Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Rabu, 07 April 2010

Bung Hatta dan Demokrasi


Oleh : Franz Magnis-Suseno, S.J. Rohaniwan, guru besar filsafat sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bersidang di Pejambon, terlibat dalam debat panas (lihat Risalah Sidang BPUPKI, SetNeg R.I. 1992): Haruskah kebebasan-kebebasan demokratis—hak menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan hak berserikat—ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak? Sukarno (dan Supomo) dengan gigih menolak, sedangkan Hatta (Muhammad Yamin, dan lain-lain) mendukung.

Menarik sekali melihat argumentasi masing-masing. Sukarno mendasarkan penolakannya pada dua argumen. Pertama, menyatakan bahwa warga negara secara individual memiliki hak-hak dasar tertentu sama dengan membuka pintu bagi individualisme: “Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan individu” (Risalah 207). Kedua, menurut Sukarno, rakyat memerlukan keadilan sosial, padahal kebebasan-kebebasan itu “tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan”.

Mohammad Hatta pun menolak liberalisme. Tetapi ia mengajukan suatu kekhawatiran yang rupa-rupanya di luar bayangan Sukarno. Hatta: “Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan” [Ris. 209]. Hatta mengkhawatirkan munculnya negara kekuasaan. Sukarno tidak menanggapi kekhawatiran Hatta ini. Apakah karena ia tidak dapat membayangkan bahwa sesudah kaum kolonialisme diusir, para pemimpin Indonesia sendiri bisa menjadi diktator dan penindas? Perkembangan di kemudian hari menunjukkan bahwa Hatta yang memiliki wawasan permasalahan lebih mendalam.

Hatta juga tidak mau mempertentangkan keadilan sosial dengan hak-hak demokratis. Dalam sebuah pidato di Aceh 25 tahun kemudian (Sesudah 25 tahun, 1970), ia menulis: “Apakah yang dimaksud dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang adil maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya diperlakukan secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat.”

Hatta di sini menyadari sesuatu yang amat penting: Ke-adilan sosial, dan sebagai akibatnya, kesejahteraan rakyat, justru mengandaikan kedaulatan rakyat. Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Ternyata, Hatta membuktikan diri sebagai penganalisis yang lebih tajam, sedangkan Sukarno tidak melihat hubungan antara ketidakadilan sosial dan keadaan yang tidak demokratis. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya. Menciptakan keadilan sosial mengandaikan pemberdayaan demokratis rakyat. Menolak pemastian hak rakyat untuk menyuarakan sendiri apa yang dibutuhkan dan diharapkannya akan menghasilkan “negara penyelenggara” ala Orde Baru, ketika rakyat disuruh dengan diam menerima penyelenggaraan kesejahteraannya oleh elite dari atas yang tanpa mengenal malu memanfaatkan ketidakberdayaan rakyat untuk mengalihkan semakin banyak dari hasil kerja sosial ke dalam kantong mereka sendiri.

Tambahan lagi, apakah betul bahwa rakyat tidak meminati kebebasan-kebebasan, melainkan sudah puas asal perutnya terisi? Apakah rakyat Indonesia dalam perang kemerdekaan hanya sekadar mau mengisi perutnya? Salah pengertian elite seperti itu kemudian terbukti fatal di Timor Loro Sa’e.

Sebagai catatan samping: Mengartikan hak asasi manusia sebagai ekspresi individualisme merupakan salah paham yang fatal juga, dan dalam kenyataan hanyalah sebuah akal elite neofeodal untuk melegitimasi privilese mereka. Pemantapan hak asasi manusia justru melindungi dan memberdayakan mereka yang paling lemah dan terancam dalam masyarakat, dan sekaligus membatasi kesewenangan mereka yang kuat. Karena itu, jaminan hak asasi manusia bukan tanda individualisme, melainkan ukuran paling nyata tentang solidaritas bangsa itu dengan anggota-anggotanya yang paling lemah.

Hatta begitu ngotot tentang kebebasan-kebebasan demokratis karena ia sejak semula meyakini demokrasi, melawan “kaum ningrat, fasis, dan komunis” yang “membenci kerakyatan” (Ke arah Indonesia Merdeka, 1932A). Pada 1960, sewaktu Sukarno menyingkirkan sisa-sisa demokrasi Indonesia, Hatta menyatakan lagi keyakinannya bahwa “demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia” (Demokrasi Kita).

Apa dasar harapan kontrafaktual itu? Menurut Hatta, semangat demokratis para pendiri Republik mempunyai tiga sumber. Pertama, paham sosialisme Barat yang menjunjung tinggi perikemanusiaan; kedua, ajaran Islam; ketiga, kolektivisme masyarakat Indonesia sebagaimana kelihatan di desa (Hatta 1960). Dan, begitu dapat kita lanjutkan, karena tiga faktor itu tetap ada, cita-cita demokrasi tidak akan padam di Indonesia.

Hal perikemanusiaan boleh dianggap barang tentu. Yang signifikan adalah bahwa Hatta memasukkan Islam ke dalam unsur pendukung demokrasi. Mengingat dewasa ini sering disuarakan pendapat bahwa Islam dan demokrasi tidak bisa berjalan bersama, penilaian Hatta ini pantas dijadikan titik tolak untuk memikirkan dan mengaktualkan kembali peran Islam dalam membangun demokrasi di Indonesia.

Topik “kolektivisme” masyarakat Indonesia, “demokrasi aseli Indonesia” atau “demokrasi desa” sering menjadi acuan para pendiri Republik. Adalah Hatta yang, berhadapan dengan pelbagai kedangkalan yang lazim didengung-dengungkan, merincikan dengan jernih apa yang dimaksud (Hatta 1932A). Ia memakai istilah “demokrasi desa”, tetapi (dalam Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, 1932B) ia menolak omongan tentang “demokrasi asli Indonesia” sebagai “semboyan kosong tidak berisi”.

Distingsi itu penting. Istilah “demokrasi aseli” bisa memberi kesan seakan-akan di wilayah Nusantara sejak dulu ada sistem pemerintahan demokratis. Tetapi struktur kekuasaan tradisional di Nusantara tentu selalu feodal dan otokratis, dan rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja (Hatta 1932B). Hatta sangat anti feodalisme. Ia mempersalahkan “kaum ningrat” atas penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan ia sangat khawatir jangan sampai “kalau Indonesia sampai merdeka… kekuasaan… jatuh ke dalam tangan kaum ningrat…. Dan dalam Indonesia Merdeka yang seperti itu tidak berarti rakyat merdeka!” (1932A). Implikasinya: Bicara tentang “demokrasi aseli” bisa melegitimasi bentuk kedaulatan rakyat tempat rakyat lagi-lagi tidak berdaulat.

Lain halnya “demokrasi desa”. Demokrasi itu merupakan kenyataan dalam lingkungan komunal desa. Demokrasi desa terdiri atas tiga hal : “Musyawarat dan mufakat”, “hak rakyat” untuk mengadakan “protes”, dan “cita-cita tolong-menolong” (Hatta 1932A). Demokrasi desa itu bagi Hatta bukan sebuah model negara demokratis seakan-akan daripadanya bisa dibangun demokrasi yang lain daripada “demokrasi Barat”. Melainkan demokrasi desa merupakan medan latihan untuk menembangkan sikap-sikap demokratis. Di situ rakyat sudah biasa mengambil keputusan bersama, berkompromi, berdebat, dan akhirnya mendukung mufakat bersama, jadi untuk mengembangkan sikap-sikap yang memang diperlukan dalam demokrasi modern.

Jadi, kedaulatan rakyat bagi Hatta terwujud dalam “demokrasi Barat” ? Ya dan tidak. Ya dalam pengertian politik. Menurut Hatta, tak ada demokrasi politik khas Indonesia, lain daripada demokrasi-demokrasi lain di dunia. Yang menjadi masalah adalah bahwa Barat membatasi kedaulatan rakyat pada dimensi politik. Namun Hatta menegaskan bahwa rakyat tidak akan berdaulat betul-betul kecuali juga berdaulat dalam bidang ekonomi. Di sini terletak keterbatasan paham kedaulatan rakyat di Barat. Apabila perekonomian dikuasai oleh sebuah minoritas, para pemilik modal, bagaimana rakyat dapat betul-betul berdaulat? Inilah kritik paling mendasar Hatta terhadap pengertian masyarakat demokratis di Barat. Dan meskipun sampai hari ini, apalagi dengan keambrukan semua sistem sosialisme, pengertian “demokrasi ekonomi” tetap belum dapat dibumikan, siapa yang dapat menyangkal bahwa kritik Hatta tersebut mengenai sebuah masalah dan tantangan terbesar bukan hanya bagi Indonesia, melainkan, memang, bagi segenap masyarakat yang betul-betul mau demokratis?

Hatta begitu mengesan karena ia berani bersikap berprinsip dan seratus persen integer. Dalam BPUPKI ia berani memperjuangkan dimasukkannya kebebasan-kebebasan demokratis ke dalam undang-undang dasar. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ia meyakinkan saudara-saudara se-BPKI agar mendasarkan undang-undang dasar Republik pada lima sila yang dapat didukung oleh segenap komponen bangsa. Tanggal 4 November Hattalah yang menandatangani maklumat pemerintah yang mengizinkan pembentukan pluralitas partai. Dan pada 1957 Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden karena merasa tidak lagi sanggup menanggung kebijakan politik Presiden Sukarno. Bisa dimengerti bahwa para pemimpin Orde Baru tidak mengizinkan orang sekaliber Mohammad Hatta mendirikan sebuah Partai Demokrasi Inslam Indonesia.

Pada saat elite politik semakin memanfaatkan kebebasan demokratis untuk berkorupsi besar-besaran, sosok Bung Hatta dan pikirannya mendesak menjadi titik orientasi bagi kita semua.***
(Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com) http://restianrick.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar