Kehendak Perubahan Harus Dimenangkan...!

"Masalah yang dihadapi bangsa ini bersifat fundamental dan radikal, yakni pudarnya kesadaran kebangsaan dan kacaunya pemahaman kedaulatan rakyat dalam sistem kenegaraan kita. Oleh sebab itu penyelesaiannya mutlak bersifat fundamental dan radikal pula
"

Rabu, 20 Juli 2011

Dominasi Politik Kaum Demagog

By: Mahfud MD

Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi)
Mungkin banyak orang yang tak percaya bahwa dua penumbuh filsafat Barat yang sering dianggap sebagai "konseptor demokrasi", Plato dan Aristoteles, justru menolak sistem politik demokrasi. Dua filosof besar dari Yunani itu, 2.500 tahun lalu, mengatakan bahwa demokrasi merupakan  sistem politikyang"berbahaya" dan tidak praktis.

Plato mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan (pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya tetap."seolah-olah demokrasi.

Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Di Indonesia, belakangan ini, banyak demagog seperti yang ditakutkan oleh Aristoteles itu. Hampir tiap hari rakyat melihat demagog, politisi perseorangan ataupun institusi, yang membohongi rakyat Ada tokoh politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.

Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol keuangan negara.

Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen maka negara akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi.

Di Indonesia, agenda reformasi terseok-seok. Bahkan, jika ukurannya adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan   nepotisme,  cenderung  dapat  dikatakan  gagal.

Mengapa? Karena arena politik Id calebih banyak dikuasai oleh para demagog. Lembaga-lembaga politik kita sekarang ini tampaknya lebih didominasi oleh para demagog yang biasanya tampil sebagai elite politik bukan karena kapabilitasnya melainkan karena kolusi politik yang dibangunnya.

Bukan rahasia lagi, banyak pimpinan politik di parpol di eksekutif, dan di pusat ataupun di daerah, yang meraih kedudukannya melalui premanisme dan kolusi politik Segepok uang sebagai hadiah mentah, biaya tiket, dan uang saku biasa diberikan bagi mereka yang mau mendukung sang "demagog".  Sebaliknya ancaman alienasi, pencopotan, dan teror diberondongkan terhadap mereka yang tak mau mendukung sang demagog.

Untuk memimpin parpol, para demagog yang biasanya pandai berpura-pura itu tak jarang mendapatkan uang untuk membeli kemenangannya melalui sponsor dari kekuatan di luar partainya. Ada yang dari pengusaha hitam yang mengharapkan dukungan untuk satu proyek atau memutihkan catatan hitamnya. Ada yang dari kekuatan politik lain, termasuk dari penguasa, yang meminta komitmen dukungan dengan kompensasi politik tertentu; dan ada yang dari kekuatan lain yang ingin memanfaatkanya sebagai kendaraan politik.

Politik demagogi ini menyebabkan parpol dan lembaga politik lainnya menjadi sesat. Sebab dari sana, jabatan-jabatan politik dan kebijakan publik ditentukan melalui transaksi politik oligarkis yang tidak lagi memikirkan nasib rakyat.

Apakah dominasi demagog sebagai keniscayaan di dalam demokrasi? Tentu tidak Bahwa di dalam demokrasi selalu ada demagog, sudah pasti ya. Tapi dalam kenyataanya demagog bisa tidak dominan. Setidaknya ini bisa dilihat dari dunia perpolitikan kita sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an. Para elite politik kita pada masa itu lebih didominasi oleh orang-rorang yang penuh integritas memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kita telah mencatat dengan tinta emas nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Wahid Hasyim, I J. Kasimo, Mohammad Roem dan Wilopo yang tampu ke tampukkepemimpinan bukan karena premanisme, suap, atau kolusi, melainkan karena diminta dan didorong dari bawah; karena integritas dan keikhlasannya. Masa itu memang ada demagog, tapi tak bisa mendominasi bahkan teralienasi dari percaturan politik, Sebaliknya sekarang ini demagoglahyang dominan.

Yang diperlukan kini adalah bagaimana membuat ranjau agar dunia politik kita tidak didominasi oleh para demagog seperti sekarang ini. Berdasar fakta sejarah sampai tahun 1950-an, dulu kita bisa menampilkan elite-elite yang berintegritas dan ikhlas dalam berjuang untuk rakyat: Kalau para demagog masih mengangkangi kita seperti sekarang, jangan harap negara akan beres dan jangan bermimpi reformasi ada gunanya.



Sabtu, 16 Juli 2011

Borok Itu Kian Mengapung

Oleh: Ahmad Syafii Maarif*)

Jika tak salah ingat, di sebuah harian Ibu Kota saya pernah mengutip peribahasa Arab yang berbunyi ”Mahma tubaththin tudzhirhu al-aiyam” (Apa pun yang kau sembunyikan, sejarah pasti membongkarnya). Peribahasa ini berlaku universal pada semua unit peradaban. Yang busuk cepat atau lambat pasti akan terbau.
Borok-borok kelakuan seseorang atau kelompok orang, betapa pun dibungkus rapi, pasti pada suatu saat akan diketahui. Ada borok yang segera mengapung, ada pula yang harus menanti tahunan, mungkin puluhan tahun, baru ketahuan.

Di suatu negara dengan sistem peradilan baik yang dibangun di atas komitmen moral yang kuat, membongkar sebuah borok, apakah itu menyangkut politik atau ekonomi, tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun, di sebuah negara yang sistem penegakan hukumnya kucar-kacir di mana hukum biasa diperdagangkan, orang memang harus sabar sampai gelombang kesadaran ke arah perbaikan menyeluruh muncul dengan kekuatan dahsyat. Ini bisa dalam bentuk revolusi dan bisa juga melalui gerakan reformasi yang efektif.

Sejarah modern Indonesia pernah mengenal kedua bentuk itu. Revolusi Kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1949 dengan efektif membongkar segala borok penjajahan yang kemudian membuahkan kemerdekaan bangsa. Para pendiri bangsa melalui pena mereka yang tajam telah menguliti borok-borok sistem penjajahan itu dalam tenggang waktu yang lama, diawali sejak abad ke-20.

Namun, gerakan reformasi sejak tahun 1998 dengan tujuan menegakkan sistem demokrasi yang kuat dan sehat ternyata dihadapkan pada jalan buntu kultural yang sampai hari ini belum jelas ujungnya. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatisme elite politik yang memboncengi gerakan ini.

Rezim pepesan kosong
Era reformasi tak berhasil melahirkan negarawan. Akibatnya, keadilan dan kesejahteraan yang sering dijanjikan tak kunjung terwujud. Buntutnya, apatisme masyarakat luas terhadap sistem kekuasaan kian dirasakan di kawasan perkotaan dan pedesaan. Orang begitu mudah tersinggung dan terbakar, lalu diakhiri dengan tawuran massal.

Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi berakhir dengan kegagalan gara-gara para elitenya terus saja bertikai-pangkai berebut kuasa dengan berpedoman pada diktum Machiavelli: tujuan menghalalkan segala cara.

Sejak beberapa bulan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh perilaku tak senonoh yang dilakukan oleh sebagian elite partai politik. Yang baru mulai terkuak adalah borok Partai Demokrat, partai penguasa, yang sejak lama menggantungkan keberadaannya atas citra ketua dewan pembinanya yang kebetulan Presiden Republik Indonesia. Partai-partai lain bisa saja sedang menunggu giliran untuk dibongkar belangnya.

Di kedai kopi-kedai kopi sekarang di seluruh Tanah Air, Anda jangan terkejut jika mendengar ucapan ini, ”Indonesia punya presiden, punya gubernur, punya bupati/wali kota, tetapi tidak punya pemimpin.” Seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang berani dan tegar untuk mengambil keputusan tepat, jika perlu dengan mengorbankan dirinya, demi kepentingan lebih besar. Sosok semacam itu sedang absen di republik ini.
Perintah-perintah presiden memang berhamburan, tetapi hampir kosong dalam pelaksanaan. Para pembantunya berbakat pula untuk mengikuti gaya bosnya yang membosankan itu.

Sebuah rezim yang keberadaannya lebih bertumpu pada citra, bukan pada perbuatan, lama-lama pasti menjadi pepes kosong yang tak ada harganya.

Borok demi borok
Rezim ini sudah sejak awal sarat dililit oleh berbagai borok: skandal Bank Century dan kriminalisasi Antasari, Bibit- Chandra, serta Susno Duadji. Satu borok dicoba ditutup, borok yang lain mencuat. Panorama ini belum akan berakhir sampai terciptanya sebuah perubahan yang mendasar. Kini muncul pula kasus Muhammad Nazaruddin yang sangat memalukan kita semua. Perkara ada pihak yang ingin menyalip di tikungan jalan untuk kepentingan politik pragmatisme partai tertentu mungkin saja berlaku.

Secara de facto, ikatan koalisi kepartaian yang sering dibanggakan itu kini tinggal nama. Elite politik kini dalam situasi saling mengintai. Bukankah bumi Nusantara kini lebih banyak dihuni oleh petualang politik ketimbang sosok negarawan? Kemudian tengok pula peta buram ini: para elite Partai Demokrat kini sedang saling menelanjangi di depan publik dalam membongkar borok teman masing-masing. Dalam pada itu, buron Nazaruddin terus saja berkicau dari tempat persembunyian, entah di mana, untuk memperkeruh situasi yang memang sudah keruh.

Oleh sebab itu, kesimpulan saya adalah akan jadi sebuah kesia-siaan jika orang masih saja berharap untuk membangun bangsa sebesar Indonesia ini dari seseorang yang gagal membereskan rumah tangga partainya sendiri. Ini adalah hukum besi sejarah yang tak dapat ditawar. Titik!

Bagi saya, jika perubahan memang harus terjadi dan tak terelakkan, semuanya harus dilakukan melalui cara-cara damai dan konstitusional. Akal sehat dan hati nurani harus memandu perubahan itu. Jangan bertindak di luar koridor itu. Bangsa yang sudah terlalu lama menderita ini jangan dikorbankan lagi.

Dalam perbincangan saya dengan berbagai kalangan elite atau rakyat jelata sejak dua tahun lalu, ungkapan kegelisahan masif itu tak dapat ditutupi lagi. Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan itu tetap saja berputar untuk kepentingan sekitar 20 persen rakyat Indonesia yang bertengger di puncak piramida kekuasaan dan ekonomi. Sisanya, yang 80 persen, tetap saja dihantui oleh beban kesulitan hidup yang belum banyak berubah.

Banyak kalangan bertanya kepada tokoh lintas agama, mengapa kondisi bangsa dan negara ini belum juga memberi harapan untuk masa depan kita semua. Saya menjawab, ”Apalah yang dapat dilakukan oleh tokoh lintas agama selain imbauan moral?” Itu pun tidak jarang dikategorikan sebagai gerakan politik kekuasaan oleh oknum penguasa. Jadi, serba dilematis. Jika bersuara agak lantang, dituduh macam-macam. Jika tidak bersuara, publik terus saja bertanya. Dengan kata lain, masyarakat luas telah kehabisan kosakata untuk mengalamatkan pertanyaan kepada pemerintah yang dinilai tidak mampu memberi jawaban.

Akhirnya, jika segala borok politik, hukum, dan ekonomi yang sedang mendera sekujur batang tubuh bangsa ini tidak juga cepat menemukan jalan keluar, maka yang akan terjadi adalah proses pembusukan dalam cara kita berbangsa dan bernegara. Saya hanya ingin bertanya, apakah para elite bangsa ini tidak mau membaca arus bawah masyarakat luas yang semakin gelisah ini.

Semakin borok-borok itu mengapung, volume kegelisahan itu semakin sulit dibendung. Kepada siapa lagi kita harus bertanya? Semuanya membisu atau menjawab dengan nada yang tak meyakinkan. Namun, Indonesia kita tidak boleh tiarap dalam upaya mencari solusi terhadap beragam masalah yang sedang melintas di depan mata, bukan?

*)AHMAD SYAFII MAARIF Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/07/09/03422466/Borok-Itu-Kian-Mengapung



Mereka Menguasai Indonesia Tanpa Menembakkan Sebutir Peluru Pun

RMOL - KEDAULATANNEWS -  Malaysia, Singapura dan Republik Rakyat China menerapkan model pembangunan khas mereka yang kemudian dikenal sebagai model pembangunan Asia Timur.

Model pembangunan ini terbukti membawa ketiga negara itu menjadi negara maju dan terpandang di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur dalam beberapa dekade terakhir.

Ciri utama model pembangunan ketiga negara itu adalah pemerintah proaktif dan mengambil peran signifikan untu memperkuat industri dalam negeri dan di saat bersamaan memberikan kesempatan pada pasar. Di negara-negara itu, hasil dari pertemuan dua cara pandang ini adalah percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Berbeda dengan ketiga negara itu, seperti telah sering disampaikan oleh kalangan ekonom kerakyatan dan independen pada banyak kesempatan, sejak pemerintahan Orde Baru, Indonesia secara sadar menganut paham neoliberalisme yang tetap digunakan oleh pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Di Asia Tenggara ada dua negara yang menjadi pengikut setia neoliberalisme, yakni Indonesia dan Filipina. Keduanya menjadi negara yang terbelakang dibandingkan dengan neagra-negara lain di Asia Tenggara yang pada 1950an memiliki kondisi kurang lebih sama dengan Indonesia dan Filipina.

Penjelasan di atas disampaikan ekonom senior DR. Rizal Ramli yang diundang secara khusus ke Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Persatuan Pelajar Indonesia se-Malaysia (PPIM). Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan ini menjadi keynote speaker dalam diskusi nasionalisme di KBRI Kuala Lumpur, Kamis siang (14/7).

Negara-negara di Amerika Latin, sebut Rizal, juga pernah menjadi korban neoliberalisme pada kurun 1970an hingga 2000an. Di masa itu, paham ekonomi pasar dipraktikkan secara ugal-ugalan. Sementara di sisi lain ketergantungan pada utang begitu luar biasa.

“Mereka menjadikan utang sebagai alat untuk menstabilkan ekonomi. Setelah itu krisis lagi, lalu utang lagi, krisis lagi dan utang lagi. Begitu terus menerus,” ujar Rizal.

Di bandingkan dengan pengalaman Amerika Latin ketika itu, kondisi Indonesia relatif lebih beruntung. Kini sekitar 30 persen dari APBN digunakan untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga utang luar negeri. Sementara di Amerika Latin pada masa itu, besar anggaran nasional yang digunakan untuk membayar utang sampai 60 persen. Namun bila tak segera diambil langah untuk menghentikannya maka dalam waktu dekat Indonesia akan terpuruk seperti yang pernah dialami negara-negara Amerika Latin itu.

Di tahun 200an beberapa dari negara Amerika Latin mulai berani meninggalkan ekonomi neoliberal. Dari negara yang kerap dianggap ekstrem seperti Venezuela dan Kolumbia, sampai negara moderat seperti Brazil. Dalam waktu yang relatif cepat mereka dapat memperbaiki ekonomi negara.

“Di kawasan Asia, kita masih manut pada neoliberalisme. Walau tentu saja setiap kali Anda mengatakan ini pemerintah membantah,” kata Rizal lagi.

Rizal mencontohkan sektor keuangan dan perbankan nasional yang dikuasai pihak asing.
“Tadi saya dengar Bank Mandiri harus menyetor 350 juta ringgit Malaysia agar bisa membuka cabang di sini. Di negara kita, siapa yang mau buka, silakan saja. Inilah neoliberalisme. Selama ini terus dibiarkan gap antara yang miskin dan gaya terus terjadi,” sambungnya.

Padahal, neoliberalisme adalah pintu masuk neokolonialisme atau penjajahan dengan wajah baru yang tak menggunakan kekuatan fisik seperti di masa lalu. Itulah sebabnya banyak negara besar yang mendorong Indonesia agar bersahabat baik dan mengikuti resep International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Itu karena mereka ingin menguasai Indonesia tanpa menembakkan sebutir peluru pun.

“Dari pengalaman di banyak negara kita bisa menyimpulkan bahwa di Asia negara yang maju adalah negara yang tidak ikut IMF dan Bank Dunia. Sementara di negara kita, agen lembaga-lembaga keuangan asing itu malah diundang dan diberi kesempatan duduk dalam pemerintahan. [zul]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33054

Baca Juga: 

Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli

DR. RIZAL RAMLI POTENSIAL DAN LAYAK UNTUK PRESIDEN RI 2014

Sepakat, Tokoh Agama dan Mahasiswa Upayakan Perubahan

RMOL - KEDAULATANNEWS -  Tokoh agama dan mahasiswa, Jumat malam (15/7), menggelar konsolidasi. Bertempat di Maarif Institute, Jalan Tebet Dalam Barat, Tebet, Jakarta Selatan, mereka sepakat, kondisi bangsa dibawah pemerintahan SBY-Boediono amat buruk dan sangat memprihatinkan.

Tokoh agama yang hadir antara lain Gus Sholah, Abdul Mukti, Romo Benny Sosatyo, Romo Magnis, Pdt Gomar Gultom, Johan Effendy dan yang lainnya.

"Mahasiswa dan tokoh agama merasa perlu untuk segera ada perubahan," turut  Ketua Presidium pengurus pusat PMKRI, Stefanus Gusma kepada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu.

Sekalipun tampilannya berbeda-beda, sambung Stafanus, semuanya sepakat untuk melakukan seruan dan membangun gerakan moral dalam frame yang sama, membebaskan rakyat dari penderitaan. Dikatakan Stefanus, konsolidasi dan gerakan moral untuk mengkritisi pemerintahan juga akan ditularkan dan dibangun di daerah-daerah.

"Kedepan konsolidasi di daerah akan terus berjalan. Seperti di Mataram hari ini mahasiswa sudah bergerak dengan isu stop politisasi Rakyat. [dem]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33166

Baca Juga: 
Gerakan Mahasiswa: Gagal, SBY-Boediono Turun atau Percepat Pemilu!
Kekuasaan politik baru untuk brantas korupsi
Mereka Menguasai Indonesia Tanpa Menembakkan Sebutir Peluru Pun
Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli
DR. Rizal Ramli Pontensial dan Layak Untuk Presiden RI 2014

Gerakan Mahasiswa: Gagal, SBY-Boediono Turun atau Percepat Pemilu!

RMOL - KEDAULATANNEWS - Kemiskinan rakyat kecil yang telanjang di depan mata berlawanan sama sekali dengan pertumbuhan ekonomi yang sering dibanggakan pemerintah. Kelompok mahasiswa menyebut gembar-gembor keberhasilan pembangunan hanya ilusi bikinan pemerintah sendiri. Dan itu hanya salah satu dari sekian banyak kegagalan mendasar pemerintahan SBY-Boediono.

Kegagalan pemerintah memicu kritik tajam. Bahkan, salah satu organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sampai pada satu tuntutan puncak yaitu menuntut Presiden SBY yang mereka anggap telah gagal memimpin Indonesia untuk segera mengundurkan diri.

Salah satu pandangan utama KAMMI adalah fakta bahwa hanya segelintir orang atau kelompok yang menikmati pertumbuhan ekonomi dan bercokol di puncak menara kemiskinan yang kian meresahkan.

"Standar kemiskinan Badan Pusat Statistik yang selama digunakan pemerintah untuk melakukan propaganda dan penyesatan, ternyata sangat bias. Hingga kini pemerintah masih mengunakan standar kemiskinan di bawah 1 dolar AS, padahal negara tetangga seperti Malaysia telah menerapkan standar 2 dolar AS atau sesuai standar Bank Dunia," ujar Ketua Umum PP KAMMI, Muhammad Ilyas, kepada Rakyat Merdeka Online, Jumat (15/7).

Dengan standar penghasilan 1 dolar AS atau kurang lebih Rp 9.000 per hari dengan kurs Rp 9000 per dolar, KAMMI menegaskan, rakyat kecil tidak akan mampu bertahan di tengah lonjakan harga yang tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah. KAMMI juga menilai, tragedi TKI Ruyati yang dihukum pancung di Arab Saudi adalah contoh kecil salah satu potret buram kemiskinan Indonesia dan kelalaian pemerintah.

Sementara itu, dari sisi supremasi hukum, janji-janji pemerintahan bersih yang sering dikampanyekan SBY dari podium ke podium, hanya isapan jempol belaka. Berbagai kasus tidak pernah usai hingga kini. Mulai dari Skandal Century, Rekening Gendut Polri, Mafia Pajak, Mafia Hukum dan kini Mafia Pemilu. Tragisnya, partai yang didirikan SBY dan menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina, partai Demokrat menjadi bungker bagi sejumlah pelanggar hukum. Setidaknya tidak kurang dari 10 elit Demokrat dari tingkat DPP hingga DPD yang terlibat korupsi. Mulai dari As’ad Syam, Yusran Aspar, Sarjan Tahir, Moch Salim, Yusak Yaluwo, Amrun Daulay, Agusrin Maryono Najamudin, Nazaruddin, dan Murman Effendi.

