Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Selasa, 07 September 2010

Partai Kedaulatan: Ambang PT Upaya Kekuatan Politik Tertentu Mempertahankan Status Quo


Jakarta (KEDAULATAN News) – Sekretaris Jenderal Partai Kedaulatan Restianrick Bachsjirun, S.Sos menegaskan, angka Parliamentary Treshold (PT) dalam RUU Pemilu lebih merupakan upaya mempertahankan status quo oleh kekuatan politik tertentu.
Saat menjelang buka puasa dikediamannya Jakarta Timur, Jum’at (3/9), Restianrick mengemukakan tidak ada suatu kepastian atau takdir, bahwa satu partai akan selalu kecil atau selalu besar karena kekuasaan itu akan selalu dipergilirkan.

“Tengoklah sejarah perpolitikkan di dunia ini, selalu terjadi rotasi kekuasaan, seperti pergantian malam menjadi siang,” tegasnya.

Partai Kedaulatan sendiri, Restianrick menambahkan, hanya akan meminta kepada rakyat berdaulat dan bukan mengemis kepada partai-partai politik lainnya agar lolos ketentuan PT dimaksud.

"Karena itulah saat ini Partai Kedaulatan terus membenahi diri, khususnya memperkuat kelembagaan partai, dan kita harus melakukan banyak komunikasi dan pendekatan dengan rakyat berdaulat serta memperjuangkan hak-hak dasar rakyat sebagaimana di jamin konstitusi," ujarnya seraya menekankan bahwa hakekat keberadaan partai itu adalah bagaimana menyalurkan kepentingan dan aspirasi rakyat berdaulat.

Namun demikian, aktivis mahasiswa 80an itu tetap berharap agar kalaupun ada ketentuan angka PT, hal tersebut jangan sampai bertentangan dengan prinsip konstitusi.

“Saya kuatir penentuan angka-angka PT dalam RUU Pemilu menenggelamkan minoritas atau kelompok yang selama ini telah termarginalkan.”, katanya.

Kedaulatan Optimis Menuju 2014

Ditempat yang sama, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kedaulatan Denny M. Cilah, SE, SH, M.Si menegaskan bahwa Partai Kedaulatan dipastikan menjadi salah satu peserta Pemilu 2014 mendatang. Hal ini sebagaimana dijamin dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008 menegaskan, “Partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta pemilu berikutnya”.

“Yang dimaksud dengan pemilu sebelumnya adalah pemilu mulai Tahun 2009 dan seterusnya. Dengan demikian maka parpol yang tidak mencapai ambang batas parlemen lima persen pada Pemilu 2009, tetap berhak untuk mengikuti pemilu 2014,” katanya.

“Jika saat ini ramai dengan wacana penyederhaan Partai dengan metode menaikkan ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi lima persen. Partai Kedaulatan dipastikan ikut Pemilu 2014 mendatang,” tegasnya.


Menurut dia penetapan ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi lima persen sama sekali tidak menjamin penyederhanaan partai politik di Indonesia, karena UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD sama sekali tidak mendukung PT.

Saya bukannya tidak setuju dengan PT. Kalau pun ada semangat untuk menyederhanakan sistem multipartai, biarlah itu berjalan secara alamiah. Jadi tidak perlu dilakukan dengan terlalu membatasi ambang batas di parlemen menjadi 5 persen karena dapat melanggar prinsip konstitusi,” ujarnya.

Denny menilai, ambang batas 2,5 persen di parlemen dapat dipertahankan, paling tidak hingga 2019. Ambang batas di parlemen jangan terlalu dibatasi dengan merekayasa produk hukum.

"Demokrasi atau sistem politik kita dapat mencapai dua atau tiga partai melalui proses alamiah. Jangan hukum terlalu merekayasa,” kata Denny. Pemilih pada akhirnya akan menentukan mandat diberikan kepada partai yang mana, tambahnya.

“Sebetulnya, ambang batas 2,5 persen di parlemen itu juga pembatasan. Namun, pembatasan itu masih rasional dan rasional itu dinilai dengan kacamata konstitusi," katanya. (*RZK/KN)

Rabu, 01 September 2010

MEMBONGKAR KEJAHATAN JARINGAN INTERNASIONAL DI INDONESIA


Memasuki usia 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sebagai rakyat Indonesia, saya patut bertanya dan merenungkan kembali makna kemerdekaan itu. Apakah betul secara de facto dan de jure kita sebagai bangsa benar-benar telah merdeka dan berdaulat atas negeri ini? Jika realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dibidang perekonomian, fakta menunjukkan bahwa sumber-sumber kekayaan alam negeri ini sepenuhnya dikelola dan dikendalikan oleh perusahaan MNC (multinational corporation). Apa sebab semua itu bisa terjadi?

Pertanyaan itulah yang kemudian membuat saya menjelajah mencari jawabannya, baik di dunia maya maupun dari perpustakaan satu ke perpustakaan lainnya untuk mencari berbagai data, fakta dan referensi untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan saya atas pertanyaan tersebut.

Salah satunya, saya temukan jawabannya dari seorang yang bernama John Perkins. Ia adalah penulis asal Amerika Serikat (AS) yang membeberkan kejahatan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik keuntungan melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Dalam bukunya yang pertama, Confessions of An Economic Hit Man (2004) Perkins menyebut dirinya Bandit Ekonomi atau EHM yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS.

Perkins mengungkapkan bagaimana cara operasional jaringan korporatokrasi ini. Ia mengatakan bahwa cara operasional jaringan ini mirip mafia, karena menggunakan semua cara, termasuk pembunuhan, untuk mencapai tujuan. Bahkan Perkins mengungkapkan bandit-bandit ekonomilah yang melenyapkan Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos.

Konon kejatuhan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan pada tahun 1965, juga disinyalir bandit-bandit ekonomi ini berperan besar. “Kita melakukan pekerjaan kotor. Tak ada yang tahu apa yang kamu lakukan, termasuk istri kamu. Kamu ikut atau tidak? Kalau mau, kamu dilarang keluar dari MAIN sampai meninggal dunia”, kata bos Perkins yang suatu hari menghilang bagaikan hantu.

Perkins yang mengaku sebagai salah satu bandit ekonomi dalam jaringan korporatokrasi ini. Diawal keterlibatannya, ia bertugas membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada negara-negara Dunia Ketiga.

Tugas berikut Perkins adalah membangkrutkan dan menjebak negeri penerima utang. Setelah tersandera utang yang menggunung, negara pengutang dijadikan kuda tunggangan. Negara pengutang ditekan agar, misalnya, mendukung Pemerintah AS dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga negara pengutang dipaksa menyewakan lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa negeri pengutang menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (Multinational Corporation) milik negara-negara Barat.

Perkins bercerita, pada tahun 1971 ia berkeliling ke berbagai tempat menyiapkan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita (GNP), dan berbagai indikator lain yang direkayasa dan dilaporkan kepada IMF dan World Bank. Para eksekutif kedua lembaga tersebut pura-pura terpesona kepada berbagai indikator yang angkanya dicatut para bandit ekonomi itu dan segera menyalurkan uang.

Dalam hal Indonesia, bos Perkins, Charlie Illingworth mengatakan bahwa Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Di mata Nixon, Indonesia ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China. “Berbicara tentang minyak bumi, kita tergantung dari Indonesia. Negara ini bisa jadi sekutu kuat kita,” kata Illingworth kepada Perkins di Bandung.

Kehadiran korporatokrasi disambut hangat penguasa Orde Baru. Korporatokrasi membuka peluang emas untuk KKN. Konspirasi antara korporatokrasi dengan kleptokrasi Orde Baru dijalin melalui prinsip “tahu sama tahu” dalam rangka “pembangkrutan” (bukan pembangunan) Indonesia. Konspirasi inilah yang mengawali berputarnya lingkaran setan utang yang dibangga-banggakan ideologi developmentalis Orde Baru.

Pembangunan berbagai proyek infrastruktur itu bertujuan meraup laba maksimal bagi perusahaan-perusahaan AS. Tujuan lainnya memperkaya elite Orde Baru dan keluarganya agar mereka tetap loyal kepada korporatokrasi. Utang yang semakin menggunung akan semakin menguntungkan persengkonglan itu. Dan Perkins pun dinyatakan lulus sebagai bandit ekonomi andal berkat kariernya yang sukses di Indonesia.

Perkins merekomendasikan jumlah utang yang disalurkan IMF dan World. Antara lain syaratnya, pemerintah harus menyalurkan 90 persen dari utang ke kontraktor-kontraktor AS untuk membangun berbagai proyek infrastruktur seperti jalan raya atau pelabuhan yang dikerjakan para pejabat tinggi Orde Baru dan keluarganya. Jika Presiden Soekarno menentang kehadiran korporatokrasi, Presiden Soeharto justru sebaliknya. Tak heran utang luar negeri Soekarno tak lebih dari 2,5 milyar dolar AS, sebaliknya utang luar negeri Soeharto lebih dari 100 milyar dolar AS dan utang luar negeri pemerintahan SBY saat ini sebesar Rp 1.878 triliun (posisi pada April 2010).
Konspirasi jahat korporatokrasi dengan kleptokrasi, dapat kita lihat dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton I dan II di Probolinggo Jawa Timur yang nilainya 3,7 milyar dolar AS. Megaproyek ini tidak membawa manfaat bagi rakyat bangsa ini. Mengapa? Sebab harga listrik yang dihasilkan 60 persen lebih mahal daripada di Filipina, atau 20 kali lebih mahal dibandingkan di AS. Dana pembangunan Paiton berasal dari utang yang disalurkan ECA (Export credit agencies) asal negara-negara maju. Korupsi Orde Baru dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu disetor kepada kroni dan keluarga Soeharto.

Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan lahan sampai monopoli suplai batu bara, dihadiahkan tanpa tender kepada konspirasi korporatokrasi dengan kleptokrasi. Setelah rezim Soeharto tumbang, audit BPK menyatakan proyek Paiton sayarat KKN, bahkan nilai proyek Paiton terinflasi 72 persen. Pemerintah-pemerintah pasca Soeharto coba menegosiasi ulang Paiton dengan argumen megaproyek itu adalah hasil KKN. Akibatnya Indonesia selama 30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dolar AS per kWh walaupun kemampuan pemerintah cuma dua sen dolar AS per kWh.

Berbeda dengan Soekarno yang bersikap tegas menghadapi korporatokrasi. Sejak 1951 Soekarno membekukan konsesi bagi MNC melalui UU (Undang-undang) Nomor 44/1960 yang berbunyi, “Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara”. Sejak merdeka, MNC berpegang pada perjanjian let alone agreement yang memustahilkan nasionalisasi dan mewajibkan MNC mempekerjakan pribumi lebih banyak daripada orang asing.

Sikap tegas Soekarno tersebut membuat MNC panik karena laba menurun. Tiga Besar (Stanvac, Caltex dan Shell) meminta negoisasi ulang, namun Soekarno mengancam akan menjual seluruh konsesi ke negara-negara lain jika mereka menolak UU 44/1960. Pada bulan Maret 1963 Soekarno mengatakan, “Aku berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan aku akan batalkan semua konsesi jika Anda tidak mau memenuhi tuntutanku”.



Soekarno menuntut Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus disuling Permina (kini Pertamina). Surplus produksi Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri, dan semua hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri kepada pemerintah, dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor mereka. Caltex harus menyediakan dana dalam bentuk valuta asing yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran serta investasi modal yang dibutuhkan Permina. Soekarno juga menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri. Formula pembagian laba ditetapkan 60 persen untuk pemerintah dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex yang dihitung dalam rupiah. Berbagai tuntutan Soekarno membuat Caltex panik, dan mereka meminta bantuan Presiden AS John F. Kennedy. Padahal pemerintah baru mau menandatangani program paket stabilisasi IMF yang ditawarkan Kennedy.

Sehari setelah penandatangan paket IMF itu, Soekarno menerbitkan Regulasi 18 yang berisi berbagai tuntutannya. Soekarno menolak paket stabilisasi IMF dikaitkan dengan Regulasi 18. Setelah melewati negosiasi alot, Soekarno dan Kennedy menyepakati sistem kontrak karya. Sistem ini menegaskan pemerintah memiliki kedaulatan atas kekayaan minyak bumi sampai komoditas itu diangkut ke tempat penjualan (poin of sale).

MNC cuma berstatus sebagai kontraktor, dan jangka waktu serta area konsesi dibatasi dibandingkan dengan versi let alone agreement. MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40 persen. MNC wajib menyediakan kebutuhan pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi serta pemasaran setelah jangka waktu tertentu. MNC menerima kontrak karya, Kennedy, dan Kongres AS menyetujui paket stabilisasi IMF yang oleh Soekarno diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Nasional (RPN) Ketiga 1961-1969.

Bandingkan kontrak karya dengan sistem PSA (profit sharing agreement) versi Soeharto. PSA seolah-olah menempatkan pemerintah sebagai pemilik, sementara MNC kontraktor. Padahal pada praktiknya MNC yang mengontrol ladang minyak yang mendatangkan laba berlipat ganda. PSA seolah-olah pembagian hasil yang adil, padahal tidak. Klausul stabilisasi PSA mengatakan seluruh UU tidak berlaku bagi kegiatan MNC dalam rangka mencari laba dan tak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi – yang menjadi rujukan hukum internasional yang tak kenal kedaulatan atau kepentingan nasional.

Cerita sukses sistem PSA di Indonesia dipraktikkan korporatokrasi untuk menguasai minyak bumi Irak era pasca Presiden Saddam Husein. Irak diserbu pasukan AS lewat dongeng tentang senjata pemusnah massal yang tak pernah ada untuk membuka jalan bagi masuknya korporatokrasi.