Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 November 2011

DR. Rizal Ramli
KEDAULATAN NEWS - Praktik demokrasi di Indonesia gagal melahirkan pemimpin yang memiliki visi dan berkarakter kuat sehingga dapat menyejahterakan rakyat kebanyakan.

Itu salah satu sebab mengapa hingga hari ini kebanyakan rakyat Indonesia masih berkutat pada persoalan basic needs, sementara kalangan elite dan pejabat negara menikmati rente ekonomi dan politik serta hidup berfoya-foya.

Bila praktik demokrasi seperti ini terus dipertahankan, maka sulit membayangkan Indonesia bisa tampil sebagai negara yang terpandang karena rakyatnya sejahtera.

Demikian antara lain disampaikan tokoh nasional DR. Rizal Ramli dalam dialog bertema Pemimpin Berkarakter Kuat untuk Indonesia Kuat, di Pluit, Jakarta Utara, Sabtu malam (10/9). Selain Rizal Ramli, yang juga hadir sebagai pembicara adalah Alma Shepard Supit dari Tim Partisipasi Penanggulangan Kemiskinan, dan Basuki Tjahaja Purnama, anggota DPR RI yang juga mantan Bupati Belitung Timur.

Menurut Rizal Ramli, Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahi Indonesia dengan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah. Sayangnya, potensi luar biasa itu belum dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran  rakyat. Hal ini disebabkan Indonesia kini tidak memiliki pemimpin yang berkarakter dan bervisi jauh ke depan.

"Sistem demokrasi kita saat ini tidak memungkinkan munculnya pemimpin berkarakter dan punya visi. Demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi kriminal. Hanya mereka yang punya uang yang bisa muncul dan mendapat dukungan partai," demikian Rizal Ramli. [guh]

Sumber: RMOL - http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/09/11/38861/Rizal-Ramli:-Demokrasi-ala-Indonesia-Tak-Lahirkan-Pemimpin-Berkarakter-#.Tsyfycy1yzB.facebook

Rabu, 20 Juli 2011

Dominasi Politik Kaum Demagog

By: Mahfud MD

Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi)
Mungkin banyak orang yang tak percaya bahwa dua penumbuh filsafat Barat yang sering dianggap sebagai "konseptor demokrasi", Plato dan Aristoteles, justru menolak sistem politik demokrasi. Dua filosof besar dari Yunani itu, 2.500 tahun lalu, mengatakan bahwa demokrasi merupakan  sistem politikyang"berbahaya" dan tidak praktis.

Plato mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan (pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya tetap."seolah-olah demokrasi.

Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Di Indonesia, belakangan ini, banyak demagog seperti yang ditakutkan oleh Aristoteles itu. Hampir tiap hari rakyat melihat demagog, politisi perseorangan ataupun institusi, yang membohongi rakyat Ada tokoh politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.

Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol keuangan negara.

Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen maka negara akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi.

Di Indonesia, agenda reformasi terseok-seok. Bahkan, jika ukurannya adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan   nepotisme,  cenderung  dapat  dikatakan  gagal.

Mengapa? Karena arena politik Id calebih banyak dikuasai oleh para demagog. Lembaga-lembaga politik kita sekarang ini tampaknya lebih didominasi oleh para demagog yang biasanya tampil sebagai elite politik bukan karena kapabilitasnya melainkan karena kolusi politik yang dibangunnya.

Bukan rahasia lagi, banyak pimpinan politik di parpol di eksekutif, dan di pusat ataupun di daerah, yang meraih kedudukannya melalui premanisme dan kolusi politik Segepok uang sebagai hadiah mentah, biaya tiket, dan uang saku biasa diberikan bagi mereka yang mau mendukung sang "demagog".  Sebaliknya ancaman alienasi, pencopotan, dan teror diberondongkan terhadap mereka yang tak mau mendukung sang demagog.

Untuk memimpin parpol, para demagog yang biasanya pandai berpura-pura itu tak jarang mendapatkan uang untuk membeli kemenangannya melalui sponsor dari kekuatan di luar partainya. Ada yang dari pengusaha hitam yang mengharapkan dukungan untuk satu proyek atau memutihkan catatan hitamnya. Ada yang dari kekuatan politik lain, termasuk dari penguasa, yang meminta komitmen dukungan dengan kompensasi politik tertentu; dan ada yang dari kekuatan lain yang ingin memanfaatkanya sebagai kendaraan politik.

Politik demagogi ini menyebabkan parpol dan lembaga politik lainnya menjadi sesat. Sebab dari sana, jabatan-jabatan politik dan kebijakan publik ditentukan melalui transaksi politik oligarkis yang tidak lagi memikirkan nasib rakyat.

Apakah dominasi demagog sebagai keniscayaan di dalam demokrasi? Tentu tidak Bahwa di dalam demokrasi selalu ada demagog, sudah pasti ya. Tapi dalam kenyataanya demagog bisa tidak dominan. Setidaknya ini bisa dilihat dari dunia perpolitikan kita sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an. Para elite politik kita pada masa itu lebih didominasi oleh orang-rorang yang penuh integritas memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kita telah mencatat dengan tinta emas nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, I J. Kasimo, Mohammad Roem dan Wilopo yang tampu ke tampukkepemimpinan bukan karena premanisme, suap, atau kolusi, melainkan karena diminta dan didorong dari bawah; karena integritas dan keikhlasannya. Masa itu memang ada demagog, tapi tak bisa mendominasi bahkan teralienasi dari percaturan politik, Sebaliknya sekarang ini demagoglahyang dominan.

Yang diperlukan kini adalah bagaimana membuat ranjau agar dunia politik kita tidak didominasi oleh para demagog seperti sekarang ini. Berdasar fakta sejarah sampai tahun 1950-an, dulu kita bisa menampilkan elite-elite yang berintegritas dan ikhlas dalam berjuang untuk rakyat: Kalau para demagog masih mengangkangi kita seperti sekarang, jangan harap negara akan beres dan jangan bermimpi reformasi ada gunanya.



Sabtu, 16 Juli 2011

Borok Itu Kian Mengapung

Oleh: Ahmad Syafii Maarif*)

Jika tak salah ingat, di sebuah harian Ibu Kota saya pernah mengutip peribahasa Arab yang berbunyi ”Mahma tubaththin tudzhirhu al-aiyam” (Apa pun yang kau sembunyikan, sejarah pasti membongkarnya). Peribahasa ini berlaku universal pada semua unit peradaban. Yang busuk cepat atau lambat pasti akan terbau.
Borok-borok kelakuan seseorang atau kelompok orang, betapa pun dibungkus rapi, pasti pada suatu saat akan diketahui. Ada borok yang segera mengapung, ada pula yang harus menanti tahunan, mungkin puluhan tahun, baru ketahuan.

Di suatu negara dengan sistem peradilan baik yang dibangun di atas komitmen moral yang kuat, membongkar sebuah borok, apakah itu menyangkut politik atau ekonomi, tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun, di sebuah negara yang sistem penegakan hukumnya kucar-kacir di mana hukum biasa diperdagangkan, orang memang harus sabar sampai gelombang kesadaran ke arah perbaikan menyeluruh muncul dengan kekuatan dahsyat. Ini bisa dalam bentuk revolusi dan bisa juga melalui gerakan reformasi yang efektif.

Sejarah modern Indonesia pernah mengenal kedua bentuk itu. Revolusi Kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1949 dengan efektif membongkar segala borok penjajahan yang kemudian membuahkan kemerdekaan bangsa. Para pendiri bangsa melalui pena mereka yang tajam telah menguliti borok-borok sistem penjajahan itu dalam tenggang waktu yang lama, diawali sejak abad ke-20.

