), praktis tidak ada negara dengan score diatas 5 yang menjadi debitor BD.

Sebaliknya, 20 debitor utama BD untuk tahun 2005 s/d 2007 adalah negara-negara dengan score dibawah 4,2 bahkan sebagian besar dibawah angka 3 yang mencerminkan negara itu amat korup. Keakraban BD dengan negara-negara korup ini mengingatkan kita pada pepatah lama, maling teriak maling.
(Sumber: Fuad Bawasier, http://www.rakyatmerdeka.co.id/index.php?pilih=fuad&id=64)