"Jika partai yang getol mengkampanyekan korupsi saja sudah menjadi rumah nyaman bagi koruptor, maka matilah harapan pemerintahan bersih yang selalu didengung-dengungkan itu," tegas Ilyas.

Sementara, kinerja kabinet pragmatis yang dibentuk atas konsesi power sharing oleh SBY dinilai tidak menunjukkan kinerja positif. Pengakuan SBY bahwa 50 persen instruksinya tidak dipatuhi oleh para menteri menegaskan penilaian itu. KAMMI yakin, tindakan reshuffle yang sering didengung-dengungkan pun tidak akan mampu lagi memperbaiki kinerja kabinet karena adanya tarik menarik kepentingan.

Selain eksekutif yang carut marut, KAMMI memandang legislatif juga bermasalah. Terungkapnya skandal “surat palsu” Mahkamah Konstitusi menyangkut hasil pemilu pada 2009, membuat DPR hasil 2009 diragukan legitimasinya. Sangat mungkin bahwa selama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi tempat bercokolnya mafia pemilu. Sebuah keniscayaan jika banyak kursi haram di DPR saat ini.

"Berdasarkan data, diduga tidak kurang dari 16 kursi haram yang ada di Senayan berdasarkan pengaduan mereka yang dicurangi. Ini hanyalah gunung es, ada banyak kasus lain yang belum terungkap. Jika pemilu, satu-satunya instrumen politik dalam proses sirkulasi kepemimpinan politik sudah dipenuhi kecurangan, maka dengan temuan-temuan kecurangan tersebut, kepemimpinan hasil pemilu 2009 secara otomastis tidak lagi legitimate," tegasnya.

Rangkaian kebohongan dan janji palsu Pemerintahan SBY dan permasalahan di legislatif diangap KAMMI sudah cukup menjadi alasan untuk meminta SBY-Boediono mengundurkan diri. "Dan membubarkan kabinet untuk kemudian dibentuk dewan rakyat sebagai bentuk peralihan pemerintahan," tambah Ilyas menegaskan.

Di poin kedua, KAMMI mendesak Presiden SBY dan DPR segera mempercepat Pemilu, baik Pemilihan Presiden maupun Pemilihan Anggota Legislatif.  "Kami menginginkan reformasi jilid dua. Dan untuk menyikapi kerisauan ini maka seluruh pengurus KAMMI se-Indonesia akan berkordinasi pada tanggal 18-22 Juli di Bandung," pungkasnya.[ald]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33115

Baca Juga:
Kekuasaan politik baru untuk brantas korupsi
Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli 
Benarkah Kemenangan Demokrat dan SBY-Boediono Tidak Sah?

Kekuasaan politik baru untuk brantas korupsi

Oleh: A. Umar Said

 Mohon parhatian para pembaca terhadap berita yang dimuat dalam Kompas tanggal 21 Juli 2008 mengenai masalah korupsi di negeri kita, yang secara ringkas telah menyoroti masalah ini dengan mengutip berbagai pendapat, termasuk antara lain dari pimpinan Muhammmadiyah, NU, dan kalangan intelektual. Untuk menanggapi berita ini maka disajikan satu tulisan singkat, yang mencoba mengajak para pembaca untuk melihat masalah korupsi ini dari berbagai sudut pandang. (A. Umar Said)


============
Kompas 21 Juli 2008

Pemerintah dari Aceh sampai Papua Terjerat Korupsi


Korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Kasus korupsi yang muncul tak hanya menjerat sejumlah penyelenggara negara, tetapi juga menghambat penyejahteraan rakyat. Korupsi pun menimbulkan gejolak di daerah.

Maraknya korupsi di sejumlah daerah terungkap dari penelusuran data dan pemberitaan yang dilakukan Kompas. Sepanjang tahun 2008 saja, sejumlah kepala daerah dan pejabat di daerah berstatus tersangka, terdakwa, atau terpidana, bahkan dipenjara, terbelit korupsi dengan beragam kasus. Mereka pasti tidak bisa optimal melayani rakyat.

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Jusuf secara khusus melaporkan terjadinya dugaan korupsi pada tujuh pemerintahan kabupaten di wilayahnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Kompas, 19/3). Hal itu dilakukan karena korupsi ”mengganggu” upayanya mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pun memprihatinkan korupsi di negeri ini. Padahal, ibarat gunung es, kasus yang muncul hanyalah puncaknya. Masih banyak kasus yang belum terungkap. Ia terutama memprihatinkan korupsi yang melibatkan kalangan eksekutif dan legislatif. Jelas ini akan memengaruhi kebijakan untuk menyejahterakan rakyat dan memerhatikan hajat hidup orang banyak.

Kian merajalela
Guru besar hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Adi Sulistyono, Minggu (20/7), menilai korupsi memang kian merajalela, merambah ke berbagai sektor, dari tingkat pusat hingga daerah. Itu terjadi karena selama ini proses hukum pada pelaku korupsi sama sekali tak menjerakan. ”Koruptor yang menimbulkan kerugian negara miliaran sampai triliunan rupiah paling hanya divonis tiga sampai empat tahun. Jadi, bagaimana ada efek jera,” ujarnya di Jakarta.

Menurut Adi, sanksi pidana yang rendah membuat koruptor tidak kapok. Apalagi, penegakan hukum di negeri ini penuh toleransi, memberi koruptor peluang menikmati berbagai fasilitas. ”Kalaupun masuk penjara, beberapa tahun saja. Dengan uang, di penjara dia bisa mendapat fasilitas,” ujarnya. Sanksi sosial pun tidak ada.

”Lihat saja di Solo. Ada anggota DPRD yang pernah dihukum karena korupsi bisa kembali menjalani tugas sebagai wakil rakyat lagi,” kata Adi.
Menghadapi korupsi yang kian parah, menurut Adi, seharusnya pelaku dihukum mati agar ada efek jera. ”Jika tidak dihukum mati, terpidana korupsi harus dimasukkan ke penjara khusus terisolasi sehingga tidak bisa melakukan kontak dengan siapa pun. Mungkin dengan cara seperti ini mereka bisa jera dan tak berani korupsi lagi,” ujarnya.

Banyak peluang
Pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Purwo Santoso, mengakui, praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah dan pejabat di daerah disebabkan terbuka lebarnya peluang korupsi, antara lain karena kekacauan administrasi keuangan pemerintahan. ”Kesempatan untuk korupsi terbuka lebar. Ada begitu banyak kesempatan bagi pejabat di daerah dan pusat untuk korupsi,” katanya.

Purwo mencontohkan, keberadaan dana taktis atau dana nonbudgeter yang hampir dimiliki setiap kantor pemerintahan di Indonesia sangat membuka peluang untuk korupsi. Hampir tidak ada lembaga pemerintahan yang bisa hidup tanpa dana nonbudgeter. ”Anggaran biasanya baru turun bulan Juni, padahal kantor sudah melakukan kegiatan sejak Januari. Dari mana dana kegiatan itu bisa diambil kalau bukan dari nonbudgeter,” ujarnya.

Selain itu, kata Purwo, tingginya biaya politik yang dikeluarkan kepala daerah selama pencalonan juga memicu tindakan korupsi. Korupsi bukan semata-mata dipicu keserakahan oknum. ”Saat kepala daerah diisi orang-orang politik dan orang politik itu masuk dunia politik dengan membayar, termasuk membayar pemilih, ia sedang memperlakukan jabatannya sebagai komoditas. Dan, saat menjabat, ia harus mencari dana untuk mengembalikan modal yang digunakannya,” katanya lagi.

Kondisi itu sulit dihentikan karena masyarakat pun sebenarnya juga menikmati ”penyuapan” yang dilakukan calon kepala daerah saat pemilihan kepala daerah. ”Kalau kondisi ini tak segera diatasi terus-menerus, kita akan dihadapkan pada situasi politik yang mahal,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi pun mengakui, banyaknya pejabat publik melakukan korupsi karena besarnya biaya politik dan sosial yang harus mereka keluarkan, dan budaya hedonistik yang mereka anut. Kondisi itu diperparah oleh sikap sebagian rakyat yang selalu meminta kepada pejabat publik.

Ongkos politik untuk menjadi bupati/wali kota dalam pilkada langsung mencapai puluhan miliar rupiah. Jumlah yang lebih besar dikeluarkan jika mereka ingin menjadi gubernur. Selama menjabat, kepala daerah itu bergaya hidup hedonis, glamour, serta memiliki gengsi yang harus lebih tinggi daripada masyarakat. Kondisi itu berkebalikan dengan sikap pejabat publik negara lain yang mampu hidup sederhana.

Di sisi lain, lanjut Hasyim, dalam masyarakat juga berkembang budaya selalu meminta kepada pejabat, baik permintaan yang wajar maupun tidak wajar, permintaan yang terkait kebutuhan publik, individu, atau kelompok.

Menurut Hasyim, pejabat publik sebenarnya juga merasa ngeri melihat banyaknya pejabat lain yang ditangkap karena korupsi. Namun, mereka sulit keluar dari ”kubangan” yang membuat mereka tetap korupsi.
Sosiolog hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, Satjipto Rahardjo, menegaskan, penanganan korupsi di negeri ini cenderung masih konvensional sehingga korupsi tetap marak. Karena itu, perlu dibuat strategi total yang progresif untuk berperang melawan korupsi. Landasan perang total itu adalah keadilan yang diamanatkan dalam UUD 1945.
* * *
Berikut adalah sejumlah bahan renungan mengenai masalah korupsi untuk kita telaah bersama-sama dan kita coba melihatnya dari berbagai segi :

Korupsi yang sudah puluhan tahun merajalela dengan ganas di negeri kita adalah terutama produk dari sistem politik, sikap mental atau moral para penyelenggara negara dan tokoh-tokoh politik (termasuk parpol-parpol) sejak rejim Orde Baru, yang diteruskan oleh berbagai pemerinatahan sampai sekarang. Adalah jelas sekali bahwa kebanyakan sikap mental atau moral kalangan elite di negeri kita dewasa ini jauh berbeda sekali dengan yang terdapat selama pemerintahan Presiden Sukarno.

Sebab, walaupun dalam pemerintahan Presiden Sukarno ada juga kasus-kasus korupsi, namun tidak sampai seganas dan sebesar seperti yang terjadi sejak Orde Baru sampai sekarang. Presiden Sukarno beserta para menteri-menterinya atau para pembantunya tidak menumpuk kekayaan haram dari curian melalui korupsi. Dan, seluruh pemerintahan di bawahnya tidak dihinggapi penyakit korupsi separah seperti yang terjadi sekarang ini.

Kerusakan moral dan kebejatan iman yang melanda masyarakat luas di negeri kita sekarang ini dipacu oleh contoh negatif yang dipertontonkan oleh kalangan elit (termasuk keluarga Suharto dan pejabat-pejabat tinggi negara baik sipil maupun militer). Dan, karenanya, kerusakan moral atau kebejatan iman ini sudah menjadi kejahatan besar dan merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia. Sekali lagi, perlu ditekankan, KEJAHATAN dan PENGKHIANATAN; yang besar terhadap rakyat.

Seperti yang kita saksikan bersama selama ini, agama pun sudah tidak mampu memperbaiki atau menyembuhkan kerusakan moral dan memperbaiki kebejatan iman yang parah ini. Buktinya, kebanyakan korupsi telah dilakukan oleh mereka yang katanya saja pemeluk agama; yang melakukan sumpah di depan Tuhan, yang rajin sembahyang dan puasa, yang sering mengucapkan ayat-ayat suci, dan yang juga pergi ke Mekah atau Roma.

Karena sebagian terbesar rakyat Indonesia adalah penganut agama Islam, maka perlu diprihatinkan bahwa Muhammadiyah dan NU (dan organisasi-organisasi Islam lainnya) tidak - atau belum - berhasil menjadi pembendung banjir korupsi, yang melanda masyarakat, terutama kalangan elite. Banyaknya kasus korupsi yang parah mencerminkan kegagalan missi yang mereka pikul dan juga menunjukkan kemandulan seruan-seruan yang mereka keluarkan dengan sia-sia saja..


Korupsi yang merajalela di kalangan elit di bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif adalah bukti yang jelas bahwa negara kita sudah dirusak secara parah sekali oleh maling-maling yang bekedok macam-macam. Karena kemiskinan rakyat yang sudah sangat parah dan luas sekali, maka kejahatan yang berupa korupsi ini seharusnya mendapat hukuman yang seberat-beratnya.

Bahwa korupsi merusak negara dan bangsa kita dapat dilihat juga dari penyelenggaraan Pilkada di seluruh tanahair kita. Dalam sebagian besar Pilkada ini terdapat berbagai masalah yang berkaitan dengan pengumpulan dana untuk kampanye, untuk “beli suara”, atau untuk operasi-operasi lainnya. Dalam banyak kasus, dana untuk kepentingan Pilkada ini datang dari sumber-sumber atau saluran-saluran yang “tidak halal”. Karenanya, bisalah dikatakan bahwa hasil Pilkada itu kebanyakan bukanlah “pilihan rakyat yang murni”, melainkan kebanyakan adalah hasil rekayasa, dimana faktor dana “tidak halal” memainkan peran yang utama.

Hal yang serupa berlaku bagi Pemilu yang akan datang, bahkan dalam skala yang lebih besar dan cara-cara yang lebih hebat. Partai-partai yang ikut dalam Pemilu memerlukan dana yang besar sekali, dan untuk itu perlu diadakan pendekatan, atau perundingan, atau persetujuan, atau persekutuan, dengan pemilik-pemilik dana yang besar-besar. Sudah dapat diterka, bahwa sebagian besar dari pemberian dana ini tidak gratis saja atau karena kemurahan hati atau berkat “goodwill” saja. Sebenarnya, juga inilah korupsi dalam bentuknya yang lain.

Jadi, kalau ditinjau secara dalam-dalam, hasil Pemilu yang akan datang pun bukanlah sepenuhnya hasil yang lahir 100% dari fikiran, perasaan atau kemauan rakyat, melainkan hasil yang dibuat oleh uang, atau pengaruh, atau berbagai manipulasi lainnya. Hal semacam ini tidak terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di negara-negara lain, dalam kadar dan bentuk yang berbeda-beda. Namun, karena situasi yang khusus di Indonesia, maka apa yang terjadi di negeri kita bisa lebih parah dari pada negeri-negeri lainnya.

Mengingat itu semua, nyatalah bahwa Pemilu yang diikuti oleh partai-partai yang mengumpulkan dana dengan cara-cara “tidak halal” itu akan menghasilkan parlemen yang -- kasarnya -- “tidak halal” pula. Artinya, sebenarnya, parlemen tidak akan sepenuhnya merupakan hasil pilihan rakyat yang sesungguhnya. Karena itu, sebagai akibatnya, pemerintahan yang akan dibentuk dengan persetujuan parlemen pun jadinya “tidak halal” juga, kasarnya. Namun, sampai itu sajalah pengertian “demokrasi” yang sekarang ini berlaku di negeri kita dewasa ini.

Dengan komposisi politik yang seperti sekarang, yang didominasi oleh unsur-unsur lama dan sisa-sisa Orde Baru, maka korupsi tetap merajalela. Sebab, seperti yang kita saksikan dari kasus-kasus korupsi yang dibongkar KPK baru-baru ini banyak dari pelaku-pelakunya yang ditangkap terdiri dari orang-orang pendukung Orde Baru .Berdasarkan pengalaman selama ini dapatlah kiranya dikatakan bahwa korupsi adalah ciri utama Orde Baru,.

Jadi, pemerintahan dan DPR yang baru sebagai hasil Pemilu 2009 (atau, bahkan, Pemilu 2014 pun ) nantinya, namun selama sistem politik dan ekonomi pada pokoknya masih seperti yang sekarang juga, maka kecillah harapan bahwa korupsi bisa akan dibrantas besar-besaran. KPK bisa saja menggalakkan tindakan-tindakannya , namun akan tetap tidak akan bisa menangani masalah yang sudah begitu besar dan begitu parah, dan begitu luas pula.

Korupsi hanya dibrantas besar-besaran dan habis-habisan oleh satu kekuasaan politik yang baru, yang menjalankan sistem yang baru pula di bidang politik, sosial, ekonomi dan juga kebudayaan. Kekuasaan politik yang baru ini, harus berbeda sama sekali dengan kekuasaan politik lama yang justru sudah terbukti gagal dalam menyelenggarakan negara secara baik demi kesejahteraan rakyat.

Dengan pandangan yang demikian, nyatalah bagi seluruh kekuatan demokratis – dari golongan dan aliran politik yang mana pun -- untuk terus-menerus membangun kekuatan, dengan berbagai cara, sehingga memungkinkan adanya perubahan yang besar dan fundamental dalam kekuasaan politik.

Negeri kita, Indonesia, sudah memerlukan adanya penggantian kekuasaan politik, dengan yang baru, yang dipegang oleh kalangan muda.


Paris, 26 Juli 2008

Sumber: http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Kekuasaan%20politik%20baru%20utk%20brantas%20korupsi.htm







Selasa, 12 Juli 2011

DR. Rizal Ramli Pontensial dan Layak Untuk Presiden RI 2014


2
Kisah Kehancuran dan “Momen” Kebangkitan
PT Dirgantara Indonesia


Ada dua pembantu paling dekat Soeharto ketika berada di puncak kejayaannya pada masa pemerintah Orde Baru. Pertama, Widjojo Nitisastro, ekonom kepercayaan Soeharto yang meracik kebijakan ekonomi Orde Baru. Kedua, B.J. Habibie, yang punya kedekatan emosional dengan Soeharto, dan mampu membuai Jenderal Besar itu dengan mimpimimpinya untuk mensejajarkan Indonesia dengan negara-negara maju lewat PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang menghasilkan pesawat terbang buatan putera-puteri terbaik Nusantara.

Dalam perkembangannya, meski mampu menghasilkan pesawat terbang seperti CN-212 dan CN-235, Habibie dengan IPTN-nya selalu menjadi sasaran kritik para ekonom. Maklum, dalam mengembangkan industri dirgantara itu, Habibie dinilai kelewat bersemangat membelanjakan duit dalam jumlah gigantik untuk ditumpahkan ke IPTN. Kalau pun tidak mendapat alokasi dana dari APBN, berkat kedekatannya dengan Soeharto, Habibie selalu bisa mendapatkan dana besar untuk menopang IPTN, termasuk menggunakan Dana Reboisasi, dana off budget yang amat besar di masa itu.

Seiring dengan jatuhnya Soeharto, sumber dana untuk IPTN pun mulai tersendat. Pamor IPTN sebagai produsen pesawat terbang mulai redup. Apalagi rapor keuangan industri dirgantara itu selalu merah menyala dari tahun ke tahun. Ketika Gus Dur menjabat Presiden RI, kondisi keuangan IPTN kian amburadul. Padahal, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki IPTN layak mendapat acungan jempol: mendapat pendidikan luar negeri dan pelatihan di perusahaan pesawat terbang kelas dunia.

Gus Dur ingin menyelamatkan IPTN. Maka, presdien RI ke-4 itu pun menelepon Rizal Ramli, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Bulog. “Rizal, coba kamu benahi IPTN karena bleeding terus,” kata Gus Dur diujung telepon. Rizal Ramli terperanjat. Memang, ia termasuk salah satu ekonom yang paling lantang mengkritik strategi pengembangan teknologi dirgantara yang ditempuh Habibie. Kritik Rizal Ramli tentang model pengembangan teknologi ala Habibie yang serba mahal dan “wah” sering dimuat media cetak pada pertengahan 1990-an. Bagi Rizal, paradigma pengembangan teknologi yang dilakukan Habibie tidak tepat karena lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat “wah”. Dan, yang lebih celaka lagi, juga sangat boros (high cost).

Padahal, meski teknologi yag diterapkan canggih, selalu ada cara untuk mengoperasikannya dengan biaya yang kompetitif. “Hukum besi teknologi kan seharusnya semakin lama produk yang dihasilkan semakin murah,” ujarnya. Ingat, harga telepon selular (ponsel) pada akhir tahun 1980-an, ketika mulai masuk ke Indonesia harganya sangat mahal. Hanya para pengusaha besar dan para kapten industri raksasa yang bisa menenteng hp. Sekarang, sopir angkot bahkan tukang ojek pun bisa berponsel ria.

Bagi Rizal Ramli, dalam mengelola IPTN, Habibie lebih mementingkan teknologinya yang wah. Semua infrastruktur, mesin-mesin dan peralatan kerja – beserta sarana penunjangnya selalu menggunakan kualitas paling bagus. “Habibie lebih mementingkan wahnya tanpa mempedulikan pasar maupun biayanya,” kata Rizal Ramli. Wajar jika kemudian meski mampu menghasilkan produk-produk pesawat terbang dan helikopter, neraca keuangan IPTN selalu compang-camping: menderita kerugian yang tak kecil. Hanya karena terus-menerus ditopang dana berlimpah, IPTN bisa tetap eksis.

“Gus Dur, mohon maaf, apa tidak salah meminta saya membenahi IPTN. Saya kan sering mengkritik Habibie. Lagi pula, posisi saya kan Kabulog, sehingga tidak punya kewenangan untuk membenahi IPTN,” kata Rizal Ramli berusaha “berkelit” dari penugasan Gus Dur.

Dengan enteng Gus Dur menukas: “Salah sendiri, kenapa dulu selalu mengkritik Habibie. Sekarang kamu kualat. Jadi, harus membehaninya. Nah, soal kewenangan, kamu memang Kabulog, tapi yang memerintahkan kamu ‘kan Presiden,” ujarnya. Rizal Ramli hanya bisa tersenyum. Untuk urusan yang pelik seperti apa pun, Gus Dur selalu punya jawaban yang “inovatif”.

DR. Rizal Ramli & Gus Dur (Alm.)

Maka, Rizal Ramli pun kini punya tugas ganda: mengurus beras dan industri pesawat terbang. Ia pun segera mengumpulkan berbagai informasi mengenai kondisi IPTN. Juga menghimpun data mengenai industri penerbangan di mancanegara. Setelah membedah isi perut IPTN, akhirnya Rizal Ramli pun sampai pada kesimpulan: mesti ada titik balik (turn arround) dalam paradigma pengembangan IPTN, mengubahnya dari industri yang high cost menjadi industri pesawat terbang yang kompetitif – seperti yang terjadi di industri sejenis di Cina, Brazil, dan India. Sehingga, produk IPTN bisa bersaing di pasar internasional.

Peralatan dan mesin produksi di Cina, Brazil, dan India tidak secanggih dan mutakhir seperti milik IPTN, toh mereka bisa menghasilkan pesawat terbang yang kompetitif. Maka, Rizal Ramli pun mulai menyingsingkan lengan baju, melakukan overhaul terhadap IPTN. Untuk menandai perubahan paradigma dari industri yang high cost ke industri penerbangan yang kompetitif, nama IPTN diganti menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI).

Tim manajemen puncak juga dirombak dengan menempatkan kader-kader yang unggul di posisi direksi PT DI. Mereka adalah kader terbaik pilihan Habibie, yang kerap mendampingi Habibie ketika bertemu dengan para raksasa bisnis dirgantara kelas dunia, seperti Boeing, British Aeorospace, dsb. Mereka adalah para insinyur yang sangat tahu seluk-beluk aspek teknis dan aspek bisnis industri penerbangan. Mereka juga memiliki networking yang luas dengan industri pesawat terbang internasional. Joesman SD ditunjuk sebagai Direktur Utama PT DI.

Rizal Ramli dan tim manajemen baru PT DI terus mendiskusikan berbagai stretegi untuk mengubah PT DI dari perusahaan yang merugi menjadi perusahaan pesawat terbang yang mampu mencetak laba. Contoh-contoh industri pesawat terbang dengan mesin-mesin produksinya yang tidak secanggih PT DI, seperti di Cina, dan mampu menghasilkan pesawat terbang sipil maupun militer yang harganya sangat kompetitif, dibahas tuntas. “Rapat-rapatnya, ya dilakukan di Kantor Bulog,” kata Rizal Ramli sambil tersenyum.

Setelah berdiskusi cukup panjang, manajemen DI pun diminta membuat blue print dan business plan yang mampu memperbaiki kinerjanya. PT DI tidak lagi semata-mata berkonsentrasi memproduksi pesawat terbang atau helikopter, melainkan juga memproduksi spare parts dan components untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka seperti Boeing, Airbus, British Aerospace, dsb. Sebaliknya, PT DI diminta menyingkir dari aktivitas bisnis yang tak berkaitan dengan bisnis intinya.

“Saya minta dalam dua tahun PT DI harus meraih keuntungan. Kalau tidak, silakan saudara-saudara mencari pekerjaan lain saja,” kata Rizal Ramli, kepada direksi baru PT DI.

Ketika Membenahi PT Dirgantara
Indonesia, Rizal Ramli melakukan perombakan
besar-besaran. Hasilnya, angka penjualan PT DI
pada 2001 melonjak hampir tiga kali lipat hingga mencapai
Rp 1,4 triliun.


Pembenahan yang menyeluruh itu membuahkan hasil yang manis. PT DI mulai menunjukkan tanda tanda awal kebangkitan. Jika pada tahun 1999 angka penjualan PT DI baru mencapai Rp 508 miliar, pada tahun 2001 melonjak hampir tiga kali lipat hingga mencapai Rp 1,4 triliun. Pada tahun 2001 itu, neraca keuangan PT DI juga mencatat keuntungan Rp 11 miliar. Bandingkan dengan kerugian Rp 75 miliar yang diderita pada tahun 1999. Upaya perubahan paradigma dan restrukturisasi PT DI mulai menunjukkan hasil-hasil yang positif.

Berantakan Lagi
Sayangnya, setelah terjadi pergantian pemerintahan dari Gus Dur ke Megawati, kinerja PT DI yang mulai positif itu kembali terpuruk pada tahun 2002. Penyebabnya tak lain, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi mengganti tim manajemen yang solid dengan personel yang tidak memiliki networking dengan komunitas bisnis dirgantara internasional. Padahal, networking itu sangat penting mengingat bisnis penerbangan bersifat oligopolistik.

Tahun 2002-2003, praktis PT DI tidak mendapat order baru, karena direksi PT DI tidak memiliki jaringan lobi kepada raksasa bisnis pesawat terbang. Suasana internal mulai terasa tidak nyaman. Direksi menyalahkan para karyawan. Padahal, sebagian besar karyawan PT DI punya kemampuan teknis yang lumayan bagus karena pernah magang di berbagai perusahaan dirgantara multinasional.

Konfrontasi antara karyawan dan top manajemen kerap terjadi. Kinerja PT DI kian merosot. Timbunan utangnya mencapai Rp 1,5 triliun. Proyek pembuatan pesawat terbang bermesin jet N-250 yang sangat prestisius pun akhirnya dipangkas habis.

Ketika Kementrian Negara BUMN dipegang Laksamana Sukardi, kondisi PT DI semakin limbung. Maka, direksi PT DI pun kemudian melakukan PHK terhadap 6.600 karyawan. Ribuan karyawan kehilangan pekerjaan. Perseteruan kian memuncak dan berubah menjadi rangkaian aksi demo besar-besaran. Perseteruan berlanjut ke pengadilan, yang akhirnya dimenangkan oleh para karyawan. Direksi PT DI dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Bandung. “Saya sedih menyaksikan nasib PT DI. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana para karyawan yang memiliki keahlian dan pengalaman di industri pesawat terbang harus menjadi pengangguran,” kata Rizal Ramli. Untuk menunjukkan keberpihakan kepada para karyawan PT DI, jika mereka berdemo ke Jakarta, Rizal Ramli pun menyambangi base camp mereka di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Bahkan ia pun menyatakan kesiapannya membela karyawan dengan menjadi saksi ahli di pengadilan, demi membela nasib mereka yang hingga kini masih terkatung-katung.



Dan ketika Rizal Ramli dipanggil sebagai saksi ahli pada tanggal 19 Januari 2004 di Pengadilan Negeri Bandung, belasan ribu karyawan PT DI bersama anak dan isterinya menghadiri sidang itu. Jalanan di depan Pengadilan Negeri Bandung macet total. Dalam sidang itu, Rizal Ramli menyatakan, PHK bukan solusi terbaik dalam penyelamatan PT DI. Kinerja PT DI yang buruk pada tahun 2002, gara-gara tidak mendapatkan order sama sekali, bukan kesalahan para karyawan, melainkan kesalahan direksi yang tidak mampu bekerja. “Tapi, kenapa justru karyawan yang mesti dikorbankan,” kata Rizal Ramli.

Selama sidang berlangsung, suasana sidang yang biasanya hening menjadi riuh rendah karena Rizal Ramli kerap mengeluarkan pernyataan yang membela karyawan PT DI. Bahkan, Rizal Ramli tak kuasa menahan rasa haru pada nasib ribuan karyawan yang di-PHK karena salah urus direksi. Air matanya pun menetes.

Pada akhirnya, sidang itu memenangkan gugatan para karyawan. Direksi PT DI divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Bandung.

Menyoroti PT DI yang kian carut-marut, Rizal Ramli hanya bisa mengurut dada. Upaya revitalisasi dan perbaikan PT DI yang dijalankan pada periode 2000-2002, yang merupakan periode konsolidasi dan survival, sama sekali tidak berlanjut. Bahkan sebaliknya, kondisi PT DI kian menyedihkan: pemecatan karyawan yang menimbulkan aksi yang berlarut-larut, hingga kian mengganggu kinerja PT DI.

“Tanpa order pekerjaan, jelas terlihat PT DI kelebihan tenaga kerja, sehingga satu-satunya solusi yang diambil oleh manajemen adalah mem-PHK ribuan karyawan,” kata Rizal Ramli. Anehnya, ketika jumlah karyawan dipangkas, Kementrian Negara BUMN justru menambah jumlah komisaris, dari lima orang menjadi sembilan orang. “Itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip efisiensi dan keadilan,” ujarnya.

Karena kondisi PT DI kian berantakan, tenaga kerja terbaik dari perusahaan itu, meski tidak terkena PHK, akhirnya berhamburan keluar negeri. Mereka kini bertebaran di industri pesawat terbang terkemuka di dunia, seperti Boeing (Amerika Serikat), British Aerospace (Inggris), CASA (Spanyol), Malaysia, dan Autralia. Tak sulit bagi mereka untuk mencari pekerjaan karena memang memiliki pengalaman dan keahlian yang memadai.

Yang rugi, jelas bukan hanya PT DI melainkan juga negara kita, karena aset sumber daya manusia (SDM)-nya yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan dengan biaya mahal, kini memperkuat industri di negara lain. “Akan sangat sulit mendapatkannya lagi ketika Indonesia memerlukan industri penerbangan yang murah dan kompetitif,” kata Rizal Ramli.

Padahal, sebagai negara kepulauan yang amat luas, Indonesia memerlukan kehadiran industri pesawat terbang yang andal dan kompetitif, bisa menghasilkan pesawat terbang dengan harga yang miring. “Seharusnya PT DI bisa diselamatkan,” kata Rizal Ramli.

Untunglah, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono lewat Menneg BUMN Sugiharto akhirnya mencopot direksi yang diangkat pada masa pemerintahan Megawati. Penggantinya, dengan Dirut M. Nuril Fuad, adalah orang-orang yang kompeten dan mengerti seluk-beluk bisnis pesawat terbang, sehingga order pun mulai kembali masuk, sehingga kinerja PT DI secara pelan-pelan mulai membaik.* (Bersambung...3: Operasi Penyelamatan PLN)

Ngebut dengan 10 Program

Menggaet Rp 5 TriliunTanpa Menjual Saham

Solusi Jitu Mengatasi Problem BII

Ke Tokyo Tanpa Widjojo

Mandiri dengan Lol Buatan Sendiri (Bagian 1 , Bagian 2)

Revisi APBN 2001 yang Supercepat

Angin Perubahan di Semen Gresik

Milestones Rizal Ramli di Pemerintahan, 2000-2001

Calon Presiden dengan Agenda dan Program Perubahan

Epilog


Senin, 11 Juli 2011

Ramalan Spiritual bagi Rizal Ramli

JAKARTA,KEDAULATANNEWS-Apa yang ditulis oleh Mantan Menko Ekuin Rizal Ramli mengenai ‘’kriteria masyarakat perubahan’’ dan pemimpinnya (lihat/baca  teks di bawah ini), dinilai para budyawan, ahli Javanologi dan aktivis, sangat jelas ada dalam khasanah para pendahulu kita bahkan pada awal 1900-an. Sebuah ramalan  seorang spiritualis mengatakan sebagai berikut :

1. Sesotyaning tanah Jawa. Oncat embananeki, owahing kang tata cara, golongan patang prakawis, aluluh dadi siji angrasuk kasudranipun, nagara tanpa tata, mung ngluru kasil pribadi, tingalira tumuju salak rukma.

Bila diterjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia menjadi : Seluruh Indonesia, pada berbenah (ini merupakan gambaran kebutuhan transformasi), membetulkan tata cara, golongan empat perkara, meluluh menjadi satu merasuk kepada rakyat kecil, negara tanpa aturan, hanya menguntungkan diri pribadi, kelihatannya tujuannya salah dari pelaksanaannya.
Jadi sudah terjadi proses pengingkaran dari tujuan reformasi ke pelaksanaannya.

2. Kusuma taruna tama, mbeg suci ngupala wening, linawuran dening Allah, wus mantun denya piningit, kinen anyapih sami, kang samya gung perang pupuh, lan nyirnaken durmala, mamalaning Nungsa Jawi, gya tumindak nglakoni pakoning Allah.

Bunga cinta perwira perkasa, membawa tugas suci mengaturkan hening, berbaluhkan singgasana Allah, sudah keluar dari tempat persembunyian, sudah diurus sama hasilnya, yang mendapatkan titah untuk menggelar perang pupuh, untuk menghapuskan kejahatan, yang menjadi bencana manusia Indonesia), untuk bertindak melakoni kehendak Allah.

Di sini digambarkan adanya sosok pribadi yg bergerak konsisten utk memerangi kondisi ini sebagai bagian dr lelakon yang dikehendaki Allah.

3. Ngrabaseng prang mung priyangga, prasasat tan ngadu jalmi prajurite mung sirolah, tutunggaleng langgeng eling, parandene kang san ara mangsah kabarubuh, duhaka tutumpesan, tan lami pan sirep sami, ginantyaning ing jaman kreta raharja.

Melaksanakan perang sendirian, tidak mengadu manusia prajuritnya hanya sirrullah, senjatanya selalu ingat, mengakibatkan semuanya musuh terkalahkan, yang durhaka pada di tumpas, tidak lama hanya tertidur oleh ilmu sirep, bergantinya zaman kaya sejahtera.

Artinya adalah bahwa dia berjalan secara sendiri dan menggunakan batin dan akalnya. Dia mampu memberikan pemahaman dan itulah kekuatan.

‘’Ini adalah sebuah harapan dan prakiraan kondisi saat ini. Semoga sosok tersebut adalah Rizal Ramli sendiri,’’ demikian Sasmito Hadinegoro,  mantan aktivis UGM dan Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia.



DR. Rizal Ramli & Presiden SBY


Kriteria Masyarakat Perubahan: Perspektif Rizal Ramli
Di tengah kecemasan dan keputus-asaan masyarakat dewasa ini atas praktik demokrasi kriminal di Indonesia, dimana korupsi  makin menggila (kasus Century, mafia hukum, mafia pajak) dan pemerintah gagal melayani kepentingan  rakyat, Indonesia perlu masyarakat baru yang pro-perubahan. Mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli melihat, sungguh  diperlukan masyarakat perubahan  (Society of Change) atau masyarakat baru untuk memimpin perubahan agar indonesia bisa menjadi negara maju yang rakyatnya sejahtera. Untuk itu, menurut Rizal Ramli kepada Rimanews, kemarin,  kriteria dari pemimpin dan masyarakat baru tersebut antara lain :

 Pertama, Masyarakat dan Pemimpinnya harus memiliki integritas, karakter & anti KKN
Masyarakat  baru dan  pemimpinnya  harus tegas,berani, berkarakter dan anti KKN. Dan hal tersebut harus dibuktikan dengan rekam jejaknya. Sudah terbukti bahwa kalau pemimpin selalu ragu-ragu maka akan banyak masalah-masalah besar yang tidak akan terselesaikan dan makin lama makin besar dan bisa membahayakan keutuhan bangsa

Kedua, Masyarakat dan Pemimpinnya harus punya visi dan kemampuan operasional
Masyarakat  baru dan  pemimpinnya harus punya visi,tujuan-tujuan perjuangan,prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan yang akan dibuat bilamana mau merubah indonesia. Tetapi visi tersebut bukan hanya tulisan-tulisan, pidato-pidato atau janji-janji dari pemimpinnya saja, namun masyarakat  juga harus mencermati apakah yang dijanjikan itu sesuai dengan tulisan-tulisan, sikap politik dan apa yang telah dilakukan di masa lalu. Sehingga rakyat tidak dibohongi dengan janji-janji manis calon pemimpin yang tidak akan dipenuhi kemudian hari.
 Selain itu, masyarakat  baru dan  pemimpinnya juga harus mempunyai kemampuan operasional, mewujudkan apa yang menjadi rencananya. Hal ini juga harus dibuktikan dengan kemampuan operasional pemimpin tersebut dimasa lalu. Hal ini sangat penting mengingat tidak banyak pemimpin yang pandai pidato, menulis dan wawancara tetapi sekaligus juga cakap bekerja mewujudkan pikiran-pikirannya.

 Ketiga, Masyarakat dan Pemimpinnya harus memperjuangkan kepentingan nasional & kesejahteraan rakyat.
Masyarakat  baru dan  pemimpinnya harus mempunyai komitmen dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Tidak mudah untuk melakukan hal itu karena banyak kepentingan internasional yang menekan indonesia agar kepentingan mereka bisa bergerak leluasa, mengeruk sumber daya alam dan memasarkan seluas-luasnya barang dan jasa mereka, mengingat pasar indonesia yang sangat besar. Kepentingan-kepentingan internasional di indonesia harus diatur agar selaras dengan kepentingan nasional kita dan agar juga memajukan kesejahteraan rakyat. Apabila kita tidak berani melakukan penyelarasan itu, maka perekonomian kita dikuasai oleh kepentingan internasional dan kesejahteraan rakyat kita akan semakin buruk.

 Keempat, Masyarakat dan Pemimpinnya harus mempunyai kepercayaan diri dan kredibilitas didunia internasional.
Masyarakat  baru dan  pemimpinnya di indonesia harus bisa bergaul di dunia internasional, bukan hanya demi pergaulan saja, tetapi untuk memperjuangkan kepentingan indonesia di forum-forum internasional. Oleh karena itu, pemimpin indonesia harus mempunyai kepercayaan diri dan kepercayaan dunia internasional agar perjuangannya efektif. Jangan pemimpin indonesia banyak pergi keluar negeri, tetapi tidak menghasilkan manfaat yang berarti bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

 Kelima, Masyarakat dan Pemimpinnya harus memiliki keberanian untuk menegakkan konstitusi, hak asasi manusia dan hukum tanpa pandang bulu :
 Konstitusi dan hak azasi manusia harus ditegakkan. Untuk itu perlu keberanian dan ketegasan
masyarakat  baru dan  pemimpinnya, karena misalnya dalam bidang ekonomi, konstitusi membatasi berlangsungnya pasar bebas yang ugal-ugalan karena hal tersebut akan membiarkan persaingan bebas antara usaha raksasa dengan usaha kecil yang pada akhirnya akan menggerus kesejahteraan rakyat. Akan banyak keberatan dari usaha-usaha raksasa dan perusahaan-perusahaan internasional apabila kita menegakkan ekonomi konstitusi, tetapi keberaan tersebut harus diselaraskan dengan kepentingan rakyat dan nasional indonesia.


 Demikian pula, masyarakat  baru dan  pemimpinnya harus menegakkan hak asasi manusia agar dapat meningkatkan perlindungan negara terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan meningkatkan kualitas hidup warga negara untuk hak mendapatkan pekerjaan dsb.
 Keenam, Masyarakat dan Pemimpinnya baru mempunyai sifat dan rekam jejak demokratis :

Sifat demokratis bisa tercermin jika sebelum mengambil keputusan untuk bertindak, pemimpin mendengarkan terlebih dahulu dari para staf, rekan kerja dan masyarakat. Pendapat itu akan dipertimbangkannya, baik yang menyetujui atau tidak menyetujui secara obyektif.

Masyarakat  baru dan  pemimpinnya yang demokratis juga tidak berkeberatan bila suatu saat dikoresi atau diingatkan oleh teman sekerja, staff dan masyarakat.

Sumber: http://www.rimanews.com/read/20110406/22916/ramalan-spiritual-bagi-rizal-ramli

DR. Rizal Ramli Pontensial dan Layak Untuk Presiden RI 2014

RIZAL RAMLI PRESIDEN RI 2014: LOKOMOTIF PERUBAHAN 

Pakar politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Jeffrey A Winters menyampaikan kekuatan dan kelemahan beberapa nama yang disebut-sebut bakal bertarung dalam Pilpres 2014. Dua kandidat yang dinilai layak menjadi capres adalah Rizal Ramli dan Mahfud MD.

Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli dikenal sebagai pemikir yang supercanggih. Dia tidak pernah superfisial melihat masalah-masalah yang dihadapi Indonesia dan tak ragu mengambil keputusan. Hal itu berbeda dengan sikap low risk SBY yang tahu banyak tetapi bicara terus daripada bertindak. Rizal mempunyai track record yang high risk, high reward.  Dibanding kandidat lain, Rizal paling berpotensi sebagai pendobrak dan figur perubahan. Dia mempunyai latar belakang sebagai pejuang untuk rakyat sejak 1978 di ITB, serta berani melawan rezim Soeharto dengan segala risiko, yakni ditahan dan disiksa, tetapi tetap berjuang.
“Dia memperjuangkan sistem hukum dan HAM dengan tegas, sangat antikorupsi, dan tidak mau didikte oleh superpower asing. Jangan heran kalau yang melawan dia di tingkat elite dan internasional cukup banyak.  Mereka takut karena dia pasti action-oriented dan tidak bisa diintimidasi,” katanya. 

Sedangkan kelemahannya, kata Jeffrey, Rizal jauh lebih dikenal di tingkat elite dan kawasan kota, tetapi belum tembus sampai ke desa. “Kalau Rizal dapat menemukan strategi tepat untuk masuk ke desa dan daerah, dia akan cepat menjadi fenomena yang membuat partai-partai besar bergetar,” ujarnya.

Untuk kepentingan memperkenalkan DR. Rizal Ramli, salah satu sosok potensial kandidat Presiden RI 2014 mendatang kepada rakyat berdaulat bangsa ini, akan ditampilkan secara berkala dalam blog ini tulisan tentang  profil dan sepak terjang DR. Rizal Ramli yang kami sadur dari buku: Rizal Ramli Lokomotif Perubahan, sebagai berikut: 

__________________________________________________

1
PERUBAHAN RADIKAL di BULOG

Sebuah kejutan besar. Itulah pandangan sebagian besar ketika Pejabat Sementara (Pjs) Sekretaris Negara Bondan Gunawan, pada awal April 2000, mengumumkan bahwa ekonom Rizal Ramli ditunjuk oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kepala Badan Urusan Logistik (BULOG), menggantikan posisi Jusuf Kalla, Menteri Perdagangan, yang selama beberapa waktu mesti merangkap jabatan Kabulog.    

Selama ini Rizal Ramli dikenal sebagai ekonom yang vokal dan kritis terhadap berbagai kebijakan ekonomi pemerintah. Ia dekat dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan kerap melontarkan kritikan yang tajam terhadap kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggapnya tidak tepat. 

Sehari sebelumnya, Rizal Ramli dipanggil Gus Dur ke Istana Negara. Dalam pertemuan itu, Gus Dur meminta Rizal Ramli untuk membenahi Bulog. “Sekarang kamu tidak boleh menolak permintaan saya,” kata Gus Dur serius. 

Rizal Ramli terdiam sesaat. Ia termangu. Sudah dua kali ia menolak “penugasan” Gus Dur. Pertama, sesaat setelah diangkat menjadi Presiden RI menggantikan posisi Habibie pada tahun 2000, Gus Dur memanggil Rizal Ramli ke kantornya. Waktu itu, Rizal Ramli diminta menjadi Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk menggantikan S.B. Joedono. 

Tapi, ketika itu Rizal Ramli menolaknya. “Terimakasih atas kepercayaan Gus Dur kepada saya. Tapi, umur saya belum 60 tahun. Saya tidak cocok menjadi Ketua BPK. Nanti kalau umur saya sudah 60 tahun, Gus Dur boleh panggil saya lagi,” kata Rizal Ramli. Jawaban itu tentu saja sangat kocak. Usianya ketika itu baru 47 tahun. Masih kurang 13 tahun umurnya untuk mencapai 60 tahun! Tapi, karena lawan bicaranya Gus Dur yang senang guyon, jawaban itulah yang dilontarkannnya. 

Kedua, selang dua minggu kemudian, Rizal Ramli dipanggil kembali ke Istana Negara. Kali ini Rizal Ramli diminta Gus Dur menjadi Duta Besar RI di Amerika Serikat, yang saat itu masih dipegang oleh Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. 

Lagi-lagi Rizal Ramli menampiknya. “Saya merasa terhormat dicalonkan menjadi Dubes RI di Amerika, terimakasih Gus. Tapi saya ‘kan bukan anak “nakal”. Saya tidak mau “dibuang” ke luar negeri,” kata Rizal Ramli kepada Gus Dur. Presiden Abdurrahman Wahid cuma mesem-mesem mendengar jawaban itu. Keduanya memang sudah lama saling mengenal dan berhubungan secara akrab, ibarat hubungan kakak dan adik.

“Kamu harus bersedia menjadi Kabulog,” kata Gus Dur, membuyarkan ketermanguan Rizal Ramli. Apa boleh buat, tawaran Gus Dur untuk memberikan posisi penting kepada Rizal Ramli sulit ditampik. Bukankah Rizal Ramli sudah dua kali menolak “pinangan” Gus Dur?

“Baiklah, Gus. Saya terima tugas itu, tapi ada syaratnya,” kata Rizal Ramli. Gus Dur terkekeh. “Kamu ini gimana sih, yang ingin menjadi Kabulog itu antre, karena Bulog banyak duitnya. Apa syaratmu?” tanya Gus Dur.

Dengan sigap Rizal Ramli berucap: ”Saya mau menjadi Kabulog, tapi kalau bisa hanya untuk enam bulan saja. Kalau lebih dari enam bulan, saya akan mengundurkan diri,” kata Rizal Ramli.

Deal. Sejak itu pula Rizal Ramli menjadi orang nomor satu di Bulog, sebuah lembaga non-departemen yang oleh Soeharto sangat diandalkan untuk menstabilkan harga beras. Stabilitas harga beras itulah, antara lain, yang menjadi faktor kunci langgengnya kekuasaan Soeharto sejak tahun 1966, sebelum ditumbangkan gerakan mahasiswa pada era reformasi pada tahun 1998.
 
”Saya mau menjadi Kabulog, tapi kalau bisa
hanya untuk enam bulan saja. Kalau lebih
dari enam bulan, saya akan mengundurkan
diri,” kata Rizal Ramli.

Selama belasan tahun Bulog dipimpin oleh orang kepercayaan Soeharto, Bustanil  Arifin,  yang  juga  selama  beberapa  periode  menjabat  sebagai Menteri Koperasi. Tak aneh jika Bulog dikenal sebagai institusi yang “basah”. Duit yang diputar Bulog triliunan rupiah, dan itu kebanyakan off budget – tidak masuk dalam perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga tidak bisa dikontrol siapapun.

Rizal Ramli mau menerima posisi Kabulog karena Gus Dur berpesan agar Bulog dibenahi sehingga berpihak kepada rakyat. Keberpihakan kepada rakyat, itulah yang dijadikan panduan Rizal Ramli dalam menjadi komandan Bulog.


Berbagai Terobosan

Setelah dilantik sebagai Kepala Bulog pada tanggal 3 April 2000, Rizal Ramli pun langsung menggulirkan program restrukturisasi. Ia menghendaki citra Bulog yang lebih baik lewat organisasi yang transparan, accountable, dan lebih profesional.

Keberpihakan kepada rakyat,
itulah yang dijadikan panduan Rizal Ramli
ketika menjadi Kepala Bulog,
menggantikan Jusuf Kalla.
24 Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Langkah restrukturisasi besar-besaran pun mulai diayunkan, lewat pergantian dan mutasi lima jabatan eselon satu (Deputi) dan 54 jabatan eselon II (Kepala Biro dan Kepala Dolog). Dari 26 Kadolog yang memimpin Daerah Operasi Bulog di provinsi seluruh Indonesia, 24 di antaranya dipensiunkan, atau dimutasi. Perombakan yang fundamental itu berjalan mulus, tanpa menimbulkan gejolak yang berarti.

Keberpihakan kepada rakyat kecil, kepada para petani, diwujudkan dalam bentuk peningkatan pembelian gabah, bukan beras, dari para petani. Bukan rahasia lagi, pembelian beras oleh Bulog kerap menimbulkan kecurangan yang dilakukan oleh para tengkulak. Mereka membeli beras petani, kemudian dioplos dengan beras impor, lalu dijual ke Bulog. Cara seperti itu, tentu saja merugikan para petani karena beras yang dihasilkan di sawahnya cuma sebagian kecil yang diserap Bulog.

Sebagai Kabulog,
Rizal Ramli kerap
turun ke lapangan,
ke desa-desa untuk
bertemu dengan
para petani.
Tempo

Untuk memotong praktik culas itu, Rizal Ramli membuat kebijakan terobosan, itu tadi, hanya membeli gabah. Langkah ini tentu saja sangat efektif dan menguntungkan bagi rakyat kecil. Efektif karena gabah lebih tahan lama disimpan di gudang-gudang Bulog ketimbang beras. Dan menguntungkan para petani di desa-desa, karena selama musim panen, ketika harga gabah cenderung turun, Bulog terjun untuk menyerap dengan patokan harga dasar yang optimal. Sedangkan pada masa paceklik, gabah itu langsung digiling di desa-desa guna meredam kenaikan harga beras. Sehingga, ada pekerjaan di desa-desa pada musim paceklik, yaitu menggiling gabah Bulog.

Sayangnya, kebijakan Bulog yang pro-rakyat itu tidak selamanya berjalan mulus. Kerap terjadi, gabah petani dibeli di bawah harga patokan. Untuk itu, Rizal Ramli tidak segan-segan melakukan kunjungan ke lapangan secara langsung melalui inspeksi mendadak (sidak). Pada suatu kali, ketika panen raya, Rizal Ramli melakukan sidak ke Karawang, salah satu kabupaten produsen beras terbesar di Jawa Barat.

Namun, pada “era handphone” seperti sekarang, sidak mudah bocor. Rizal Ramli menyadari hal itu. Tapi, ia tidak kekurangan akal. Ketika akan melakukan sidak, ia lebih dulu mengutus dua staf kepercayaannya untuk mengelilingi lokasi sidak dengan jarak 5 dan 10 kilometer dari pusat kegiatan
sidak. Kedua staf itu diminta mengirimkan laporan mengenai pembelian gabah dari petani lewat sms: apakah sama dengan harga patokan, atau di bawahnya.

Di tempat sidak, sudah berkumpul para pejabat Bulog, Kadolog Jawa Barat, dan beberapa Kepala Sub-Dolog (pemimpin Dolog) di beberapa kabupaten di Jawa Barat. Ratusan petani juga hadir di situ. Pejabat Bulog di daerah melaporkan bahwa pembelian gabah berlangsung lancar dengan harga di atas harga dasar yang ditetapkan pemerintah.

“Bapak-bapak, apakah betul gabah bapak dibeli di atas harga patokan?” tanya Rizal Ramli kepada para petani. Mereka menjawab serentak: “Betuuul!” Rizal Ramli merasa senang karena ia memang sangat menginginkan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, tak lama kemudian, telepon genggamnya menerima sms dari dua stafnya yang berkeliling dengan jarak 5 – 10 kilometer dari lokasi sidak. Isinya sungguh bertolak belakang: gabah petani dibeli di bawah harga patokan.

Saat itu juga Rizal Ramli langsung menjamah mikrofon. “Bapak-bapak pejabat Bulog sekalian, tolong pergi menjauh dulu sebentar. Silakan berteduh di bawah pohon di sana supaya dingin!” ujarnya. Setelah para pejabat Bulog pergi, Rizal Ramli tinggal berhadapan dengan para petani. Kini, ia bertanya lagi: “Bapak-bapak, saya minta jawaban yang jujur. Jangan takut, saya Kabulog. Betulkah gabah bapak dibeli di atas harga dasar?”

“Betuuuuuul,” para petani serempak menjawab. Mereka mengaku bahwa beras para petani dibeli dengan harga 10% di atas harga dasar. Rizal Ramli penasaran. “Kapan pembelian itu dilakukan?” “Tadi, dua jam sebelum Bapak datang,” jawab seorang petani.

Rizal Ramli geram. Ia langsung memanggil para pejabat Bulog untuk mendekat kembali dan “menyemprotnya”: “Saya ini 17 tahun lebih menjadi researcher. Saya terbiasa melakukan cek dan ricek laporan dari lapangan. Saya tidak suka dibohongi. Kalian membeli gabah dengan harga di bawah harga dasar. Pembelian di atas harga dasar baru dilakukan dua jam yang lalu. Begitu ‘kan?” kata Rizal Ramli dengan nada tinggi.

Para pejabat Bulog cuma diam. Boleh jadi mereka merasa bersalah karena telah berusaha “menipu” big boss-nya. “Saya tidak suka Bapakbapak membuat laporan Asal Bapak Senang (ABS), padahal rakyat kecil menderita. Catat itu,” kata Rizal Ramli.

Sekembalinya ke Jakarta, Rizal Ramli langsung meneken SK yang memutasikan pejabat Bulog tersebut. Selanjutnya, tak kurang dari 200 pejabat Kasub Dolog dimutasikan. Mereka yang baik, jujur, dan pekerja keras ditempatkan di Dolog Kelas I dan II. Sebaliknya, yang kinerjanya “memble”, dioper ke Dolog kelas III. Kelas I adalah Dolog yang membawahkan wilayah operasi yang besar, daerah gudang beras seperti Karawang. Sedangkan Dolog kelas III wilayah operasinya lebih kecil, seperti kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Selain itu, Rizal Ramli juga mempensiunkan dini 80 pejabat Bulog yang kinerjanya tidak sesuai dengan semangat reformasi yang diterapkannya di Bulog. Langkah-langkah terobosan itu menjadi shock therapy yang cukup ampuh menekan jumlah laporan yang bersifat ABS di Bulog. Praktik patgulipat juga menciut. “Sejak itu, langsung tidak ada lagi yang berani main gila di Bulog,” kata Rizal Ramli.

Peningkatan  efisiensi  juga  menjadi  perhatian  Rizal  Ramli  selama  memimpin Bulog. Tadinya, sebelum Rizal Ramli masuk, pimpinan Bulog yang berkunjung ke daerah selalu berupa rombongan besar. Jika Kabulog dinas ke daerah, biasanya didampingi banyak pejabat. Tentu saja biaya transportasi – dan biaya perjalanan dinas – di Bulog cukup besar. Karena itu, Rizal Ramli memberi contoh: dinas ke luar daerah cukup disertai dua staf saja. Dia sangat percaya dengan “leadership by example”, yaitu pemimpin harus memberikan contoh. Hasilnya, biaya transportasi anjlok hingga 70%. Petugas yang menangani perjalanan dinas Bulog, yang sebelumnya kerap mesti kerja lembur, menjadi lebih ringan pekerjaannya. Tidak ada lembur lagi...

Pembenahan di segala sisi dan semua lini. Itulah yang dilakukan Rizal Ramli. Termasuk yang paling “berat”, yakni mengubah sistem akuntansi Bulog. Bayangkan, Bulog memiliki 119 rekening yang tersebar di berbagai bank. Rizal Ramli pun lalu memanggil orang keuangan. Dia meminta sistem akuntansi Bulog diubah supaya lebih transparan dan accountable. Dana off budget harus menjadi on budget.

Di masa kepemimpinan Rizal Ramli, Bulog
hanya membeli gabah dari petani, untuk mencegah
masuknya beras impor lewat pengoplosan.
Istimewa
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan 29
“Saya ingin sistem akuntansi Bulog sama dengan lembaga negara lain, supaya lebih tertib dan transparan,” kata Rizal Ramli, ketika memanggil stafnya yang mengurusi bidang keuangan.

“Waduh, susah Pak. Paling tidak perlu setahun setengah lebih,” kilah stafnya.
“Begini, saya minta perubahan sistem akuntansi itu bisa selesai dalam waktu enam bulan. Kalau tidak, silakan saudara mencari pekerjaan lain,” tukas Rizal Ramli.

Ternyata, perubahan sistem akuntansi Bulog menjadi Generally Accepted Accounting Practices itu bisa dilakukan dalam enam bulan. Jumlah rekening Bulog bisa diciutkan dari 119 menjadi cuma sembilan! Dan yang lebih penting lagi, dana off budget Bulog yang jumlahnya triliunan menjadi on
budget, sehingga bisa diaudit dan dipertanggungjawabkan.

Praktik patgulipat, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai penyimpangan, merupakan hal lumrah selama bertahun-tahun di Bulog. Ada pejabat yang memberikan izin impor beras kepada pedagang, sehingga pedagang itu tidak perlu membayar pajak ketika berasnya datang dari luar negeri. Ada pejabat yang “membantu” penyelundupan beras. Ada banyak penyimpangan kebijakan di lapangan dan sebagainya.


Berbagai tindakan tegas dan kebijakan terobosan yang dilakukan Rizal Ramli mampu mengurangi berbagai praktik penyimpangan para pejabat Bulog. Tapi, Rizal Ramli juga mengakui, mayoritas pejabat dan staf Bulog bekerja secara benar dan profesional.
30 Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Langkah pembenahan yang dilakukan Rizal Ramli kerap mengalami benturan dengan para pejabat yang merasa terusik. Ketika akan mempensiunkan dini 80 pejabat Bulog, misalnya, Rizal Ramli mendapat perlawanan. Ia mengumumkan bahwa Bulog ingin membangun corporate culture yang baru: serba bersih, transparan, dan profesional. “Bapak-bapak dan ibu-ibu yang akan dipensiun dini, akan mendapat tambahan pesangon dari yang semestinya diperoleh. Biaya pengobatan dikasih ekstra, plus biaya untuk pulang kampung,” kata Rizal Ramli. “Yang tidak setuju, boleh melawan saya, tapi saya tidak segan-segan akan membawa kasus yang terkait dengan penyelewengan dan penyimpangan yang berlangsung selama ini ke pengadilan,” kata Rizal Ramli.

Para pejabat Bulog yang berasal dari sipil hanya bisa terhenyak. Tapi mereka mau menerima tawaran pensiun dini itu. Mereka membubuhkan tandatangan, sebagai pertanda setuju dipensiun dini. Lain halnya dengan pejabat Bulog yang berasal dari militer, ada di antaranya yang menentang.

Berbagai tindakan tegas dan kebijakan
terobosan yang dilakukan Rizal Ramli
mampu mengurangi berbagai praktik
penyimpangan para pejabat Bulog.
Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan 30
Mereka meminta bertemu Rizal Ramli di kantornya. Ketika diterima, dengan nada tinggi salah seorang di antaranya berteriak: “Kami tidak bisa menerima kebijakan yang Bapak tetapkan. Kami ini biasa bertempur. Kami siap berkelahi!” ujar salah seorang dari mereka sambil menatap tajam mata Rizal Ramli.

“Digertak” seperti itu, nyali Rizal Ramli bukannya menciut. Sifat bengalnya sebagai mantan demonstran langsung muncul. Ia merasa “ditantang”. Maka, Rizal Ramli pun segera menelepon Panglima TNI (saat itu), Laksamana Widodo. Rizal Ramli memang akrab dengan para petinggi militer. Maklum, selama lima tahun lebih, ia menjadi penasihat ekonomi di Fraksi ABRI (TNI) DPR RI.

Ketika saluran telepon tersambung, Rizal Ramli membesarkan suara di pesawat telepon dengan memijit loudspeaker, sehingga bisa terdengar siapapun yang ada di ruangan itu. “Mas Widodo, ini ada anggota TNI yang akan saya pensiunkan dini di Bulog. Tapi mereka menolak, malahan ngajak berantem,” kata Rizal Ramli.

Berbagai langkah terobosan
dilakukan Rizal Ramli
Ketika memimpin Bulog
YSN
32 Rizal Ramli: Lokomotif Perubahan
Dari seberang, terdengar suara Panglima TNI Widodo. “ Siapa namanya, catat nomor pokok TNI-nya...”

Rizal Ramli mendekap telepon, dan bertanya kepada tamunya? “Maaf, berapa nomor pokok TNI bapak?”


Para perwira militer itu langsung menggoyangkan tangannya, tanpa berbicara. Maksudnya, tentu saja tidak mau diketahui identitasnya. “Terimakasih Mas Widodo, nanti saya akan faks nama dan nomor TNI-nya,” kata Rizal Ramli, sambil menutup sambungan teleponnya. Tanpa banyak kesulitan, keenam pejabat Bulog yang berasal dari TNI pun akhirnya luluh dan mau membubuhkan tandatangan kesediaan dipensiun dini.

Begitulah, dengan leadership yang kuat, keberanian, dan ide segarnya dalam melakukan terobosan guna menghasilkan kebijakan inovatif, Rizal Ramli mampu membenahi Bulog dalam tempo singkat. Ketika ia meninggalkan Bulog pada bulan Agustus 2000, Rizal Ramli meninggalkan surplus triliunan rupiah di Bulog. Keberhasilan Rizal Ramli membenahi Bulog kemudian menjadi cover story majalah Business Week* (Bersambung... 2 : Kisah Kehancuran dan “Momen” Kebangkitan PT Dirgantara Indonesia)  

Sumber: http://rizalramli.org/buku/Bab_1.pdf