Namun, gerakan reformasi sejak tahun 1998 dengan tujuan menegakkan sistem demokrasi yang kuat dan sehat ternyata dihadapkan pada jalan buntu kultural yang sampai hari ini belum jelas ujungnya. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatisme elite politik yang memboncengi gerakan ini.

Rezim pepesan kosong
Era reformasi tak berhasil melahirkan negarawan. Akibatnya, keadilan dan kesejahteraan yang sering dijanjikan tak kunjung terwujud. Buntutnya, apatisme masyarakat luas terhadap sistem kekuasaan kian dirasakan di kawasan perkotaan dan pedesaan. Orang begitu mudah tersinggung dan terbakar, lalu diakhiri dengan tawuran massal.

Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi berakhir dengan kegagalan gara-gara para elitenya terus saja bertikai-pangkai berebut kuasa dengan berpedoman pada diktum Machiavelli: tujuan menghalalkan segala cara.

Sejak beberapa bulan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh perilaku tak senonoh yang dilakukan oleh sebagian elite partai politik. Yang baru mulai terkuak adalah borok Partai Demokrat, partai penguasa, yang sejak lama menggantungkan keberadaannya atas citra ketua dewan pembinanya yang kebetulan Presiden Republik Indonesia. Partai-partai lain bisa saja sedang menunggu giliran untuk dibongkar belangnya.

Di kedai kopi-kedai kopi sekarang di seluruh Tanah Air, Anda jangan terkejut jika mendengar ucapan ini, ”Indonesia punya presiden, punya gubernur, punya bupati/wali kota, tetapi tidak punya pemimpin.” Seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang berani dan tegar untuk mengambil keputusan tepat, jika perlu dengan mengorbankan dirinya, demi kepentingan lebih besar. Sosok semacam itu sedang absen di republik ini.
Perintah-perintah presiden memang berhamburan, tetapi hampir kosong dalam pelaksanaan. Para pembantunya berbakat pula untuk mengikuti gaya bosnya yang membosankan itu.

Sebuah rezim yang keberadaannya lebih bertumpu pada citra, bukan pada perbuatan, lama-lama pasti menjadi pepes kosong yang tak ada harganya.

Borok demi borok
Rezim ini sudah sejak awal sarat dililit oleh berbagai borok: skandal Bank Century dan kriminalisasi Antasari, Bibit- Chandra, serta Susno Duadji. Satu borok dicoba ditutup, borok yang lain mencuat. Panorama ini belum akan berakhir sampai terciptanya sebuah perubahan yang mendasar. Kini muncul pula kasus Muhammad Nazaruddin yang sangat memalukan kita semua. Perkara ada pihak yang ingin menyalip di tikungan jalan untuk kepentingan politik pragmatisme partai tertentu mungkin saja berlaku.

Secara de facto, ikatan koalisi kepartaian yang sering dibanggakan itu kini tinggal nama. Elite politik kini dalam situasi saling mengintai. Bukankah bumi Nusantara kini lebih banyak dihuni oleh petualang politik ketimbang sosok negarawan? Kemudian tengok pula peta buram ini: para elite Partai Demokrat kini sedang saling menelanjangi di depan publik dalam membongkar borok teman masing-masing. Dalam pada itu, buron Nazaruddin terus saja berkicau dari tempat persembunyian, entah di mana, untuk memperkeruh situasi yang memang sudah keruh.

Oleh sebab itu, kesimpulan saya adalah akan jadi sebuah kesia-siaan jika orang masih saja berharap untuk membangun bangsa sebesar Indonesia ini dari seseorang yang gagal membereskan rumah tangga partainya sendiri. Ini adalah hukum besi sejarah yang tak dapat ditawar. Titik!

Bagi saya, jika perubahan memang harus terjadi dan tak terelakkan, semuanya harus dilakukan melalui cara-cara damai dan konstitusional. Akal sehat dan hati nurani harus memandu perubahan itu. Jangan bertindak di luar koridor itu. Bangsa yang sudah terlalu lama menderita ini jangan dikorbankan lagi.

Dalam perbincangan saya dengan berbagai kalangan elite atau rakyat jelata sejak dua tahun lalu, ungkapan kegelisahan masif itu tak dapat ditutupi lagi. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan itu tetap saja berputar untuk kepentingan sekitar 20 persen rakyat Indonesia yang bertengger di puncak piramida kekuasaan dan ekonomi. Sisanya, yang 80 persen, tetap saja dihantui oleh beban kesulitan hidup yang belum banyak berubah.

Banyak kalangan bertanya kepada tokoh lintas agama, mengapa kondisi bangsa dan negara ini belum juga memberi harapan untuk masa depan kita semua. Saya menjawab, ”Apalah yang dapat dilakukan oleh tokoh lintas agama selain imbauan moral?” Itu pun tidak jarang dikategorikan sebagai gerakan politik kekuasaan oleh oknum penguasa. Jadi, serba dilematis. Jika bersuara agak lantang, dituduh macam-macam. Jika tidak bersuara, publik terus saja bertanya. Dengan kata lain, masyarakat luas telah kehabisan kosakata untuk mengalamatkan pertanyaan kepada pemerintah yang dinilai tidak mampu memberi jawaban.

Akhirnya, jika segala borok politik, hukum, dan ekonomi yang sedang mendera sekujur batang tubuh bangsa ini tidak juga cepat menemukan jalan keluar, maka yang akan terjadi adalah proses pembusukan dalam cara kita berbangsa dan bernegara. Saya hanya ingin bertanya, apakah para elite bangsa ini tidak mau membaca arus bawah masyarakat luas yang semakin gelisah ini.

Semakin borok-borok itu mengapung, volume kegelisahan itu semakin sulit dibendung. Kepada siapa lagi kita harus bertanya? Semuanya membisu atau menjawab dengan nada yang tak meyakinkan. Namun, Indonesia kita tidak boleh tiarap dalam upaya mencari solusi terhadap beragam masalah yang sedang melintas di depan mata, bukan?

*)AHMAD SYAFII MAARIF Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/07/09/03422466/Borok-Itu-Kian-Mengapung



Mereka Menguasai Indonesia Tanpa Menembakkan Sebutir Peluru Pun

RMOL - KEDAULATANNEWS -  Malaysia, Singapura dan Republik Rakyat China menerapkan model pembangunan khas mereka yang kemudian dikenal sebagai model pembangunan Asia Timur.

Model pembangunan ini terbukti membawa ketiga negara itu menjadi negara maju dan terpandang di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur dalam beberapa dekade terakhir.

Ciri utama model pembangunan ketiga negara itu adalah pemerintah proaktif dan mengambil peran signifikan untu memperkuat industri dalam negeri dan di saat bersamaan memberikan kesempatan pada pasar. Di negara-negara itu, hasil dari pertemuan dua cara pandang ini adalah percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Berbeda dengan ketiga negara itu, seperti telah sering disampaikan oleh kalangan ekonom kerakyatan dan independen pada banyak kesempatan, sejak pemerintahan Orde Baru, Indonesia secara sadar menganut paham neoliberalisme yang tetap digunakan oleh pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Di Asia Tenggara ada dua negara yang menjadi pengikut setia neoliberalisme, yakni Indonesia dan Filipina. Keduanya menjadi negara yang terbelakang dibandingkan dengan neagra-negara lain di Asia Tenggara yang pada 1950an memiliki kondisi kurang lebih sama dengan Indonesia dan Filipina.

Penjelasan di atas disampaikan ekonom senior DR. Rizal Ramli yang diundang secara khusus ke Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Persatuan Pelajar Indonesia se-Malaysia (PPIM). Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan ini menjadi keynote speaker dalam diskusi nasionalisme di KBRI Kuala Lumpur, Kamis siang (14/7).

Negara-negara di Amerika Latin, sebut Rizal, juga pernah menjadi korban neoliberalisme pada kurun 1970an hingga 2000an. Di masa itu, paham ekonomi pasar dipraktikkan secara ugal-ugalan. Sementara di sisi lain ketergantungan pada utang begitu luar biasa.

“Mereka menjadikan utang sebagai alat untuk menstabilkan ekonomi. Setelah itu krisis lagi, lalu utang lagi, krisis lagi dan utang lagi. Begitu terus menerus,” ujar Rizal.

Di bandingkan dengan pengalaman Amerika Latin ketika itu, kondisi Indonesia relatif lebih beruntung. Kini sekitar 30 persen dari APBN digunakan untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga utang luar negeri. Sementara di Amerika Latin pada masa itu, besar anggaran nasional yang digunakan untuk membayar utang sampai 60 persen. Namun bila tak segera diambil langah untuk menghentikannya maka dalam waktu dekat Indonesia akan terpuruk seperti yang pernah dialami negara-negara Amerika Latin itu.

Di tahun 200an beberapa dari negara Amerika Latin mulai berani meninggalkan ekonomi neoliberal. Dari negara yang kerap dianggap ekstrem seperti Venezuela dan Kolumbia, sampai negara moderat seperti Brazil. Dalam waktu yang relatif cepat mereka dapat memperbaiki ekonomi negara.

“Di kawasan Asia, kita masih manut pada neoliberalisme. Walau tentu saja setiap kali Anda mengatakan ini pemerintah membantah,” kata Rizal lagi.

Rizal mencontohkan sektor keuangan dan perbankan nasional yang dikuasai pihak asing.
“Tadi saya dengar Bank Mandiri harus menyetor 350 juta ringgit Malaysia agar bisa membuka cabang di sini. Di negara kita, siapa yang mau buka, silakan saja. Inilah neoliberalisme. Selama ini terus dibiarkan gap antara yang miskin dan gaya terus terjadi,” sambungnya.

Padahal, neoliberalisme adalah pintu masuk neokolonialisme atau penjajahan dengan wajah baru yang tak menggunakan kekuatan fisik seperti di masa lalu. Itulah sebabnya banyak negara besar yang mendorong Indonesia agar bersahabat baik dan mengikuti resep International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Itu karena mereka ingin menguasai Indonesia tanpa menembakkan sebutir peluru pun.

“Dari pengalaman di banyak negara kita bisa menyimpulkan bahwa di Asia negara yang maju adalah negara yang tidak ikut IMF dan Bank Dunia. Sementara di negara kita, agen lembaga-lembaga keuangan asing itu malah diundang dan diberi kesempatan duduk dalam pemerintahan. [zul]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33054

Baca Juga: 

Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli

DR. RIZAL RAMLI POTENSIAL DAN LAYAK UNTUK PRESIDEN RI 2014

Minggu, 03 April 2011

Rizal Ramli: Seandainya Saya Jadi Gubernur DKI

Wow! Menarik juga membaca opini DR. Rizal Ramli yang berjudul: “Seandainya Saya Jadi Gubernur DKI”. Ia berandai-andai menjadi Gubernur DKI karena gregetan melihat kemacetan yang luar biasa dan banjir tidak terkendali di DKI. 

“Saya terpaksa berandai-andai karena kelihatannya tidak ada solusi dan harapan untuk menyelesaikan masalah kemacetan dan banjir. Bangsa yang tidak memiliki harapan adalah bangsa yang mandek, tidak memiliki kreatifitas dan akhirnya terperosok menjadi bangsa yang terus menerus bermasalah”, ujarnya.

Rizal Ramli mengakui bahwa dirinya bukan ahli tata kota. Tetapi menurut Rizal Ramli, sulit membayangkan bahwa hanya dengan memindahkan Ibukota, masalah kemacetan dan kesemrawutan Jakarta akan berkurang. Sekitar 20% lalulintas kendaraan dari dan ke Jakarta terkait dengan kegiatan pelabuhan Tanjung Priok. Adalah lebih bermanfaat untuk memindahkan kegiatan Pelabuhan utama Republik Indonesia ke lokasi di Propinsi Banten sehingga tekanan kemacetan lalulintas di Jakarta berkurang. Realokasi kegiatan pelabuhan tersebut juga akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya bongkar muat barang. 

Kemudian Rizal Ramli juga menyinggung soal kebutuhan terhadap transportasi publik. Menurutnya,dengan total penduduk Jabotabek sebanyak 28 juta, kebutuhan terhadap transportasi publik yang memadai harus jadi prioritas utama. Bukan sesuatu hal yang terlalu sulit untuk melakukan restrukturisasi finansial dan penyelesaian proyek monorail secepat mungkin. Program pembangunan jaringan subway, diatas maupun dibawah tanah, tidak hanya ke pusat kota tetapi lingkar-lingkar luar kota, harus dipercepat dan di perluas secara lebih agresif. Bayangkan jumlah pekerjaan yang dapat diciptakan, langsung maupun tidak langsung.

Lebih jauh dikatakan Rizal Ramli, pada tingkat nasional, prioritas pembangunan transportasi harus lebih mengutamakan jaringan transportasi publik, bukan hanya untuk transportasi pribadi. China saat ini memiliki jaringan rel kereta api total 86.000 km, dan akan bertambah menjadi 110.000 km, termasuk 16.000 km jalur kereta api berkecepatan tinggi. India memiliki jaringan rel kereta api total 63.000 km. Kedua negara tersebut memberikan prioritas utama pada jaringan rel karena kereta api adalah sarana transportasi rakyat dan barang yang paling murah. Indonesia memiliki jaringan kereta api total  6.800 km, dan yang berfungsi hanya 4.600 km. Bayangkan kalau kita membangun jalur kereta api diseluruh pulau-pulau besar Indonesia. Rakyat akan sangat bergembira, ongkos kirim barang pertanian, perkebunan, pertambangan akan sangat murah dan jutaan pekerjaan akan tercipta. 

Sedangkan solusi untuk mengatasi banjir, Rizal Ramli mengemukan salah satu solusi yang dapat dilakukan Pemda DKI adalah mengharuskan setiap tanah dan bangunan seluas 100 m2 wajib membangun sumur resapan, dan tentunya, sungai-sungai dan kali-kali di Jabotabek harus di keruk dan diperbaiki, dan perlu dibangun jaringan kanal dan bendungan untuk memanfaatkan air hujan semaksimal mungkin. Perlu dicatat bahwa sebagian besar daerah di Australia menggantungkan sumber airnya dari air hujan yang sangat jarang turun dengan curah hujan yang sangat rendah.

Namun menurut saya, sosok DR. Rizal Ramli dengan kelebihan dan kekurangannya, lebih cocok sebagai Presiden 2014. Nah! jika DR. Rizal Ramli membaca ringkasan ini, mohon untuk mempersiapkan diri anda untuk 2014, dan yakinlah jika ada dukungan yang memadai hal itu tidak mustahil untuk diwujudkan. 

Sumber: http://www.rizalramli.org/index.php?option=com_content&view=article&id=52:opiniseandainyagubdki&catid=36:categoryopini&Itemid=58


Rabu, 01 September 2010

MEMBONGKAR KEJAHATAN JARINGAN INTERNASIONAL DI INDONESIA


Memasuki usia 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sebagai rakyat Indonesia, saya patut bertanya dan merenungkan kembali makna kemerdekaan itu. Apakah betul secara de facto dan de jure kita sebagai bangsa benar-benar telah merdeka dan berdaulat atas negeri ini? Jika realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dibidang perekonomian, fakta menunjukkan bahwa sumber-sumber kekayaan alam negeri ini sepenuhnya dikelola dan dikendalikan oleh perusahaan MNC (multinational corporation). Apa sebab semua itu bisa terjadi?

Pertanyaan itulah yang kemudian membuat saya menjelajah mencari jawabannya, baik di dunia maya maupun dari perpustakaan satu ke perpustakaan lainnya untuk mencari berbagai data, fakta dan referensi untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan saya atas pertanyaan tersebut.

Salah satunya, saya temukan jawabannya dari seorang yang bernama John Perkins. Ia adalah penulis asal Amerika Serikat (AS) yang membeberkan kejahatan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik keuntungan melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Dalam bukunya yang pertama, Confessions of An Economic Hit Man (2004) Perkins menyebut dirinya Bandit Ekonomi atau EHM yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS.

Perkins mengungkapkan bagaimana cara operasional jaringan korporatokrasi ini. Ia mengatakan bahwa cara operasional jaringan ini mirip mafia, karena menggunakan semua cara, termasuk pembunuhan, untuk mencapai tujuan. Bahkan Perkins mengungkapkan bandit-bandit ekonomilah yang melenyapkan Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos.

Konon kejatuhan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan pada tahun 1965, juga disinyalir bandit-bandit ekonomi ini berperan besar. “Kita melakukan pekerjaan kotor. Tak ada yang tahu apa yang kamu lakukan, termasuk istri kamu. Kamu ikut atau tidak? Kalau mau, kamu dilarang keluar dari MAIN sampai meninggal dunia”, kata bos Perkins yang suatu hari menghilang bagaikan hantu.

Perkins yang mengaku sebagai salah satu bandit ekonomi dalam jaringan korporatokrasi ini. Diawal keterlibatannya, ia bertugas membuat laporan-laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada negara-negara Dunia Ketiga.

Tugas berikut Perkins adalah membangkrutkan dan menjebak negeri penerima utang. Setelah tersandera utang yang menggunung, negara pengutang dijadikan kuda tunggangan. Negara pengutang ditekan agar, misalnya, mendukung Pemerintah AS dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Bisa juga negara pengutang dipaksa menyewakan lokasi untuk pangkalan militer AS. Sering terjadi korporatokrasi memaksa negeri pengutang menjual ladang-ladang minyak mereka kepada MNC (Multinational Corporation) milik negara-negara Barat.

Perkins bercerita, pada tahun 1971 ia berkeliling ke berbagai tempat menyiapkan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita (GNP), dan berbagai indikator lain yang direkayasa dan dilaporkan kepada IMF dan World Bank. Para eksekutif kedua lembaga tersebut pura-pura terpesona kepada berbagai indikator yang angkanya dicatut para bandit ekonomi itu dan segera menyalurkan uang.

Dalam hal Indonesia, bos Perkins, Charlie Illingworth mengatakan bahwa Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Di mata Nixon, Indonesia ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau China. “Berbicara tentang minyak bumi, kita tergantung dari Indonesia. Negara ini bisa jadi sekutu kuat kita,” kata Illingworth kepada Perkins di Bandung.

Kehadiran korporatokrasi disambut hangat penguasa Orde Baru. Korporatokrasi membuka peluang emas untuk KKN. Konspirasi antara korporatokrasi dengan kleptokrasi Orde Baru dijalin melalui prinsip “tahu sama tahu” dalam rangka “pembangkrutan” (bukan pembangunan) Indonesia. Konspirasi inilah yang mengawali berputarnya lingkaran setan utang yang dibangga-banggakan ideologi developmentalis Orde Baru.

Pembangunan berbagai proyek infrastruktur itu bertujuan meraup laba maksimal bagi perusahaan-perusahaan AS. Tujuan lainnya memperkaya elite Orde Baru dan keluarganya agar mereka tetap loyal kepada korporatokrasi. Utang yang semakin menggunung akan semakin menguntungkan persengkonglan itu. Dan Perkins pun dinyatakan lulus sebagai bandit ekonomi andal berkat kariernya yang sukses di Indonesia.

Perkins merekomendasikan jumlah utang yang disalurkan IMF dan World. Antara lain syaratnya, pemerintah harus menyalurkan 90 persen dari utang ke kontraktor-kontraktor AS untuk membangun berbagai proyek infrastruktur seperti jalan raya atau pelabuhan yang dikerjakan para pejabat tinggi Orde Baru dan keluarganya. Jika Presiden Soekarno menentang kehadiran korporatokrasi, Presiden Soeharto justru sebaliknya. Tak heran utang luar negeri Soekarno tak lebih dari 2,5 milyar dolar AS, sebaliknya utang luar negeri Soeharto lebih dari 100 milyar dolar AS dan utang luar negeri pemerintahan SBY saat ini sebesar Rp 1.878 triliun (posisi pada April 2010).
Konspirasi jahat korporatokrasi dengan kleptokrasi, dapat kita lihat dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton I dan II di Probolinggo Jawa Timur yang nilainya 3,7 milyar dolar AS. Megaproyek ini tidak membawa manfaat bagi rakyat bangsa ini. Mengapa? Sebab harga listrik yang dihasilkan 60 persen lebih mahal daripada di Filipina, atau 20 kali lebih mahal dibandingkan di AS. Dana pembangunan Paiton berasal dari utang yang disalurkan ECA (Export credit agencies) asal negara-negara maju. Korupsi Orde Baru dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu disetor kepada kroni dan keluarga Soeharto.

Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan lahan sampai monopoli suplai batu bara, dihadiahkan tanpa tender kepada konspirasi korporatokrasi dengan kleptokrasi. Setelah rezim Soeharto tumbang, audit BPK menyatakan proyek Paiton sayarat KKN, bahkan nilai proyek Paiton terinflasi 72 persen. Pemerintah-pemerintah pasca Soeharto coba menegosiasi ulang Paiton dengan argumen megaproyek itu adalah hasil KKN. Akibatnya Indonesia selama 30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dolar AS per kWh walaupun kemampuan pemerintah cuma dua sen dolar AS per kWh.

Berbeda dengan Soekarno yang bersikap tegas menghadapi korporatokrasi. Sejak 1951 Soekarno membekukan konsesi bagi MNC melalui UU (Undang-undang) Nomor 44/1960 yang berbunyi, “Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara”. Sejak merdeka, MNC berpegang pada perjanjian let alone agreement yang memustahilkan nasionalisasi dan mewajibkan MNC mempekerjakan pribumi lebih banyak daripada orang asing.

Sikap tegas Soekarno tersebut membuat MNC panik karena laba menurun. Tiga Besar (Stanvac, Caltex dan Shell) meminta negoisasi ulang, namun Soekarno mengancam akan menjual seluruh konsesi ke negara-negara lain jika mereka menolak UU 44/1960. Pada bulan Maret 1963 Soekarno mengatakan, “Aku berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan aku akan batalkan semua konsesi jika Anda tidak mau memenuhi tuntutanku”.



Soekarno menuntut Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus disuling Permina (kini Pertamina). Surplus produksi Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri, dan semua hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri kepada pemerintah, dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor mereka. Caltex harus menyediakan dana dalam bentuk valuta asing yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran serta investasi modal yang dibutuhkan Permina. Soekarno juga menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri. Formula pembagian laba ditetapkan 60 persen untuk pemerintah dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex yang dihitung dalam rupiah. Berbagai tuntutan Soekarno membuat Caltex panik, dan mereka meminta bantuan Presiden AS John F. Kennedy. Padahal pemerintah baru mau menandatangani program paket stabilisasi IMF yang ditawarkan Kennedy.

Sehari setelah penandatangan paket IMF itu, Soekarno menerbitkan Regulasi 18 yang berisi berbagai tuntutannya. Soekarno menolak paket stabilisasi IMF dikaitkan dengan Regulasi 18. Setelah melewati negosiasi alot, Soekarno dan Kennedy menyepakati sistem kontrak karya. Sistem ini menegaskan pemerintah memiliki kedaulatan atas kekayaan minyak bumi sampai komoditas itu diangkut ke tempat penjualan (poin of sale).

MNC cuma berstatus sebagai kontraktor, dan jangka waktu serta area konsesi dibatasi dibandingkan dengan versi let alone agreement. MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40 persen. MNC wajib menyediakan kebutuhan pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi serta pemasaran setelah jangka waktu tertentu. MNC menerima kontrak karya, Kennedy, dan Kongres AS menyetujui paket stabilisasi IMF yang oleh Soekarno diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Nasional (RPN) Ketiga 1961-1969.

Bandingkan kontrak karya dengan sistem PSA (profit sharing agreement) versi Soeharto. PSA seolah-olah menempatkan pemerintah sebagai pemilik, sementara MNC kontraktor. Padahal pada praktiknya MNC yang mengontrol ladang minyak yang mendatangkan laba berlipat ganda. PSA seolah-olah pembagian hasil yang adil, padahal tidak. Klausul stabilisasi PSA mengatakan seluruh UU tidak berlaku bagi kegiatan MNC dalam rangka mencari laba dan tak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi – yang menjadi rujukan hukum internasional yang tak kenal kedaulatan atau kepentingan nasional.

Cerita sukses sistem PSA di Indonesia dipraktikkan korporatokrasi untuk menguasai minyak bumi Irak era pasca Presiden Saddam Husein. Irak diserbu pasukan AS lewat dongeng tentang senjata pemusnah massal yang tak pernah ada untuk membuka jalan bagi masuknya korporatokrasi.

Jumat, 20 Agustus 2010

TAHUN HURA-HURA ELIT POLITIK


"Refleksi tahunan Forum Indonesia untuk TRansparansi Anggaran (FITRA) terhadap Kinerja Anggaran Pemerintah 2009"

Tahun 2009 merupakan tahun perhelatan politik di republik ini. Kebijakan anggaran Siklus lima tahunan ini , lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit politik yang menggerogoti anggaran yang bersumber dari keringat rakyatnya. Tidak hanya biaya pesta pemilu yang besar dan boros, oligarki elit politik juga menjadikan anggaran sebagai ongkos politiknya, serta menikmati berbagai kemewahan, dan mengemplang uang rakyat. Dipenghujung tahun 2009, kemenangan incumbent meraup separuh lebih suara pemilih, berimplikasi pada kepercayaan diri rezim mengeluarkan kebijakan yang tidak populis. Pembagian Mobil Mewah Totyota Crown Salon senilai Rp. 1,3 milyar pada seluruh Menteri, sejumlah pejabat Negara dan Pimpinan Legsilatif merupakan pertanda tidak pekanya elit politik negeri ini terhadap penderitaan rakyat yang 14% masih hidup dalam kemiskinan. Begitu juga, rencana kenaikan gaji Menteri dan pejabat Negara mulai tahun 2010, merupakan gambaran Jabatan Negara tidak dipandang sebagai jabatan untuk pengabdian terhadap rakyat, namun justru untuk mencari kerja dengan mengeruk uang rakyat sebesar-besarnya. Oleh karena itu FITRA menyatakan Tahun Anggaran 2009 sebagai tahun “HURA-HURA ELIT POLITIK DENGAN MENGGUNAKAN UANG RAKYAT” Berikut adalah evaluasi FITRA terhadap tahun anggaran 2009:

1. Pesta Pemilu: Ongkos Besar, Boros, Rawan Korupsi + Kinerja Ambaradul.
Dalam dua tahun anggaran, untuk menyelenggarakan Pemilu, KPU memperoleh anggaran fantastis sebesar Rp. 21,9 Triliyun atau meningkat 3 kali lipat lebih besar dari Pemilu 2004. Tidak hanya KPU, anggaran Pemilu juga dijadikan kesempatan untuk bancakan proyek oleh 8 (delapan) Kementerian/Lembaga dengan menelan anggaran Rp. 5 trilyun. Dengan total biaya pesta hampir Rp. 27 trilyun ini seharusnya Pemilu dapat berlangsung dengan baik. Namun apa lacur, biaya besar tidak diiringi dengan kinerja KPU yang menggembirakan. Carut marut DPT, IT Pemilu yang tidak bekerja optimal, jalan-jalan ke Luar Negeri serta terjadinya inefisensi, pemborosan dan dugaan kerugian Negara dalam pengadaan logistik Pemilu sebesar Rp. 284,28 milyar menjadi pertanda bobroknya penyelenggaraan Pemilu sepanjang sejarah Pemilu Indonesia.

2. Ongkos Politik Dari Anggaran Negara.
Kebijakan anggaran 2009 dipergunakan oleh incumbent dan elit politik untuk mempengaruhi Pemilih. Rawannya belanja bantuan social dipergunakan sebagai pork barrel , terbukti pada saat Pemilu Legislatif Anggota Komisi VIII memperoleh voucher dari mitra kerjanya Departemen Agama untuk dibagikan kepada Madrasah-Madrasah daerah Pemilihannya antara Rp. 50 – 75 Juta/ voucher dengan jumlah Rp. 7,3 Milyar. Tidak hanya DPR, Incumbent yang kembali bertarung pada Pemilu 2009 juga menggunakan APBN 2009 untuk mendulang suara rakyat. Pemberian bantuan pupuk senilai Rp. 935 Milyar dan bantuan benih senilai Rp. 1,4 Triliun kepada petani oleh capres incumbent dalam acara Jambore Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Jawa Tengah tanggal 8 Juni 2009, dimana dana yang digunakan berasal dari belanja bantuan sosial Departemen Pertanian. Berdasarkan catatan FITRA, anggaran belanja bantuan sosial APBN 2009 yang berpotensi disalahgunakan dan dapat digunakan sebagai alat kampanye terselubung mencapai Rp. 7,05 trilyun yang terdapat di beberapa Kementerian/Lembaga. Hal ini juga diperkuat dengan temuan BPK tahun 2008, terdapat realisasi belanja sosial minimal senilai Rp 3.090.trilyun tidak ,menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Tidak mengherankan Kebijakan kenaikan gaji PNS sebesar 15%, pembagian BLT, dan insentif pajak pendapatan sebesar Rp. 56,3 Trilyun melalui stimulus fiskal, terbukti efektif dipergunakan incumbent menjadi jawara pada Pemilu 2009.

Tidak hanya memeras uang rakyat, Bantuan Partai Politik yang diberikan kepada Parpol berdasarkan jumlah kursi juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan hasil audit BPK semester 1 2009 terdapat 49 daerah yang partai-partai politiknya belum memberikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan parpol dari APBD yang membuat lebih dari Rp. 21 Milyar dana APBD tidak dapat dipertanggungjawabkan.

3. Wakil Rakyat Pemeras Keringat Rakyat
Kenaikan anggaran DPR setiap tahun hingga 55% pertahun ternyata tidak berkorelasi positif dengan kinerjanya. Dukungan anggaran selama periode 2005 hingga 2009, DPR telah menghabiskan anggaran mencapai Rp 6,315 triliun atau rata-rata tahunan mencapai Rp 1,263 triliun. Kenaikan jenis penghasilan DPR-pun meningkat dari 8 jenis pada tahun 2005 menjadi 10 jenis pada tahun 2009. Gaji sekelas anggota DPR yang tidak merangkap sebagai pimpinan alat kelengkapan sebesar Rp.59,8 juta. Dengan hari kerja efektif selama 128 hari (setelah dipotong sabtu minggu, libur hari raya, dan masa reses) , maka satu anggota DPR (termasuk yang suka bolos) dihargai Rp. 5,6 Juta per hari. Namun apa lacur, jika dibandingkan dengan fungsi anggaran yang dimilkinya hanya sekedar untuk memperbanyak fasilitas ditubuhnya. Dari RAPBN yang diajukan oleh eksekutif untuk dibahas dan ditetapkan DPR tidak mengalami perubahan signifikan. Tak ayal Fungsi anggara DPR hanya menjadi stempel RAPBN yang diajukan oleh eksekutif.

Tak hanya DPR pusat, DPRD daerah juga ikut-ikutan membangkang dengan mengemplang uang rakyat. Pemberlakukan PP 37/2006 mengenai Tunjangan Komunikasi Insentif dan Penunjang Operasional DPRD yang terlanjur dikucurkan, ternyata sampai saat ini masih banyak anggota DPRD yang tidak membayarkannya. Berdasarkan hasil audit BPK semester I tahun 2009, tercatat masih terdapat 80 daerah dengan total Rp. 117,354 Milyar DPRD yang belum mengembalikan TKI dan Penunjang Operasional. Hal ini karena DPRD merasa dilindungi oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Mendagri. Oleh karena itu FITRA telah melaporkan Mantan Mendagri Mardiyanto ke KPK pada tanggal 6 November, akibat kebijakan yang dikeluarkan telah menyebabkan kerugian daerah.

4. Penggemukan Anggaran Birokrasi Penegakan Hukum
Tahun 2009 adalah tahun terburuk bagi keadilan. Kriminalisasi pimpinan KPK, kasus nenek minah, makelar kasus Anggodo, dan Prita merupakan deretan panjang potret buram keadilan di Negeri ini. Rentetan kejadian ini ternyata berkorelasi dengan buruknya pengelolaan anggaran di tubuh lembaga penegakan hukum seperti Depkumham, Kejaksaan dan Kepolisian yang lebih banyak tersedot untuk urusan birokarasi, ketimbang menunjang tugas fungsinya. Ironisnya, ketiga lembaga ini, dari tahun-ketahun selalu mendapatkan opini disclaimer dari hasil audit BPK. Departemen Hukum dan HAM dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah mengalami kenaikan yang cukup tajam, jika di tahun 2005 anggaran Depkumham baru sebesar Rp 1,95 triliun, di tahun 2009 telah naik 2 kali lipat lebih, yaitu sebesar Rp 4,57 triliun. Dari hasil analisis terhadap berbagai program Depkumham, anggaran yang dialokasikan untuk gaji,honor dan tunjangan pejabat/pegawai sebesar 35% dari total anggaran. Anggaran yang digunakan untuk belanja administrasi dan aparatur juga cukup besar mencapai 18% dari total anggaran. Sehingga total anggaran belanja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, administrasi dan aparatur totalnya mencapai 53%. Sisanya sebesar 47% dari total anggaran digunakan untuk program-program yang berhubungan dengan tupoksi Depkumham langsung. Anggaran kepolisian di tahun 2009 sebesar Rp 25,7 triliun, sebagian besar anggaran di tubuh Kepolisian masih diporsikan untuk belanja pegawai sebesar 60,2% (Rp 15,6 triliun) yang tertuang di dalam program kepemerintahan yang baik. Di tubuh Kejaksaan, anggaran yang dialokasikan tahun ini sebesar Rp. 1,98 trilyun, namun anggaran yang diperuntukan bagi kebutuhan aparatur dan birokrasi tersebut mencapai 65,7% dari total anggaran. Untuk belanja pegawai saja telah menghabiskan 50,3% dari total belanja (Rp 1,1 trilun), ditambah dengan belanja operasional dan pemeliharaan perkantoran yang juga cukup besar mencapai 15,4% (Rp 306,3 milyar), sehingga totalnya mencapai Rp 1,3 triliun lebih. Sehingga anggaran yang tersisa dan masih bisa digunakan untuk tugas-tugas tupoksi secara langsung khususnya dalam pelayanan publik hanya sebesar Rp + 694 milyar (34,3%). Untuk Penindakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan mempunyai target 1.967 Perkara dengan alokasi anggaran sebesar Rp 98,7 milyar. Namun Penindakan Kasus Korupsi di 470 kabupaten/kota, dan 34 provinsi oleh kejaksaan tidak memenui target. Pemantauan seknas fitra,di 29 provinsi, dan 140 kabupaten/kota, kejaksaan hanya mampu dalam penindakan kasus korupsi sebanyak 199 kasus. Kemudian, dari 199 kasus ini, tidak terdapat kepala daerah aktif yang bisa ditangkap oleh kejaksaan, dan pangkat yang paling tinggi, yang ditangkap oleh kejaksaan adalah kepala dinas, mantan kepala daerah, dan mantan ketua DPRD.sedangkan untuk kejaksaan agung, kejaksaan agung hanya dapat mengungkap dan dapat membawa ke pengadilan sekitar 16 kasus saja


Proyeksi Kebijakan Anggaran 2010: Anggaran Bertahan Hidup Birokrasi

RAPBN 2010 dibahas oleh para anggota DPR dipenghujung masa jabatannya. Boleh dikatakan penetapan APBN 2010 adalah basa-basi politik semata, karena tidak terdapat perubahan signifikan bahkan diragukan kualitasnya,. Tahun 2010 merupakan konstraksi APBN terkecil dalam 5 tahun terakhir. Belanja Negara hanya naik 0,4%, bahkan pertumbuhan real dengan memperhitungkan inflasi, sebenarnya belanja negara mengalami penurunan sebesar 4.6% atau 46 trilyun dibandingkan APBN-P 2009. Di saat lemahnya kontraksi RAPBN, Pemerintah justru menempuh pengurangan belanja subsidi yang dalam kurun waktu 5 tahun terkahir mendominasi belanja negara sebesar 10% (15,5 trilyun) dan belanja bantuan sosial yang mengalami penurunan 11% (8.6 trilyun). Padahal kedua belanja ini, merupakan belanja pengaman bagi rakyat miskin. Ironinya, belanja pegawai justru meningkat 21% (28 trilyun) dan menduduki peringkat pertama belanja negara. Kenaikan ini dipukul rata kepada seluruh pegawai negeri dan tidak diawali dengan evaluasi atas kinerja pelayanan dan evaluasi atas politik rekruitmen yang tidak memperhatikan kapasitas fiskal. Bahkan para pejabat Negara termasuk Kepala Daerah akan memperoleh kenaikan gaji karena dianggap tidak layak. Dengan demikian, Peningkatan belanja pegawai termasuk kenaikan gaji menteri dan pejabat Negara lainnya yang akan dinaikan per tahun 2010 telah mengorbankan anggaran bagi rakyat miskin.

Pada tingkat daerah, Tahun 2010 merupakan tahun ancaman kebangkrutan yang akan terjadi pada berbagai daerah. Implikasi lebih luas kenaikan gaji PNS berturut-turut 15 % tahun 2009 dan 5% di tahun 2010, serta rekrutment PNS menyebabkan beban keuangan daerah yang membengkak untuk membiayai birokrasi. Ditambah dengan kenaikan Gaji Kepala daerah, maka dapat dipastikan sekitar 16.000 anggota DPRD-pun akan memperoleh kenaikan Gaji, mengingat parameter yang digunakan adalah besaran Gaji Kepala Daerah. Berdasarkan pantauan FITRA pada beberapa daerah, belanja tidak langsung APBD 2010 mengalami kenaikan rata-rata menjadi 80%. Sementara sisanya 20% APBD tidak akan berarti apa-apa untuk melaksanaka pembangunan dan melayani masyarakat di daerah. Bahkan pada beberapa daerah yang akan melaksanakan Pilkada dengan biaya Rp. 25 Milyar sampai Rp. 35 Milyar per Kab/Kota kekurangan pendanaan untuk melaksanakan dan kembali mengorbankan alokasi belanja untuk publik. Kebijakan Departemen Keuangan yang hanya berorientasi pada aspek administrative dengan batas waktu penetapan jadwal APBD juga menyebabkan kualitas APBD yang meragukan. Daerah berlomba-lomba menetapkan APBD tepat waktu, karena ingin memperoleh insentif fiscal atau taku dipotong dana perimbangannya apabila terlambat menetapakan. Akibatnya, DPRD yang sebagian besar berwajah baru, tidak mampu mempergunakan fungsi anggarannya.

Berkaitan dengan hal di atas, FITRA memproyeksikan kebijakan anggaran 2010 tidak lebih sekedar anggaran untuk mempertahankan hidup birokrasi tanpa mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat.

=== Secara lengkap dapat dilihar pada Laporan Tahunan FITRA 2009 =====

Diah Y. Raharjo
Ketua Dewan Nasional
FITRA

Siaran Pers FITRA RITUAL NOTA KEUANGAN RAPBN 2011 : 65 TAHUN INDONESIA MERDEKA, TERANCAM INSKONSTITUSIONAL


Anggaran (baca: APBN) yang disusun setiap tahun digunakan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana yang tercantum dalam pasal 23 ayat 1 Anggaran digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini tergambarkan dari potret anggaran kita yang meningkat 100% lebih pada tahun 2005 sebesar Rp. 509,6 trilyun menjadi Rp. 1.202 trilyun pada RAPBN 2011.Namun peringkat Indeks Pembangunan Manusia kita terus terpuruk, Tahun 2006, Indonesia berada di peringkat ke-107, merosot ke peringkat ke-109 pada tahun 2007-2008, dan pada 2009 menjadi peringkat ke-111. Bahkan lebih buruk dari peringkat Palestina (110) dan Sri Lanka (102) yang sedang dilanda konflik. Hal ini menunjukan peningkatan anggaran Negara belum sepenuhnya efektif memenuhi amanat konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, selama 65 tahun Indonesia Merdeka. Penyampaian Pidato Nota Keuangan oleh Presiden SBY tidak mencerminkan kondisi ril bangsa Indonesia. Lebih sekedar kosmetik politik dengan menyampaikan kondisi yang baik saja. Kenaikan belanja sebesar Rp. 76 trilyun dari pagu APBNP 2010 menjadi Rp. 1.012, dengan defisit Rp. 115,7 trilyun, merupakan nafsu belanja untuk sekedar mencari justifikasi untuk berutang. Pasalnya kenaikan belanja setiap tahunnya tidak disertai kemampuan penyerapan anggaran yang optimal. Berdasarkan laporan semester I realisasi belanja Pemerintah Pusat baru mencapai 30%, bahkan belanja modal baru terealisasi 16%. Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Pemerintah mengklaim meningkatkan belanja modal menjadi Rp. 121,7 trilyun. Sesungguhnya dari segi komposisi belanja menurut jenis, belanja modal belumlah menjadi prioritas. Pasalnya, belanja modal adalah belanja terkecil dibandingkan belanja subsidi (Rp. 184,8 T), belanja pegawai (Rp.180,6 T) dan belanja barang (Rp. 131,5 T). Angin segar kenaikan gaji PNS dan TNI/POLRI justru berimplikasi pada membengkaknya belanja pegawai dibandingkan pekerjaan yang harus dilakukan. Belanja Negara untuk pembangunan tidak sebanding dengan "ongkos tukang" yang semakin meningkat tajam. Pada sisi lain kenaikan ini akan turut mendongkrak inflasi kenaikan harga bahan pokok, terutama paling dirasakan oleh rakyat non PNS. Hal ini diperparah dengan belum dialokasikannya jaminan social untuk memenuhi amanat pasal 28 H ayat (3) konstitusi, sebagai safety net akibat inflasi. Pemerintah juga mengklaim anggaran transfer ke daerah meningkat secara tajam dari kurun waktu 2005-2011. Akan tetapi, secara proporsional kenaikan transfer daerah sesungguhnya stagnan dikisaran 30-31%. Bahkan pengalihan dana BOS sebagai belanja transfer daerah, hanyalah kamuflase komitmen Pemerintah Pusat, karena daerah hanya sekedar mencatat saja pada APBDnya, tanpa memiliki diskresi fiscal. Pemerintah juga belum memprirotaskan kesehatan pada APBN 2011 yang hanya dialokasikan 11,5 trilyun atau 1% dari APBN, jauh dari amanat UU pasal 171 UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dibandingkan dengan Philipina yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia, telah mengalokasikan belanja kesehatannya 3% dari PDB. Padahal, dalam belanja fungsi kesehatan terdapat 5 (lima) indicator MDGs ; Gizi buruk, Kematian Ibu, Kematian Anak, HIV AIDS dan penyakit menular, serta sanitasi air bersih. Berangkat dari persoalan di atas, Seknas FITRA memandang RAPBN 2011 hanya sebatas ritual tahunan kosmetik politik, karena setelah 65 tahun Indonesia Merdeka anggaran masih jauh dari tujuan bernegara dalam memenuhi amanat kosntitusi. Oleh karenanya RAPBN 2011 terancam kembali inskontitusional seperti APBN sebelum sebagai instrumen untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, FITRA meminta DPR untuk melakukan perombakan terhadap postur RAPBN 2011 dan melakukan proses pembahasan secara terbuka pada semua tingkatan (komisi, Banggar, Panja). FITRA bersama koalisi LSM akan kembali mengajukan judicial review UU APBN, sebagaimana yang telah kami lakukan pada UU No 2 APBN P 2010, pada tanggal 16 Agustus lalu. Jakarta, 18 Agustus 2010 (By: Diah Raharjo)

Sumber: http://www.facebook.com/talib.tata#!/note.php?note_id=422016477403&comments&ref=notif¬if_t=note_reply

Kamis, 06 Mei 2010

Bank Dunia & Korupsi

KREDIBILITAS lembaga-lembaga internasional termasuk Bank Dunia (BD) dan IMF semakin dipertanyakan. Dalam acara The World Debate membahas peran BD dalam memerangi kemiskinan yang diselenggarakan TV BBC pada 7 Oktober 2007 yang diikuti Sanjay Pradhan (Bank Dunia), Tajudeen Abdul Rahim (UN Millinneum Campaign-Africa), Paul Skinner (Chairman Rio Tinto), Ashraf Ghani (mantan Menteri Keuangan Afganistan) dan Prof. Jagdish Bhagwati, Ekonom dari Columbia University USA, banyak butir-butir menarik dan kritis yang dibahas.

Misalnya, sebagai lembaga dunia yang mengurus kemiskinan di dunia ketiga (negara-negara berkembang) mengapa BD harus selalu dipimpin orang Amerika tunjukan Gedung Putih? Penunjukan itu semakin menguatkan kenyataan selama ini bahwa BD adalah kepanjangan tangan tak langsung Pemerintah Amerika Serikat (biasanya melalui tangan Departemen Keuangannya) untuk mengarahkan BD atau memutuskan Go atau tidaknya policy & program BD.

Dominasi Pemerintah Amerika Serikat ini semakin terasa menjadi-jadi dalam masa pemerintahan George W Bush ketika Presiden Bank Dunia yang katanya lembaga ekonomi itu dipimpin oleh politisi pecandu perang bukan oleh seorang ekonom. Pertama, Presiden George W Bush berhasil menunjuk kroninya Paul Wolfowitz sebagai Presiden Bank Dunia. Namun karena terlibat skandal KKN, Paul Wolfowitz dipaksa mengundurkan diri. Kedua, sebagai penggantinya, Presiden George W Bush menunjuk Robert Zoellick yang juga arsitek perang Irak yang brutal dan gagal itu. Dilihat dari proses penggantian/penunjukan dan siapa yang ditunjuk ini saja sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa lembaga Bank Dunia akan tetap dan terus menjadi kepentingan politik Gedung Putih.

Kembali ke The World Debate di atas, para panelis pada umumnya memberikan saran dan kritik pada BD seperti, good governance, transparency, peningkatan kelancaran investasi, dan pemberantasan KKN di negara-negara yang mendapatkan pinjaman dari BD, dengan menyetop bantuan atau pinjamannya itu. Alasannya karena pinjaman itu justru semakin memarakkan korupsi di negara debitor tetapi rakyatnya yang harus membayar kembali pinjaman tersebut. Meski proyek atau programnya gagal, dalam kenyataannya BD tak mau tahu, yang penting debitor harus membayar kembali pokok pinjaman beserta bunganya sesuai jadwal. Menanggapi tuntutan tersebut Sanjay Pradhan (Bank Dunia) menegaskan bahwa tujuan utama BD adalah memerangi kemiskinan dan karena itu tetap memberikan pinjaman ke negara yang diketahuinya korup.

Mengapa BD ngotot tetap menyalurkan pinjamannya pada negara-negara yang dikenal korup termasuk Indonesia? Bukankah itu tidak sejalan dengan tujuan keseluruhan (bukan sepotong-sepotong) pendirian Bank Dunia? Bagaimana dengan program good governance, transparency, efisiensi, clean government, dan institutional capacity building bila dananya dikorupsi? Bukankah penyaluran dana pinjaman kepada rezim yang korup itu menyakitkan rakyat setempat? Bukankah sebuah negeri tidak akan bisa adil makmur bila birokrasi pemerintahannya sarat dengan korupsi? Atau seperti kata Prof. J Bhagwati bahwa demokrasi tidak akan tumbuh dan berkembang sebelum diperoleh sukses dalam bidang ekonomi.

Dan kita tahu bahwa sukses ini tidak akan terwujud bila pemerintahnya korup. Singkat kata, kita seharusnya tidak berkompromi dengan korupsi apalagi lembaga internasional seperti Bank Dunia. Dengan perkataan lain sungguh sulit bagi kita memahami semangat menggebu-gebu Bank Dunia untuk tetap menyalurkan uangnya ke negara-negara korup bila tidak ada sesuatu yang terselubung alias udang dibalik batu.

DARI pengalaman dan pengamatan selama ini sebenarnya tidak susah memahami kenapa Bank Dunia (BD) tetap aktif memberikan loan pada negara-negara korup? Pertama, demi eksistensi BD itu sendiri, yaitu harus tetap memberikan pinjaman sehingga memperoleh pengakuan atas kehadirannya. Kedua, demi memperoleh penghasilan bunga untuk membiayai operasionalnya. Ketiga, untuk mengemban misi atau kepentingan Pemerintah Amerika Serikat dan Multi National Corporation tertentu. Keempat, untuk kepentingan kontraktor/ konsultan langsung maupun tidak langsung projek-projek BD yang dalam banyak hal sering orang dalam BD sendiri atau kroninya. Kelima, untuk mengembangkan karir dan ambisi pejabat-pejabat BD sendiri.

Tidak selalu kepentingan asing yang dititipkan kepada BD itu buruk bagi negara debitor. Meski begitu negara debitor harus selalu waspada, kritis, dan berani bersikap atau menentukan pilihannya sendiri. Contoh kepentingan asing (bukan kepentingan nasional negara debitor) sebagai berikut. Dua puluh lima tahun yang lalu ketika saya kuliah di Amerika Serikat, dosen saya menceritakan sebuah projek BD untuk pengadaan air bersih yang sangat dibutuhkan di India terpaksa dibatalkan karena pemerintah AS tidak setuju dengan alasan yang tidak dijelaskan. Tetapi publik tahu karena Pemerintah India saat itu sedang berhubungan mesra dengan Uni Soviet, musuh perang dingin AS.

Contoh lain Indonesia pernah ditekan membuka kembali ekspor kayu gelondongan yang jelas merugikan kita. Atau pinjaman BD yang digunakan untuk meningkatkan penerimaan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sektor pedesaan yang besarnya 500 persen dari penerimaan PBB pedesaan (yang logis biaya untuk peningkatan penerimaan PBB tidak lebih dari 10 persennya). Begitu pula dengan proyek-proyek non fisik (konsultasi dan institutional devolopment, technical assistance dan lain-lain) yang umumnya gagal atau sekurang-kurangnya tidak membawa perubahan/perbaikan yang berarti sementara kita tetap harus membayar pinjaman dan bunganya.

Program dan projek yang dibiayai dari dana pinjaman BD banyak yang berasal dari inisiatif kreditor atau kroninya, dan mereka pula yang menikmatinya. Seperti dikatakan Tajudeen Abdul Rahim, local initiatives sangat minim. Banyak negara debitor difungsikan sebagai arena uji coba dengan biaya (utang) yang ditanggung debitor. Karena itu tidak mengherankan bila banyak sekali negeri yang telah lama menjadi pasien BD tetapi tetap saja miskin, korup, dan tidak mengalami perubahan yang berarti kecuali bertambah hutangnya. Logis, karena mana mungkin bisa menghapuskan kemiskinan dinegara yang korup.

Bank Dunia tidak akan menghentikan pinjamannya pada negeri-negeri yang dikenal tinggi tingkat korupsinya. Sebagian besar pinjaman BD justru disalurkan ke negeri-negeri korup. Dengan demikian menghentikan pinjaman kepada mereka sama saja mematikan bisnis BD itu sendiri. BD justru akrab dengan KKN. Artinya, pada negeri-negeri yang tinggi tingkat korupsinya itu lebih mudah bagi BD untuk mengatur segala sesuatunya sepanjang BD tidak terlalu usil dengan praktek korupsi yang berlangsung di negeri itu.
Dengan perkataan lain, rupanya negeri-negeri yang bersih dari korupsi justru menghindari berhubungan dengan BD. Tentu hipotesa-hipotesa ini perlu diuji keakuratannya secara statistik, meski secara kasat mata, fakta dan angka yang ada nampaknya hipotesa tidak meleset.

Total cumulative lending BD per 30 Juni 2007 $614,4 miliar meliputi lebih dari 176 negara dimana Indonesia masuk dalam 5 besar debitor dengan cumulative lending $32,5 miliar atau 5,3 persennya. 20 debitor terbesar meliputi 63 persen ($388 miliar). Besarnya lending commitments BD untuk 2007 $24,7 miliar dimana untuk Indonesia $1159 juta atau 4,7 persennya dan menduduki urutan ke-4 terbesar. Dengan mengacu pada Transparency International Corruption Index 2007 yang meliputi 180 negara dengan score 10 (paling bersih) sampai 0 (paling korup), praktis tidak ada negara dengan score diatas 5 yang menjadi debitor BD.

Sebaliknya, 20 debitor utama BD untuk tahun 2005 s/d 2007 adalah negara-negara dengan score dibawah 4,2 bahkan sebagian besar dibawah angka 3 yang mencerminkan negara itu amat korup. Keakraban BD dengan negara-negara korup ini mengingatkan kita pada pepatah lama, maling teriak maling.
(Sumber: Fuad Bawasier, http://www.rakyatmerdeka.co.id/index.php?pilih=fuad&id=64)