Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Jumat, 20 Agustus 2010

TAHUN HURA-HURA ELIT POLITIK


"Refleksi tahunan Forum Indonesia untuk TRansparansi Anggaran (FITRA) terhadap Kinerja Anggaran Pemerintah 2009"

Tahun 2009 merupakan tahun perhelatan politik di republik ini. Kebijakan anggaran Siklus lima tahunan ini , lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit politik yang menggerogoti anggaran yang bersumber dari keringat rakyatnya. Tidak hanya biaya pesta pemilu yang besar dan boros, oligarki elit politik juga menjadikan anggaran sebagai ongkos politiknya, serta menikmati berbagai kemewahan, dan mengemplang uang rakyat. Dipenghujung tahun 2009, kemenangan incumbent meraup separuh lebih suara pemilih, berimplikasi pada kepercayaan diri rezim mengeluarkan kebijakan yang tidak populis. Pembagian Mobil Mewah Totyota Crown Salon senilai Rp. 1,3 milyar pada seluruh Menteri, sejumlah pejabat Negara dan Pimpinan Legsilatif merupakan pertanda tidak pekanya elit politik negeri ini terhadap penderitaan rakyat yang 14% masih hidup dalam kemiskinan. Begitu juga, rencana kenaikan gaji Menteri dan pejabat Negara mulai tahun 2010, merupakan gambaran Jabatan Negara tidak dipandang sebagai jabatan untuk pengabdian terhadap rakyat, namun justru untuk mencari kerja dengan mengeruk uang rakyat sebesar-besarnya. Oleh karena itu FITRA menyatakan Tahun Anggaran 2009 sebagai tahun “HURA-HURA ELIT POLITIK DENGAN MENGGUNAKAN UANG RAKYAT” Berikut adalah evaluasi FITRA terhadap tahun anggaran 2009:

1. Pesta Pemilu: Ongkos Besar, Boros, Rawan Korupsi + Kinerja Ambaradul.
Dalam dua tahun anggaran, untuk menyelenggarakan Pemilu, KPU memperoleh anggaran fantastis sebesar Rp. 21,9 Triliyun atau meningkat 3 kali lipat lebih besar dari Pemilu 2004. Tidak hanya KPU, anggaran Pemilu juga dijadikan kesempatan untuk bancakan proyek oleh 8 (delapan) Kementerian/Lembaga dengan menelan anggaran Rp. 5 trilyun. Dengan total biaya pesta hampir Rp. 27 trilyun ini seharusnya Pemilu dapat berlangsung dengan baik. Namun apa lacur, biaya besar tidak diiringi dengan kinerja KPU yang menggembirakan. Carut marut DPT, IT Pemilu yang tidak bekerja optimal, jalan-jalan ke Luar Negeri serta terjadinya inefisensi, pemborosan dan dugaan kerugian Negara dalam pengadaan logistik Pemilu sebesar Rp. 284,28 milyar menjadi pertanda bobroknya penyelenggaraan Pemilu sepanjang sejarah Pemilu Indonesia.

2. Ongkos Politik Dari Anggaran Negara.
Kebijakan anggaran 2009 dipergunakan oleh incumbent dan elit politik untuk mempengaruhi Pemilih. Rawannya belanja bantuan social dipergunakan sebagai pork barrel , terbukti pada saat Pemilu Legislatif Anggota Komisi VIII memperoleh voucher dari mitra kerjanya Departemen Agama untuk dibagikan kepada Madrasah-Madrasah daerah Pemilihannya antara Rp. 50 – 75 Juta/ voucher dengan jumlah Rp. 7,3 Milyar. Tidak hanya DPR, Incumbent yang kembali bertarung pada Pemilu 2009 juga menggunakan APBN 2009 untuk mendulang suara rakyat. Pemberian bantuan pupuk senilai Rp. 935 Milyar dan bantuan benih senilai Rp. 1,4 Triliun kepada petani oleh capres incumbent dalam acara Jambore Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Jawa Tengah tanggal 8 Juni 2009, dimana dana yang digunakan berasal dari belanja bantuan sosial Departemen Pertanian. Berdasarkan catatan FITRA, anggaran belanja bantuan sosial APBN 2009 yang berpotensi disalahgunakan dan dapat digunakan sebagai alat kampanye terselubung mencapai Rp. 7,05 trilyun yang terdapat di beberapa Kementerian/Lembaga. Hal ini juga diperkuat dengan temuan BPK tahun 2008, terdapat realisasi belanja sosial minimal senilai Rp 3.090.trilyun tidak ,menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Tidak mengherankan Kebijakan kenaikan gaji PNS sebesar 15%, pembagian BLT, dan insentif pajak pendapatan sebesar Rp. 56,3 Trilyun melalui stimulus fiskal, terbukti efektif dipergunakan incumbent menjadi jawara pada Pemilu 2009.

Tidak hanya memeras uang rakyat, Bantuan Partai Politik yang diberikan kepada Parpol berdasarkan jumlah kursi juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan hasil audit BPK semester 1 2009 terdapat 49 daerah yang partai-partai politiknya belum memberikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan parpol dari APBD yang membuat lebih dari Rp. 21 Milyar dana APBD tidak dapat dipertanggungjawabkan.

3. Wakil Rakyat Pemeras Keringat Rakyat
Kenaikan anggaran DPR setiap tahun hingga 55% pertahun ternyata tidak berkorelasi positif dengan kinerjanya. Dukungan anggaran selama periode 2005 hingga 2009, DPR telah menghabiskan anggaran mencapai Rp 6,315 triliun atau rata-rata tahunan mencapai Rp 1,263 triliun. Kenaikan jenis penghasilan DPR-pun meningkat dari 8 jenis pada tahun 2005 menjadi 10 jenis pada tahun 2009. Gaji sekelas anggota DPR yang tidak merangkap sebagai pimpinan alat kelengkapan sebesar Rp.59,8 juta. Dengan hari kerja efektif selama 128 hari (setelah dipotong sabtu minggu, libur hari raya, dan masa reses) , maka satu anggota DPR (termasuk yang suka bolos) dihargai Rp. 5,6 Juta per hari. Namun apa lacur, jika dibandingkan dengan fungsi anggaran yang dimilkinya hanya sekedar untuk memperbanyak fasilitas ditubuhnya. Dari RAPBN yang diajukan oleh eksekutif untuk dibahas dan ditetapkan DPR tidak mengalami perubahan signifikan. Tak ayal Fungsi anggara DPR hanya menjadi stempel RAPBN yang diajukan oleh eksekutif.

Tak hanya DPR pusat, DPRD daerah juga ikut-ikutan membangkang dengan mengemplang uang rakyat. Pemberlakukan PP 37/2006 mengenai Tunjangan Komunikasi Insentif dan Penunjang Operasional DPRD yang terlanjur dikucurkan, ternyata sampai saat ini masih banyak anggota DPRD yang tidak membayarkannya. Berdasarkan hasil audit BPK semester I tahun 2009, tercatat masih terdapat 80 daerah dengan total Rp. 117,354 Milyar DPRD yang belum mengembalikan TKI dan Penunjang Operasional. Hal ini karena DPRD merasa dilindungi oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Mendagri. Oleh karena itu FITRA telah melaporkan Mantan Mendagri Mardiyanto ke KPK pada tanggal 6 November, akibat kebijakan yang dikeluarkan telah menyebabkan kerugian daerah.

4. Penggemukan Anggaran Birokrasi Penegakan Hukum
Tahun 2009 adalah tahun terburuk bagi keadilan. Kriminalisasi pimpinan KPK, kasus nenek minah, makelar kasus Anggodo, dan Prita merupakan deretan panjang potret buram keadilan di Negeri ini. Rentetan kejadian ini ternyata berkorelasi dengan buruknya pengelolaan anggaran di tubuh lembaga penegakan hukum seperti Depkumham, Kejaksaan dan Kepolisian yang lebih banyak tersedot untuk urusan birokarasi, ketimbang menunjang tugas fungsinya. Ironisnya, ketiga lembaga ini, dari tahun-ketahun selalu mendapatkan opini disclaimer dari hasil audit BPK. Departemen Hukum dan HAM dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah mengalami kenaikan yang cukup tajam, jika di tahun 2005 anggaran Depkumham baru sebesar Rp 1,95 triliun, di tahun 2009 telah naik 2 kali lipat lebih, yaitu sebesar Rp 4,57 triliun. Dari hasil analisis terhadap berbagai program Depkumham, anggaran yang dialokasikan untuk gaji,honor dan tunjangan pejabat/pegawai sebesar 35% dari total anggaran. Anggaran yang digunakan untuk belanja administrasi dan aparatur juga cukup besar mencapai 18% dari total anggaran. Sehingga total anggaran belanja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, administrasi dan aparatur totalnya mencapai 53%. Sisanya sebesar 47% dari total anggaran digunakan untuk program-program yang berhubungan dengan tupoksi Depkumham langsung. Anggaran kepolisian di tahun 2009 sebesar Rp 25,7 triliun, sebagian besar anggaran di tubuh Kepolisian masih diporsikan untuk belanja pegawai sebesar 60,2% (Rp 15,6 triliun) yang tertuang di dalam program kepemerintahan yang baik. Di tubuh Kejaksaan, anggaran yang dialokasikan tahun ini sebesar Rp. 1,98 trilyun, namun anggaran yang diperuntukan bagi kebutuhan aparatur dan birokrasi tersebut mencapai 65,7% dari total anggaran. Untuk belanja pegawai saja telah menghabiskan 50,3% dari total belanja (Rp 1,1 trilun), ditambah dengan belanja operasional dan pemeliharaan perkantoran yang juga cukup besar mencapai 15,4% (Rp 306,3 milyar), sehingga totalnya mencapai Rp 1,3 triliun lebih. Sehingga anggaran yang tersisa dan masih bisa digunakan untuk tugas-tugas tupoksi secara langsung khususnya dalam pelayanan publik hanya sebesar Rp + 694 milyar (34,3%). Untuk Penindakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan mempunyai target 1.967 Perkara dengan alokasi anggaran sebesar Rp 98,7 milyar. Namun Penindakan Kasus Korupsi di 470 kabupaten/kota, dan 34 provinsi oleh kejaksaan tidak memenui target. Pemantauan seknas fitra,di 29 provinsi, dan 140 kabupaten/kota, kejaksaan hanya mampu dalam penindakan kasus korupsi sebanyak 199 kasus. Kemudian, dari 199 kasus ini, tidak terdapat kepala daerah aktif yang bisa ditangkap oleh kejaksaan, dan pangkat yang paling tinggi, yang ditangkap oleh kejaksaan adalah kepala dinas, mantan kepala daerah, dan mantan ketua DPRD.sedangkan untuk kejaksaan agung, kejaksaan agung hanya dapat mengungkap dan dapat membawa ke pengadilan sekitar 16 kasus saja


Proyeksi Kebijakan Anggaran 2010: Anggaran Bertahan Hidup Birokrasi

RAPBN 2010 dibahas oleh para anggota DPR dipenghujung masa jabatannya. Boleh dikatakan penetapan APBN 2010 adalah basa-basi politik semata, karena tidak terdapat perubahan signifikan bahkan diragukan kualitasnya,. Tahun 2010 merupakan konstraksi APBN terkecil dalam 5 tahun terakhir. Belanja Negara hanya naik 0,4%, bahkan pertumbuhan real dengan memperhitungkan inflasi, sebenarnya belanja negara mengalami penurunan sebesar 4.6% atau 46 trilyun dibandingkan APBN-P 2009. Di saat lemahnya kontraksi RAPBN, Pemerintah justru menempuh pengurangan belanja subsidi yang dalam kurun waktu 5 tahun terkahir mendominasi belanja negara sebesar 10% (15,5 trilyun) dan belanja bantuan sosial yang mengalami penurunan 11% (8.6 trilyun). Padahal kedua belanja ini, merupakan belanja pengaman bagi rakyat miskin. Ironinya, belanja pegawai justru meningkat 21% (28 trilyun) dan menduduki peringkat pertama belanja negara. Kenaikan ini dipukul rata kepada seluruh pegawai negeri dan tidak diawali dengan evaluasi atas kinerja pelayanan dan evaluasi atas politik rekruitmen yang tidak memperhatikan kapasitas fiskal. Bahkan para pejabat Negara termasuk Kepala Daerah akan memperoleh kenaikan gaji karena dianggap tidak layak. Dengan demikian, Peningkatan belanja pegawai termasuk kenaikan gaji menteri dan pejabat Negara lainnya yang akan dinaikan per tahun 2010 telah mengorbankan anggaran bagi rakyat miskin.

Pada tingkat daerah, Tahun 2010 merupakan tahun ancaman kebangkrutan yang akan terjadi pada berbagai daerah. Implikasi lebih luas kenaikan gaji PNS berturut-turut 15 % tahun 2009 dan 5% di tahun 2010, serta rekrutment PNS menyebabkan beban keuangan daerah yang membengkak untuk membiayai birokrasi. Ditambah dengan kenaikan Gaji Kepala daerah, maka dapat dipastikan sekitar 16.000 anggota DPRD-pun akan memperoleh kenaikan Gaji, mengingat parameter yang digunakan adalah besaran Gaji Kepala Daerah. Berdasarkan pantauan FITRA pada beberapa daerah, belanja tidak langsung APBD 2010 mengalami kenaikan rata-rata menjadi 80%. Sementara sisanya 20% APBD tidak akan berarti apa-apa untuk melaksanaka pembangunan dan melayani masyarakat di daerah. Bahkan pada beberapa daerah yang akan melaksanakan Pilkada dengan biaya Rp. 25 Milyar sampai Rp. 35 Milyar per Kab/Kota kekurangan pendanaan untuk melaksanakan dan kembali mengorbankan alokasi belanja untuk publik. Kebijakan Departemen Keuangan yang hanya berorientasi pada aspek administrative dengan batas waktu penetapan jadwal APBD juga menyebabkan kualitas APBD yang meragukan. Daerah berlomba-lomba menetapkan APBD tepat waktu, karena ingin memperoleh insentif fiscal atau taku dipotong dana perimbangannya apabila terlambat menetapakan. Akibatnya, DPRD yang sebagian besar berwajah baru, tidak mampu mempergunakan fungsi anggarannya.

Berkaitan dengan hal di atas, FITRA memproyeksikan kebijakan anggaran 2010 tidak lebih sekedar anggaran untuk mempertahankan hidup birokrasi tanpa mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat.

=== Secara lengkap dapat dilihar pada Laporan Tahunan FITRA 2009 =====

Diah Y. Raharjo
Ketua Dewan Nasional
FITRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar