Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Kamis, 15 Juli 2010

PARTAI KEDAULATAN PASTIKAN MENJADI PESERTA PEMILU 2014


Mencermati perkembangan perpolitikkan nasional dan jalannya pemerintahan SBY-Boediono, sungguh kita harus prihatin. Mengapa? Hampir semua lembaga dan badan-badan negara mengalami proses "pembusukkan", mulai dari institusi DPR, Kepolisian, MA,KEJAKSAAN, KPK, KPU, PERPAJAKKAN, BANK, PERADILAN, Organisasi Advokat, bahkan Partai Politik pun tidak luput dari proses tersebut.

Partai Kedaulatan, sebagai salah satu peserta Pemilu 2009 yang lalu, sangat mencemaskan keadaan tersebut di atas. Oleh sebab itu dalam RAKERNAS pertama Partai Kedaulatan yang direncanakan pada bulan September mendatang hal tersebut akan menjadi pembahasan utama dalam RAKERNAS dimaksud. Dan sekaligus akan membulatkan tekad untuk melakukan Perubahan dengan memperkuat infrastruktur Partai hingga pada tingkat kelurahan untuk menghadapi Pemilu 2014 mendatang. Bahkan Partai Kedaulatan sedang menyiapkan Kepemimpinan Nasional yang kuat, paham akan detailnya UUD Tahun 1945 yang nantinya akan ditawarkan kepada Rakyat Bangsa ini pada Pemilu 2014, yang tentunya diharapkan dapat melakukan Perubahan untuk kehidupan Masa depan Indonesia yang lebih baik, sejahtera dan berkeadilan. Hal ini bukanlah baru sebatas wacana, mengapa? Karena Partai Kedaulatan dipastikan menjadi salah satu peserta Pemilu 2014 mendatang. Hal ini sebagaimana dijamin dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008 menegaskan, “Partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta pemilu berikutnya”.

Jika saat ini ramai dengan wacana penyederhaan Partai dengan metode menaikkan ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi lima persen. Tetap saja Partai Kedaulatan dipastikan ikut Pemilu 2014 mendatang.

Penetapan ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi lima persen sama sekali tidak menjamin penyederhanaan partai politik di Indonesia, karena UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD sama sekali tidak mendukung parliamentary thershold.

Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Nicolaus Pira Bunga, mengatakan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008 menegaskan, “Partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta pemilu berikutnya”.

“Yang dimaksud dengan pemilu sebelumnya adalah pemilu mulai Tahun 2009 dan seterusnya. Dengan demikian maka parpol yang tidak mencapai ambang batas parlemen lima persen pada Pemilu 2009, tetap berhak untuk mengikuti pemilu 2014,” katanya di Kupang, Senin.

Pira Bunga mengatakan dengan adanya ketentuan UU tersebut maka 34 partai politik yang ikut serta dalam Pemilu 2009 tetap mengambil bagian pada Pemilu 2014, sekalipun tidak mencapai ambang batas parlemen lima persen.

Menurut dia, bentuk penyederhanaan partai politik lewat ketentuan ambang batas parlemen itu juga bertentangan dengan Pasal 28 UUD Negara RI 1945 tentang kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.

“Jika semua orang memahami bahwa kebebasan berserikat itu tidak hanya melalui partai politik, barangkali harapan menuju penyederhanaan parpol dengan ketentuan ambang batas parlemen lima persen itu bisa terlaksana,” katanya.

Terkait dengan penyederhanaan sekaligus mengupayakan fungsi partai politik dengan baik, kata Pira Bunga, pemerintah dan DPR perlu bersepakat untuk menentukan satu angka ambang batas parlemen yang menjadi pedoman serta pegangan bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. (Sumber: http://matanews.com/2010/06/08/pt-tidak-menjamin-penyederhaan-parpol/(*an/ham)

Rabu, 14 Juli 2010

Seleksi Alamiah Partai Politik Penting

Jakarta, 14 Juli 2010 - Penyederhanaan sistem multipartai tidak perlu dilakukan dengan terlalu membatasi ambang batas di parlemen menjadi 5 persen karena dapat melanggar prinsip konstitusi. Dengan ambang batas 2.5 persen saat ini, penyederhanaan sistem multipartai dapat dilakukan secara alamiah.

Hal itu diungkapkan pakar hukum tata negara Saldi Isra di sela-sela Konferensi Ke-7 Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Asia dengan tema "Hukum Pemilihan Umum” di Jakarta, Selasa (l3/7). Dalam acara itu, beberapa hakim MK atau lembaga sejenis dari sejumlah negara tampil sebagai narasumber.

”Ambang batas itu pilihan politik. Kalau ada pilihan politik, itu tak boleh menyalahi prinsip konstitusi. Jika pilihan politik mengalahkan prinsip dasar konstitusi, itu tidak dapat diterima dan bisa menjadi wilayah pengujian," kata Saldi.

Saidi menilai, ambang batas 2,5 persen di parlemen sudah ideal. Ambang batas di parlemen jangan terlalu dibatasi dengan merekayasa produk hukum.

"Kita dapat mencapai dua atau tiga partai melalui proses alamiah. Jangan hukum terlalu merekayasa,” kata Saldi. Pemilih pada akhirnya akan menentukan mandat diberikan kepada partai yang mana.

Saldi mengakui, ambang batas 2,5 persen di parlemen itu juga pembatasan. Namun, pembatasan itu masih rasional. ”Rasional itu dinilai dengan kacamata konstitusi," katanya.

Hakim MK Jerman. Rudolf Mellinghoff, menambahkan, MK Jerman pernah memutuskan, pengunaan media elektronik, yaitu komputer, dalam pemilu tidak konstitusional dan melanggar prinsip dasar pemilu.

"Kalau pemungutan suara dilakukan dengan komputer, masyarakat tak bisa mengawasi proses penghitungan suara dilakukan," kata Mellinghoff. Namun, tak berarti komputer tak boleh dipakai dalam pemilu. (sumber: Kompas)