Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Sabtu, 16 Juli 2011

Borok Itu Kian Mengapung

Oleh: Ahmad Syafii Maarif*)

Jika tak salah ingat, di sebuah harian Ibu Kota saya pernah mengutip peribahasa Arab yang berbunyi ”Mahma tubaththin tudzhirhu al-aiyam” (Apa pun yang kau sembunyikan, sejarah pasti membongkarnya). Peribahasa ini berlaku universal pada semua unit peradaban. Yang busuk cepat atau lambat pasti akan terbau.
Borok-borok kelakuan seseorang atau kelompok orang, betapa pun dibungkus rapi, pasti pada suatu saat akan diketahui. Ada borok yang segera mengapung, ada pula yang harus menanti tahunan, mungkin puluhan tahun, baru ketahuan.

Di suatu negara dengan sistem peradilan baik yang dibangun di atas komitmen moral yang kuat, membongkar sebuah borok, apakah itu menyangkut politik atau ekonomi, tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun, di sebuah negara yang sistem penegakan hukumnya kucar-kacir di mana hukum biasa diperdagangkan, orang memang harus sabar sampai gelombang kesadaran ke arah perbaikan menyeluruh muncul dengan kekuatan dahsyat. Ini bisa dalam bentuk revolusi dan bisa juga melalui gerakan reformasi yang efektif.

Sejarah modern Indonesia pernah mengenal kedua bentuk itu. Revolusi Kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1949 dengan efektif membongkar segala borok penjajahan yang kemudian membuahkan kemerdekaan bangsa. Para pendiri bangsa melalui pena mereka yang tajam telah menguliti borok-borok sistem penjajahan itu dalam tenggang waktu yang lama, diawali sejak abad ke-20.

Namun, gerakan reformasi sejak tahun 1998 dengan tujuan menegakkan sistem demokrasi yang kuat dan sehat ternyata dihadapkan pada jalan buntu kultural yang sampai hari ini belum jelas ujungnya. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatisme elite politik yang memboncengi gerakan ini.

Rezim pepesan kosong
Era reformasi tak berhasil melahirkan negarawan. Akibatnya, keadilan dan kesejahteraan yang sering dijanjikan tak kunjung terwujud. Buntutnya, apatisme masyarakat luas terhadap sistem kekuasaan kian dirasakan di kawasan perkotaan dan pedesaan. Orang begitu mudah tersinggung dan terbakar, lalu diakhiri dengan tawuran massal.

Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi berakhir dengan kegagalan gara-gara para elitenya terus saja bertikai-pangkai berebut kuasa dengan berpedoman pada diktum Machiavelli: tujuan menghalalkan segala cara.

Sejak beberapa bulan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh perilaku tak senonoh yang dilakukan oleh sebagian elite partai politik. Yang baru mulai terkuak adalah borok Partai Demokrat, partai penguasa, yang sejak lama menggantungkan keberadaannya atas citra ketua dewan pembinanya yang kebetulan Presiden Republik Indonesia. Partai-partai lain bisa saja sedang menunggu giliran untuk dibongkar belangnya.

Di kedai kopi-kedai kopi sekarang di seluruh Tanah Air, Anda jangan terkejut jika mendengar ucapan ini, ”Indonesia punya presiden, punya gubernur, punya bupati/wali kota, tetapi tidak punya pemimpin.” Seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang berani dan tegar untuk mengambil keputusan tepat, jika perlu dengan mengorbankan dirinya, demi kepentingan lebih besar. Sosok semacam itu sedang absen di republik ini.
Perintah-perintah presiden memang berhamburan, tetapi hampir kosong dalam pelaksanaan. Para pembantunya berbakat pula untuk mengikuti gaya bosnya yang membosankan itu.

Sebuah rezim yang keberadaannya lebih bertumpu pada citra, bukan pada perbuatan, lama-lama pasti menjadi pepes kosong yang tak ada harganya.

Borok demi borok
Rezim ini sudah sejak awal sarat dililit oleh berbagai borok: skandal Bank Century dan kriminalisasi Antasari, Bibit- Chandra, serta Susno Duadji. Satu borok dicoba ditutup, borok yang lain mencuat. Panorama ini belum akan berakhir sampai terciptanya sebuah perubahan yang mendasar. Kini muncul pula kasus Muhammad Nazaruddin yang sangat memalukan kita semua. Perkara ada pihak yang ingin menyalip di tikungan jalan untuk kepentingan politik pragmatisme partai tertentu mungkin saja berlaku.

Secara de facto, ikatan koalisi kepartaian yang sering dibanggakan itu kini tinggal nama. Elite politik kini dalam situasi saling mengintai. Bukankah bumi Nusantara kini lebih banyak dihuni oleh petualang politik ketimbang sosok negarawan? Kemudian tengok pula peta buram ini: para elite Partai Demokrat kini sedang saling menelanjangi di depan publik dalam membongkar borok teman masing-masing. Dalam pada itu, buron Nazaruddin terus saja berkicau dari tempat persembunyian, entah di mana, untuk memperkeruh situasi yang memang sudah keruh.

Oleh sebab itu, kesimpulan saya adalah akan jadi sebuah kesia-siaan jika orang masih saja berharap untuk membangun bangsa sebesar Indonesia ini dari seseorang yang gagal membereskan rumah tangga partainya sendiri. Ini adalah hukum besi sejarah yang tak dapat ditawar. Titik!

Bagi saya, jika perubahan memang harus terjadi dan tak terelakkan, semuanya harus dilakukan melalui cara-cara damai dan konstitusional. Akal sehat dan hati nurani harus memandu perubahan itu. Jangan bertindak di luar koridor itu. Bangsa yang sudah terlalu lama menderita ini jangan dikorbankan lagi.

Dalam perbincangan saya dengan berbagai kalangan elite atau rakyat jelata sejak dua tahun lalu, ungkapan kegelisahan masif itu tak dapat ditutupi lagi. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan itu tetap saja berputar untuk kepentingan sekitar 20 persen rakyat Indonesia yang bertengger di puncak piramida kekuasaan dan ekonomi. Sisanya, yang 80 persen, tetap saja dihantui oleh beban kesulitan hidup yang belum banyak berubah.

Banyak kalangan bertanya kepada tokoh lintas agama, mengapa kondisi bangsa dan negara ini belum juga memberi harapan untuk masa depan kita semua. Saya menjawab, ”Apalah yang dapat dilakukan oleh tokoh lintas agama selain imbauan moral?” Itu pun tidak jarang dikategorikan sebagai gerakan politik kekuasaan oleh oknum penguasa. Jadi, serba dilematis. Jika bersuara agak lantang, dituduh macam-macam. Jika tidak bersuara, publik terus saja bertanya. Dengan kata lain, masyarakat luas telah kehabisan kosakata untuk mengalamatkan pertanyaan kepada pemerintah yang dinilai tidak mampu memberi jawaban.

Akhirnya, jika segala borok politik, hukum, dan ekonomi yang sedang mendera sekujur batang tubuh bangsa ini tidak juga cepat menemukan jalan keluar, maka yang akan terjadi adalah proses pembusukan dalam cara kita berbangsa dan bernegara. Saya hanya ingin bertanya, apakah para elite bangsa ini tidak mau membaca arus bawah masyarakat luas yang semakin gelisah ini.

Semakin borok-borok itu mengapung, volume kegelisahan itu semakin sulit dibendung. Kepada siapa lagi kita harus bertanya? Semuanya membisu atau menjawab dengan nada yang tak meyakinkan. Namun, Indonesia kita tidak boleh tiarap dalam upaya mencari solusi terhadap beragam masalah yang sedang melintas di depan mata, bukan?

*)AHMAD SYAFII MAARIF Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/07/09/03422466/Borok-Itu-Kian-Mengapung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar