Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Jumat, 20 Agustus 2010

Siaran Pers FITRA RITUAL NOTA KEUANGAN RAPBN 2011 : 65 TAHUN INDONESIA MERDEKA, TERANCAM INSKONSTITUSIONAL


Anggaran (baca: APBN) yang disusun setiap tahun digunakan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana yang tercantum dalam pasal 23 ayat 1 Anggaran digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini tergambarkan dari potret anggaran kita yang meningkat 100% lebih pada tahun 2005 sebesar Rp. 509,6 trilyun menjadi Rp. 1.202 trilyun pada RAPBN 2011.Namun peringkat Indeks Pembangunan Manusia kita terus terpuruk, Tahun 2006, Indonesia berada di peringkat ke-107, merosot ke peringkat ke-109 pada tahun 2007-2008, dan pada 2009 menjadi peringkat ke-111. Bahkan lebih buruk dari peringkat Palestina (110) dan Sri Lanka (102) yang sedang dilanda konflik. Hal ini menunjukan peningkatan anggaran Negara belum sepenuhnya efektif memenuhi amanat konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, selama 65 tahun Indonesia Merdeka. Penyampaian Pidato Nota Keuangan oleh Presiden SBY tidak mencerminkan kondisi ril bangsa Indonesia. Lebih sekedar kosmetik politik dengan menyampaikan kondisi yang baik saja. Kenaikan belanja sebesar Rp. 76 trilyun dari pagu APBNP 2010 menjadi Rp. 1.012, dengan defisit Rp. 115,7 trilyun, merupakan nafsu belanja untuk sekedar mencari justifikasi untuk berutang. Pasalnya kenaikan belanja setiap tahunnya tidak disertai kemampuan penyerapan anggaran yang optimal. Berdasarkan laporan semester I realisasi belanja Pemerintah Pusat baru mencapai 30%, bahkan belanja modal baru terealisasi 16%. Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Pemerintah mengklaim meningkatkan belanja modal menjadi Rp. 121,7 trilyun. Sesungguhnya dari segi komposisi belanja menurut jenis, belanja modal belumlah menjadi prioritas. Pasalnya, belanja modal adalah belanja terkecil dibandingkan belanja subsidi (Rp. 184,8 T), belanja pegawai (Rp.180,6 T) dan belanja barang (Rp. 131,5 T). Angin segar kenaikan gaji PNS dan TNI/POLRI justru berimplikasi pada membengkaknya belanja pegawai dibandingkan pekerjaan yang harus dilakukan. Belanja Negara untuk pembangunan tidak sebanding dengan "ongkos tukang" yang semakin meningkat tajam. Pada sisi lain kenaikan ini akan turut mendongkrak inflasi kenaikan harga bahan pokok, terutama paling dirasakan oleh rakyat non PNS. Hal ini diperparah dengan belum dialokasikannya jaminan social untuk memenuhi amanat pasal 28 H ayat (3) konstitusi, sebagai safety net akibat inflasi. Pemerintah juga mengklaim anggaran transfer ke daerah meningkat secara tajam dari kurun waktu 2005-2011. Akan tetapi, secara proporsional kenaikan transfer daerah sesungguhnya stagnan dikisaran 30-31%. Bahkan pengalihan dana BOS sebagai belanja transfer daerah, hanyalah kamuflase komitmen Pemerintah Pusat, karena daerah hanya sekedar mencatat saja pada APBDnya, tanpa memiliki diskresi fiscal. Pemerintah juga belum memprirotaskan kesehatan pada APBN 2011 yang hanya dialokasikan 11,5 trilyun atau 1% dari APBN, jauh dari amanat UU pasal 171 UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dibandingkan dengan Philipina yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia, telah mengalokasikan belanja kesehatannya 3% dari PDB. Padahal, dalam belanja fungsi kesehatan terdapat 5 (lima) indicator MDGs ; Gizi buruk, Kematian Ibu, Kematian Anak, HIV AIDS dan penyakit menular, serta sanitasi air bersih. Berangkat dari persoalan di atas, Seknas FITRA memandang RAPBN 2011 hanya sebatas ritual tahunan kosmetik politik, karena setelah 65 tahun Indonesia Merdeka anggaran masih jauh dari tujuan bernegara dalam memenuhi amanat kosntitusi. Oleh karenanya RAPBN 2011 terancam kembali inskontitusional seperti APBN sebelum sebagai instrumen untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, FITRA meminta DPR untuk melakukan perombakan terhadap postur RAPBN 2011 dan melakukan proses pembahasan secara terbuka pada semua tingkatan (komisi, Banggar, Panja). FITRA bersama koalisi LSM akan kembali mengajukan judicial review UU APBN, sebagaimana yang telah kami lakukan pada UU No 2 APBN P 2010, pada tanggal 16 Agustus lalu. Jakarta, 18 Agustus 2010 (By: Diah Raharjo)

Sumber: http://www.facebook.com/talib.tata#!/note.php?note_id=422016477403&comments&ref=notif¬if_t=note_reply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar